Minggu, 08 Oktober 2017

BULAN JANGAN PERGI

Nita Kurniati

NITA KURNIATI

...
Matahari telah pergi beberapa saat yang lalu, bintang-bintang mulai menggelatung di langit. Tidak ada lagi lagu dan seruling para petani dan para gembala yang menggembalakan teknaknya. Lampu-lampu pelita mulai dinyalakan, sendu gurau mulai terdengar dimana-mana. Tampak di ujung kamar sebuah rumah bambu terdengar gemersik suara lembut seolah sedang mengamuk pada malam. Ia seperti terdapar pada lorong gelap, putus asa, marah, benci, semuanya berkecamuk dalam pikirannya.
“Mama…mengapa nasibku seperti ini?” tanyanya sambil menatap bulan di atas atap rumah.
Ia adalah Tilda, gadis manis bermata jeli.
Ia kembali merenungkan nasibnya berada di kampung itu. Kampung yang tak penah menjadi impiannya untuk mengabdi, letaknya jauh di ujung Indonesia. Terkadang ia menyesali perjumpaan demi perjumpaan dengan siswanya.
“Selamat pagi anak-anak?” Seuntai senyum manis dilemparkannya kepada siswa kelas 3 sekolah dasar.
“Selamat pagi Bu guru!” Jawab siswa serempak.
“Anak-anak hari ini, kita akan belajar di luar kelas.” Kata ibu Tilda dengan ramah.
“Hore…hore…, tapi mengapa kita belajar di luar Bu Guru? Tanya Sesilia, siswa yang paling aktif di kelas.
“Pertanyaan yang bagus! Hari ini kita akan melakukan permainan.” Seru Ibu Tilda dengan semangat.

Ibu Tilda mulai menerangkan cara bermain dan aturan permainan. Permainan tersebut merupakan permainan tradisional yang dalam bahasa Manggarai di sebut permainan Cina atau dalam bahasa Jawa di sebut dengan Angklek. Materi yang dibahas adalah mengenal nilai tukar uang yang dipadukan dengan materi menceritakan pengalaman melakukan permainan. Semua siswa tampak bergembira mengikuti langkah-langkah dan aturan permainan. Mereka bukan hanya menikmati permainan tersebut tetapi mereka juga aktif dalam menjawab pertanyaan yang ada pada kartu soal.
“Sil, apakah kamu senang belajar dengan Ibu Tilda?” tanya Marselinus.
“Ya. Saya selalu senang terhadapnya, sejak pertama kali ia datang ke sekolah kita. Saya sangat mengaguminya.” Jawab Sesilia dengan bangga.
“Saya juga merasa senang, tapi sayangnya sebentar lagi ia akan segera pindah.” Kisah Marselinus sedih.
“Benarkah?” Sontak Sesilia kaget mendengarnya.

Hari demi hari Ibu Tilda semakin dicintai siswa-siswa dan masyarakat di desa Saru. Tidak heran jika terjadi demikian, sebab Ibu Tilda telah mencurahkan seluruh hidupnya kepada siswa-siswa dan masyarakat di desa itu. Pengalaman dan pengetahuan tak ada yang terlewatkan, semuanya telah dibagikan kepada siswa-siswa dan masyarakat di sana.

Suatu hari, nampak dari kejauhan sesosok rupawan mendekatkan dirinya dengan ruang guru. Satu tahun sebelas bulan sosok ini menjadi kerinduannya. Kini ia datang dihadapannya dengan lemparan senyum tipis di bibirnya.
“Mengapa, kamu datang begitu lama?” Tanya Ibu Tilda dengan lembut.
“Maafkan saya Til, engkau tahu sendiri, bagaimana perjalanan hidup saya. Saya hendak menjemputmu pulang.” Jawab pemuda itu dengan lembut pula.
“Sergi, pikiranku lagi kacau. Hal ini adalah yang kutakuti sejak setahun yang lalu. Jika aku pergi, bagaimana dengan siswa-siswaku?” Tanyanya sambil termenung.
“Til, mengapa engkau takuti ha-hal yang demikian? Bukankah kamu percaya bahwa selalu ada jalan lain? Baik bila kamu menenangkan diri dulu, dan menimbang kembali tentang kepindahanmu.” Sergi mencoba menenangkan hatinya.

Kabar kepindahan Bu Tilda sudah tersebar di kalangan masyarakat dan siswa-siswa di sekolah. Masyarakat tampak resah akan kehilangan sosok seperti Ibu Tilda yang tulus mengabdi di desa mereka. Bagi mereka Ibu Tilda adalah bulan yang telah menerangi hati dan menyadarkan meraka akan pentingnya sebuah pendidikan serta memelihara kerukunan dan kebersihan desa. Tak hanya mereka, siswa-siswa mulai merasakan keresahan dalam diri mereka juga.

