|
Foto Ilustrasi
Oleh: Yones Hambur
...
Sudah
lama berbagai bentuk perlawanan terhadap peristiwa-peristiwa destruktif yang
menghantam manusia, seperti tindakan diskriminasi, persekusi, marginalisasi,
dan represi selalu ada dalam setiap tempat di muka bumi ini. Berbagai macam
desakan itu telah bermuara pada suatu kompromi politik bersama bernama
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Deklarasi
ini merupakan kali pertama dunia mencapai suatu konsensus nilai bersama sebagai
norma prilaku. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ini terjadi pada 10 Desember
1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam bahasa Budi Hardiman, deklarasi ini
disebut sebagai institusionalisasi Hak Asasi Manusia. Sejak itu, hampir semua
negara di dunia ini mengakui dan berkomitmen untuk menjamin segala bentuk
aspirasi terkait pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
Pengakuan
Hak Asasi Manusia dalam bentuk deklarasi ini juga terjadi seiring dengan
kesadaran setiap negara untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan.
Pasca keruntuhan komunisme, hampir di setiap negara di atas muka bumi ini menerima
dan mengakui demokrasi sebagai sistem pemerintahan paling baik. Sebab, melalui
pemerintahan demokratis, perlindungan hak setiap warga negara dapat terjamin.
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan telah menjadikan rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara.
Tulisan
ini membahas tentang peran Hak Asasi Manusia dalam konteks negara hukum demokratis.
Penulis berpandangan bahwa sebuah negara hukum demokratis tidak dapat tidak
mesti memijakkan kaki di atas nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Negara hukum
demokratis mesti mampu menjamin dan melindungi setiap warga dari berbagai
serangan dan ancaman peristiwa destruktif.
|
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak
dalam konteks Hak Asasi Manusia sangat sulit untuk diartikan. Berbicara tentang
hak dalam konteks ini, tidak dapat dilepaskan dari pandangan antropologis
tentang manusia. Oleh karena itu, untuk memahami arti kata hak dalam Hak Asasi
Manusia, akan selalu melibatkan penelusuran filosofis tentang siapakah manusia.
Penelusuran
filosofis tentang manusia telah lama dilakukan oleh para pemikir sejak zaman
Yunani Kuno. Orang seperti Platon misalnya merefleksikan manusia dalam konteks
keadilan. Bagi Platon, keadilan selalu terkait dengan pandangan tentang
manusia. Manusia dikatakan adil ketika dia mampu menjalankan ketiga bagian jiwanya, yakni logistikon, thumos, dan epithumia sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Refleksi
manusia terus berkembang sampai pada zaman modern. Para filsuf modern seperti
Thomas Hobbes dan Jhon Locke melihat manusia dalam kaitan dengan state of nature. Dari pemikiran itu,
timbul pengertian tentang Hak Asasi Manusia. Mereka mengatakan bahwa Hak Asasi
Manusia diperoleh dari hukum-hukum alamiah. Secara singkat human rights (1976) atau Hak-Hak Asasi Manusia didefinisikan “sebagai hak-hak yang tercakup
di dalam alamiah kita dan tanpanya kita tak dapat hidup sebagai manusia.”
|
Foto: State of Nature |
Gagasan
tentang hukum alamiah ini terinspirasi dari pemikiran Thomas Aquinas tentang
teori hukum kodrat. Pemikiran Aquinas ini dilatarbelakangi oleh pengaruh
kekristenan Abad Pertengahan. Aquinas mengatakan, dalam state of nature manusia selalu terikat dengan hukum-hukum alam.
Dalam hukum alamiah itu dapat dilihat bahwa manusia dan manusia lain memiliki
hak-hak alamiah yang berasal dari hukum Tuhan. Pandangan ini hendak mengatakan bahwa dalam kondisi alamiah, manusia telah
memiliki hak. Hak itu secara kodrati telah melekat pada diri manusia. Dengan
hak itu, manusia memiliki kekuasan dan hak atas kehidupan. Ia memiliki hak untuk
menguasai tanah dan mendapatkan segala produksi dari tanah itu.
