Ilustrasi - Populisme |
Dalam diskursus semacam ini, komunikasi tidak diartikan sebagai sebuah diskursus argumentatif-dialogal untuk mencapai suatu konsensus yang rasional dan inklusif bagi kehidupan bersama, tetapi diartikan dengan memaklumkan demarkasi antara 'aku' dan 'kamu' atau 'kita' dan 'mereka'. Kode semiotisnya ialah 'kita' versus 'mereka'.
Komunikasi diartikan sejauh itu merupakan sebuah narasi yang sifatnya monologal atau bersifat searah, anti kritik, mitis, bahkan lebih sadis bersifat narsis sampai nekad mengumandangkan jihad bagi yang bukan bagian dari 'kita'.
Model diskursus semacam ini cukup sering terjadi di Indonesia ketika memasuki era reformasi saat ini. Tumbangnya rezim otoriter Orde Baru dan disambutnya era baru yang disebut reformasi dengan pengakuannya yang "pura-pura" atas demokrasi telah berhasil menjadi penyokong bangkitnya cara berpikir seperti ini.
Menjalarnya model diskursus perbatasan ini semakin dipertegas ketika lanskap politik di era pasca Orde Baru ini diwarnai oleh kebangkitan populisme kanan. Kaum populisme kanan ialah bagian dari tatanan politik yang memiliki tingkah laku politik seperti ini; para pemimpinnya pandai membakar emosi massa dengan ujaran-ujaran kebencian kepada 'yang lain', yakni kelompok yang berbeda dengan mereka seperti minoritas etnis, ras, agama, dll.
Mereka adalah orang-orang yang "pro" demokrasi, tetapi di saat yang sama menolak demokrasi. Sebab mereka hanya menerima demokrasi sebagai instrumen untuk memenuhi gairah selangkangannya. Kaum populisme kanan memanfaatkan nilai kebebasan dalam demokrasi untuk menyukseskan agenda besar kelompoknya yang cenderung ekstrim dan fundamentalis.
Ilustrasi |
Mereka akan selalu mewartakan diri sebagai pembela demokrasi tetapi sebenarnya mereka adalah monster-monster demokrasi karena agendanya yang hendak membabat habis segala nilai demokrasi itu seperti kesetaraan, kesederajatan, serta solidaritas yang inklusif.
Ya, secara jelas kita temukan hal ini dalam beberapa aksi berjilid dengan label agama seperti yang pernah terjadi menjelang Pilkada DKI tahun lalu yang bahkan sampai saat ini semakin memerkuat diri dengan sebuah cara yang disebut 'reuni'.
Kaum populisme kanan ialah kelompok yang menolak segala aturan hukum yang berlaku dalam negara demokrasi. Mereka sama sekali tidak akan menghargai hukum itu bahkan sering menginjak-injak hukum itu atas nama kebebasan berpendapat.
Politik yang diartikan kelompok seperti ini ialah berciri sentimental dan emosional. Sehingga tidak heran kalau mereka menolak segala aturan hukum negara demokrasi yang ada.
Kaum populisme kanan ialah kelompok yang menolak segala aturan hukum yang berlaku dalam negara demokrasi. Mereka sama sekali tidak akan menghargai hukum itu bahkan sering menginjak-injak hukum itu atas nama kebebasan berpendapat.
Politik yang diartikan kelompok seperti ini ialah berciri sentimental dan emosional. Sehingga tidak heran kalau mereka menolak segala aturan hukum negara demokrasi yang ada.
Sebab hukum dalam negara demokrasi pada hakikatnya selalu berciri rasional dan argumentatif. Sementara, kaum populis akan mengandalkan kekuatan massa untuk menerjang batas-batas hukum negara demokrasi seperti itu.
Kalau sudah seperti ini, masihkah kita mengaku diri sebagai negara demokratis? Hukum kita ternyata telah dikendalikan oleh para demagog yang nafsu kuasanya sulit dikerangkeng oleh kekuatan hukum itu sendiri. Demokrasi di Indonesia tidak lebih sebagai anarki.
Apa yang dikhawatirkan sang guru kebijaksanaan dari Yunani Kuno, yakni Platon tentang rezim demokrasi telah nyata terjadi di negara kita ini.
Yones Hambur
Yones Hambur
0 komentar:
Posting Komentar