Pelajaran Bahasa Indonesia dimulai. Ibu Tilda berdiri dengan santai di depan kelas sambil menerangkan teknik dalam membuat puisi. Sebelum pelajaran usai, Ibu Tilda memberi tugas kepada siswa-siswanya, “anak-anak kita sudah belajar tentang teknik menulis puisi. Sekarang, ibu akan menugaskan kalian untuk menulis puisi.” Kata ibu Tilda.
Ia pun kemudian menuliskan tema puisi di papan tulis yaitu tema pendidikan, cinta kasih, dan alam.
“Tok..tok…tok! seorang mengetuk meja
“Bu Guru, akankah Bu Guru segera pindah dari sekolah kami? Tanya Marselinus.
Mata Ibu Tilda mulai berkaca-kaca ketika mendengar pertanyaan dari Marselinus. Sebenarnya ia tak ingin melukai hati siswanya, karena berat untuknya menjawab pertanyaan itu. Berbohong adalah hal paling tepat yang dikatakannya saat itu, meskipun ia menyadari ada hati-hati kecil yang tersakiti karena kebohongan itu. “Anak-anakku, saya tidak akan pindah, saya hanya pergi bertugas di kota untuk sebulan.” Jawabnya tanpa ragu.
“Bukankah Bu Guru akan segera pindah minggu depan?” Tanya Sesilia dengan isak tangis dan tampak marah.
“Tidak! Ibu hanya pergi bertugas.” Jawabnya ketus.

“Tuhan, ampuni hambamu ini yang telah melukai hati anak-anakmu. Engkau tahu, ini bukan inginku. Esok adalah hari terakhirku mengabdi di desa ini, berikan aku kekuatan dan keberanian agar aku sanggup melihat wajah-wajah polos mereka.” Titah Ibu Tilda dalam hati sambil mengemaskan barang-barangnya.
Pipinya dibanjiri dengan air mata. Ia tak lagi menahan air matanya.
Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi, anak-anak berlari menuju ke kelas masing-masing. Nampak di depan ruangan kelas 3 Ibu Tilda sedang menyapa murid-muridnya dengan ramah. Dalam hangat tatapan matanya, ia terkadang meneteskan air matanya, ia tak mampu menatap senyum dari bibir-bibir mungil itu.
“Selamat pagi, anak-anak!” Sapanya dengan semangat.
“Selamat pagi Ibu Guru!” Jawab siswa-siswa memelas. “Hari ini, nampaknya kalian kurang semangat. “Saya belum sarapan pagi bu?” Jawab Tedi. ‘Saya sakit perut Bu!” Jawab Mark. “Saya Lagi Bad Mod, Bu!” Jawab Marselinus.
Ibu Tilda tahu semua jawaban itu hanyalah alasan semata. Ia terharu dan sedih bahwa betapa pedih hati murid-muridnya.
“Ibu Guru, mengapa engkau membohongi kami dan dirimu sendiri? Terbuat dari apakah hatimu?” Dalam lamunanya, Sesilia bergumam sendiri.
Baiklah kita akan bernyanyi “Di Sini Senang di Sana Senang.” Ibu Tilda mencoba menyemangati siswa-siswa.
Nita Kurniati

“Anak-anak, silakan kumpulkan tugas menulis puisi.” Pintah Ibu Tilda. Satu per satu siswa-siswa mengumpulkan puisi-puisi mereka di meja. Ibu Tilda menyadari, betapa hebatnya siswa-siswa itu menyimpan kepedihan dalam hati mereka. Mereka seolah menjadi dewasa dan memahami bahwa terkadang diam adalah tindakan terbaik dikala mulut tak lagi mampu berkata.
“Anak-anak, silakan istirahat. Pelajaran kita telah selesai.” Kata Ibu Tilda sambil menatap dengan dalam pada siswanya.
“Terima kasih Bu Guru.” Jawab siswa-siswa serempak.
Ibu Tilda semakin tak menahan kepedihannya, hari itu adalah hari terakhirnya mendengar suara-suara merdu itu. Kata terima kasih menjadi kata terakhir yang diucapkan siswa-siswanya. Kekuatannya semakin memudar, ia hampir terjatuh di depan kantor guru. Untunglah tangan Sergi menahan tubuhnya.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Sergi dengan penuh kwatir.
“Ya. Aku baik-baik saja.”
“Baiklah, bisahkah kita pergi sekarang? Apalagi kita harus berjalan kaki sampai ke kampung sebelah.”
“Hm….” Jawab Tilda singkat.
Tepat pukul 09.15 mereka meninggalkan kampung itu. Ada beberapa anak yang mendapatkan kepergiannya melambaikan tangan sambil berkata “Bu Guru…Bu Guru hati-hati.” Hati Ibu Tilda semakin sedih. Ia tak mampu berkata apa-apa lagi, hanya lambaian tangan yang mengatakan segala isi hatinya.