Thomas
Hobbes, seorang filsuf Inggris mengartikan hak alamiah sebagai berikut:
“Hak
alamiah yang biasa disebut penulis-penulis sebagai hukum-hukum alamiah
merupakan ‘kebebasan setiap orang yang menggunakan kemampuannya sendiri untuk
kecukupan kebutuhan alamiahnya dari kehidupannya dengan konsekwensi mengerjakan
segala sesuatu…” (Leviatan, Ch. 1)
Menurut
Hobbes, hak alamiah ini hadir sebagai proteksi diri individu dalam keadaan
alamiahnya. Pandangan ini berangkat dari asumsi antropologis Hobbes bahwa
manusia dalam state of nature
memiliki kecendrungan untuk mengusai manusia lain. Dalam situasi alamiah ini,
manusia lain selalu dipandang sebagai ancaman atau bahaya bagi keberadaan
seorang individu. Dalam bahasa popular, pandangan ini dikenal dengan istilah homo homini lupus atau manusia adalah
serigala bagi sesama.
Dalam
keadaan alamiah ini, kebebasan manusia teracam oleh kebebasan manusia lainnya. Situasi
terancam ini membuat manusia sadar akan hak alamiahnya untuk mendapatkan
perlindungan demi kebutuhan hidupnya. Tanpa hak tersebut, Ia tidak akan mampu
memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Menurut
Hobbes, keadaan alamiah manusia sangat berhubungan dengan kondisi biologis,
masyarakat dan kebutuhan manusia itu sendiri. Kondisi ini, kata Hobbes mesti
dipenuhi sebagai suatu kebutuhan.
Pandangan ini memiliki maksud bahwa kondisi alamiah manusia disebut sebagai
hak.
Filsuf
lain yang membicarakan ide hak asasi ini adalah Jhon Locke. Ia adalah seorang
pemikir Inggris yang mencetus gagasan human
rights sebagai bagian hakiki dari diri manusia. Pandangan ini dinyatakannya
dalam sebuah karya berjudul Second
Treatise of Government (1690). Dalam karya tersebut, Locke mengatakan
“Tuhan menciptakan manusia secara bebas dan sama derajatnya.”
Pemikiran
ini mengungkapkan bahwa konsep tentang Hak Asasi Manusia dipahami Locke sebagai
pemberian Tuhan. Hal ini berimplikasi pada keyakinan bahwa manusia sebagai
ciptaan Tuhan merupakan mahluk yang memiliki derajat yang sama, karena itu
tidak ada di antara sesama manusia berhak untuk menguasai orang lain.
Segala
bentuk tindakan destruktif oleh manusia untuk manusia lain tidak memiliki
tempat di sini. Menurut Locke, ada tiga pembagian dari hak alamiah yaitu hak
untuk hidup, hak untuk merdeka, dan hak milik. Ketiga hak ini merupakan bagian
tak terpisahkan dari diri manusia karena dipandang sebagai paling hakiki.
Menurut
Magniz Suseno, hak-hak dalam pandangan kedua filsuf tersebut dikategorikan sebagai
hak negatif. Hak-hak ini disebut negatif dalam arti logis: hak-hak ini hanya
dapat dirumuskan dengan memakai kata ‘tidak’. Tidak dikatakan apa yang tidak
boleh, melainkan apa yang tidak boleh dilakukan: kehidupan saya tidak boleh
dicampuri oleh pihak-pihak luar.
Argumentasi etis dari hak-hak negatif ini ialah kebebasan dan otonomi individu
mesti dihormati dan tidak boleh dibatasi oleh apapun. Dengan kata lain, setiap
individu diberi kekuasaan semaksimal mungkin untuk mengurus dan mengatur diri
sendiri tanpa mencampuri urusan orang lain. Mereka tidak ingin kebebasan mereka
diatur oleh suatu institusi tertentu seperti negara. Negara dipandang sekedar
penjamin hak-hak tersebut, tetapi tidak memiliki wewenang untuk mengintervensi
kebebasan individu.
Adanya
hak asasi negatif berarti juga terdapat hak asasi positif. Hak asasi positif
disebut juga sebagai hak demokratis. Dasar hak-hak itu adalah keyakinan bahwa
rakyat berdaulat memerintahkan dirinya sendiri
dan setiap pemerintah berada di bawah kekuasaan rakyat. Dikatakan aktif
karena terkait hak atas aktivitas manusia, yakni hak untuk ikut menentukan arah
perkembangan masyarakat.
Hak demokratis ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem tradisional
feodalistis yang melihat bahwa yang berkuasa adalah orang-orang yang memiliki
status istimewah dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam pandangan ini, pemerintahan dijalankan oleh orang yang
berkuasa tersebut dan menolak prinsip kesamaan dan kesederajatan setiap
manusia.