Dari kejauhan Marselinus dan Sesilia melihat kepergian Ibu Tilda sampai mereka hilang dari hadapan mereka. “Bu, akankah kau kembali?” Tanya Sesilia dalam hati. “Bu, tidakkah kau merindukan kami?” Tanya marselinus dalam hati. Kedua siswa itu sangat merasakan kehilangan guru yang mereka cintai. Tetapi mereka harus menerima kenyataan pahit itu.

Sebulan telah berlalu, rasa sedih ibu Tilda belum berkurang. Ia teringat akan siswa-siswanya di desa Saru. Ia pun kembali teringat puisi-puisi yang pernah dituliskan siswanya tersebut. Satu persatu ia mulai membaca puisi-puisi tersebut. Anehnya semua siswa menuliskan puisi bertema pendidikan. Matanya mulai berlinang air mata, hingga sampailah ia pada puisi tulisan Sesilia yang berjudul “Bulan Jangan Pergi.” Ia pun mulai membaca satu demi satu kalimat dalam puisi itu.

Ilustrasi

“Bulan jangan Pergi”

Kau adalah guru, yang adalah bulan bagiku
Yang telah menuntunku
Hingga aku menemukan terang
Yang menderang

Kini malam pun datang
Tak kutemukan dirimu lagi
Dimanakah dirimu?
Dapatkah aku menemukanmu?

Bulan,
Andaikan kau tahu
Tangisku dalam kebingungan ini
Yang tak mungkin terjawab olehku
Bulan,
Kembalilah!
Sebab gelap kembali menyelimuti aku.

Ibu Tilda tahu maksud dari puisi itu. Ia tahu kalau siswa-siswanya sangat membutuhkan didikan dan tuntunan darinya. Keadaan yang memilukan itu, membuatnya tak betah di rumah. Ia selalu membayangkan teriakan gembala kecil memanggil-manggil namanya. Sampai suatu hari ia pergi ke kantor dinas.
“Maaf, Pak. Saya harus kembali mengajar di Desa Saru.” Kata Ibu Tilda tegas.
“Nak, masa kontrakmu di sana sudah habis. Kamu harus mengajar di tempat yang baru.” Kata kepala dinas.
“Tapi, mereka membutuhkan saya Pak! Saya harus mendidik mereka. Apakah saya harus tinggal diam ketika mereka terus meneriakkan nama saya? Kata Ibu Tilda lagi.
“Baiklah nak, karena ketulusan hatimu saya akan coba ajukan surat pindah untukmu. Kamu memang luar biasa, Saya bangga terhadapmu nak.” Kata kepala dinas dengan bangga.
Seminggu kemudian, surat kepindahan Ibu Tilda keluar. Ia dipindahkan untuk kembali bertugas di desa Saru. Hatinya kembali damai dan penuh syukur. Ia juga bersyukur mendapat seorang kekasih seperti Sergi yang selalu memahaminya. Lantunan doa mengiringi perjalanannya ke desa Saru sebagai tanda syukur dan terima kasihnya.
Sesampainya di desa Saru ia menemukan siswa-siswanya sedang melihat foto-foto mereka bersamanya. “Ehem…” Seru Ibu Tilda. Suara itu membangkitkan suasana yang sunyi itu. Semua murid berlari ke pelukannya sambil berkata “Ibu….”, dalam hangatnya pelukkan itu seorang berkata, “bulan, akhirnya engkau kembali. Terima kasih.”
Ibu Tilda hanya bisa mengangguk dan tersenyum karena bahagia. Keadaan pun berubah, guru yang adalah bulan mereka telah kembali. Mereka tidak lagi dalam kebingungan, kecemasan, keputusasaan, karena terang telah kembali menuntun dan membimbing jalan mereka.
Ilustrasi
...

Dari Desa Yang Merindukan Bulan, 2017!












Share:
Lokasi: Pulau Flores, Nusa Tenggara Tim., Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Video Widget

Diberdayakan oleh Blogger.

Bonjour & Welcome

Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, Sebuah Penutup

Roger Trigg, Profesor Emeritus pada Oxford University BAB V PENUTUP  Oleh: Yones Hambur "Tulisan ini merupakan sebu...

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Top Stories

Video Of Day

Top Stories

Recent Posts

Unordered List

Theme Support

Sponsor

Flickr Images

Popular Posts

Popular

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support