Cara berpikir ini mengungkapkan bahwa manusia selalu berbeda sesuai
dengan status sosialnya. Hak demokratis menolak pandangan ini. Kaum yang
menekankan hak demokratis ini melihat bahwa dalam sistem kepercayaan
feodalistik itu, terdapat kecendrungan setiap orang untuk melakukan tindakan
sewenang-wenang terhadap orang lain. Intesi dasar dari hak demokratis ini
hendak mengatasi kesewenangan orang tertentu bagi kehidupan umat manusia di
atas muka bumi ini.
Negara Hukum Demokratis dan Hak
Asasi Manusia
Paham
utama negara hukum demokratis adalah bahwa segala bentuk penyelenggaraan
pemerintahan selalu berdasarkan kehendak rakyat dan dilakukan demi kepentingan
rakyat. Negara hukum demokratis mengakui bahwa kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat. Rakyat berdaulat atas kehidupan negaranya.
Dalam arti lain,
konsep kedaulatan rakyat ini adalah suatu kepercayaan ideologis maupun keahlian
khusus tidak memberikan hak kepada kelompok yang memilikinya untuk menguasai
masyarakat. Dengan kata lain, dalam negara demokratis, tidak ada ruang bagi kelompok
tertentu untuk berkuasa baik itu mayoritas religius, penguasa modal atau
kapitalis, dan sebagainya.
Prinsip
ini berpangkal pada keyakinan bahwa setiap orang memiliki status atau derajat
yang sama, baik sebagai manusia maupun sebagai warga negara. Nilai
kesederajatan dan kesamaan manusia ini merupakan inti dari negara demokrasi.
Oleh karena itu, tidak ada orang atau kelompok orang yang dapat mengklaim diri
sebagai penguasa dalam negara tersebut untuk memerintahkan orang lain.
|
Foto: Ilustrasi |
Dalam
negara demokratis, wewenang untuk memerintahkan masyarakat mesti berdasarkan
penugasan dan persetujuan para warga masyarakat sendiri. Dengan demikian,
negara hukum demokratis adalah sebuah kekuasaan yang dilegitimasikam oleh
kehendak mereka yang dikuasai, dalam hal ini ialah rakyat sendiri. Sebagai
implikasinya, setiap wewenang untuk memberikan perintah kepada orang lain harus
berdasarkan atau sesuai dengan tatanan masyarakat yang disetujui oleh
masyarakat.
Prinsip
kedaulatan rakyat ini tidak dapat dilepaskan dari gagasan tentang Hak Asasi
Manusia. Kedaulatan rakyat berpijak pada pandangan bahwa setiap orang memilik
hak untuk menentukan dirinya sendiri dan turut serta dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut seluruh masyarakat. Dengan kata lain, penentuan diri
ini tidak boleh dilakukan oleh orang lain selain dari masyakarat itu sendiri.
Dalam
negara hukum demokratis, pelaksanaan Hak Asasi Manusia selalu terkait dengan
tanggung jawab negara untuk menjamin dan menciptakan kesejahteraan bersama. Antara
kesejahteraan bersama dengan Hak Asasi Manusia tidak dapat dipisahkan begitu
saja. Dalam hal ini, tanggung jawab negara untuk mewujudkan kesejahteraan
bersama secara eksplisit merupakan kewajiban negara untuk menjamin dan
melindungi Hak Asasi Manusia.
Sebagai
sebuah komunitas politik, negara tidak hadir untuk dirinya sendiri. Negara
tidak diciptakan untuk sekedar ada begitu saja sebagai sebuah negara. Negara hadir
untuk memberikan jaminan kehidupan bagi setiap warga negara. Dalam hal ini,
tugas negara ialah memberikan perlindungan terhadap hak warga negara serta
mengusahakan agar cita-cita warganya dapat tercapai. Jadi, negara hanya mempunyai
arti sejauh mampu mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Dengan
merujuk pada tugas negara tersebut, dapat diketahui bahwa jaminan Hak Asasi
Manusia dalam negara hukum demokratis terwujud ketika negara dapat menjalankan
perannya sebagai pemberi kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal ini berarti,
pengabaian terhadap tugas dan tanggung jawab ini dinilai merupakan kegagalan
bagi suatu negara dalam memberikan perlindungan dan jaminan akan hak asasi
warganya.
Negara yang tidak melaksanakan tanggung jawab tersebut dapat
mengancam atau menggangu hak asasi warganya. Pemerintah demokratis sebenarnya
bertugas untuk melindungi hak-hak rakyat dan menyediakan pemenuhan hak-hak
rakyat yang wajib dipenuhi oleh pemerintah tersebut.
Menurut
Imre Szabo (dalam Scott Davidson, 1994:9) tujuan dari Hak Asasi Manusia dalam
kaitan dengan negara hukum demokratis adalah “mempertahankan hak-hak manusia
dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
aparat negara dan pada waktu yang bersamaan mendorong perkembangan pribadi
manusia yang multidimensional.”
Pandangan ini hendak mempertegas bahwa tugas
negara ialah untuk memberikan jaminan legal institusional terhadap hak-Hak
Asasi Manusia, karena hak itu tidak dihasilkan oleh negara melainkan ada
mendahului negara. Dengan kata lain, negara tidak memiliki kewenangan untuk
menghilangkan hak-hak tersebut, tetapi mesti mempertahankannya serta memberikan
jaminan agar hak-hak tersebut dapat terlaksana.
Batasan Pelaksanaan Hak Asasi
Manusia
Pengakuan
dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan tuntutan etis sekaligus
normatif. Hak Asasi Manusia mesti dijamin atas dasar penghargaan terhadap
martabat manusia itu sendiri. Dalam hal ini, manusia merupakan pribadi yang
memiliki nilai intrinsik di mana tidak dapat dicabut oleh siapapun.
Meskipun
demikian, itu tidak berarti bahwa Hak Asasi Manusia tidak dapat dibatasi. Hak
Asasi Manusia tidak merupakan sesuatu yang mutlak, dalam arti, ada hak-hak
tertentu yang termasuk dalam kategori hak asasi yang mesti dikendalikan.
Menurut
Magnis Suseno, hak-hak yang mesti dibatasi itu contohnya adalah hak akan
kebebasan berpendapat. Dalam konteks negara hukum demokratis, kebebasan
berpendapat tidak dapat dilakukan secara semaunya.
Kebebasan berpendapat mesti dilaksanakan dalam batasan aturan hukum negara
demokratis yang ada.
Hal itu dilakukan untuk tetap mempertahankan keteraturan
hidup bersama. Sebab, semakin bebas warga negara untuk menyampaikan pendapat
tanpa ada aturan hukum tertentu, kehidupan negara tersebut akan semakin ngawur. Dengan kata lain, kebebasan
sebagai unsur hakiki dari manusia mesti diimbangi dengan kesadaran akan
keadilan sosial.
Magnis Suseno mengatakan ini demikian, “kalau kesamaan
dimutlakkan, kebebasan orang untuk mengembangkan kemampuannya dan untuk
berusaha akan lumpuh.” Ini berarti, setiap orang mesti menjalankan hak-hak yang dimilikinya dengan
tetap memertahankan atau menghargai hak-hak orang lain. Dengan demikian,
batasan hak asasi manusia adalah pada pelaksanaannya yang mesti
mempertimbangkan hak asasi manusia lain demi terjaminnya keadilan sosial.
Akhirnya...
Pemaparan
di atas bermuara pada suatu kesimpulan bahwa keberadaan Hak Asasi Manusia dalam
negara hukum demokratis merupakan suatu hal yang penting. Hal itu sangat sesuai
dengan konsep negara hukum demokratis di mana negara memiliki peran dan
tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
Berbicara tentang
kesejahteraan ini, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang hak asasi
tersebut. Dalam hal ini, negara mesti mampu menjamin dan menjaga ha-hak
tersebut sebab merupakan bagian alamiah dari diri warga negara.
Sesuai
dengan intensi dasar dari Hak Asasi Manusia yakni untuk melindungi manusia dari
segala bentuk tindakan destruktif secara khusus dari sekelompok orang yang
berkuasa, konsep negara hukum demokratis sangat tepat untuk mewujudkannya.
Karena, dalam negara hukum demokratis, setiap orang memiliki derajat yang sama dengan
orang lain.
Negara hukum demokratis pada prinsipnya menolak segala bentuk
kesewenangan terhadap sesama manusia atas nama kekuasaan tertentu. Dengan kata
lain, negara hukum demokratis juga memiliki peran untuk meminimalisir segala
bentuk kesewenangan dari manusia atas manusia lainya.*