|
Ilustrasi Hak Asasi Manusia
Oleh: Yones Hambur |
Sebuah pembacaan atas pemikiran Charles Taylor dalam “Text-A World Consensus on
Human Rights?
Klaim
universalitas Hak Asasi Manusia telah menimbulkan berbagai respon kritis dari
berbagai kalangan secara khusus dari berbagai pemikir Eropa post-modern. Mereka menolak bahwa di balik konsensus universal Hak Asasi Manusia sebagaimana dideklarasikan PBB pada 10 Desember 1948 terdapat sebuah nilai bersama dan berlaku dalam konteks ruang dan waktu apapun dan dimanapun.
Respon kritis para pemikir tersebut didasarkan pada sebuah refleksi bahwa sebuah klaim universal terhadap suatu nilai sama sekali bertentangan
dengan fakta pluralitas kultural di berbagai belahan dunia ini.
Mereka melihat, dalam dunia faktual yang semakin kompleks ini, setiap budaya di atas muka bumi ini masing-masing memiliki variasi cara pandangan terhadap dunia. Ada berbagai macam good life di antara setiap budaya tersebut. Karena itu, klaim universal terhadap sebuah nilai sama sekali tidak relevan.
Kesadaran tersebut kemudian berpengaruh terhadap variasi pandangan antropologis filosofis. Mereka beranggapan bahwa variasi kultural dan pandangan terhadap good life juga secara implisit bahkan secara eksplisit berpengaruh terhadap macam-macam pandangan tentang manusia.
Keyakinan ini kemudian membuka cakrawala baru bahwa sangat tidak mungkin membicarakan Hak Asasi Manusia hanya dari satu perspektif budaya semata. Manusia sebagai suatu mahluk yang kompleks yang lahir dalam konteks kultural yang variatif sama sekali tidak dapat dilihat dari salah satu nilai saja.
Dengan demikian, berbicara tentang Hak Asasi Manusia juga mesti melihat dan mempertimbangan variasi pandangan akan manusia tersebut. Karena diskusi filosofis terkait Hak Asasi Manusia akan selalu berhadapan dengan persoalan mendasar tentang Siapakah Manusia(?).
Tulisan sederhana di hadapan anda ini merupakan sebuah hasil eksplorasi gagasan seorang relativis bernama Charles Taylor dalam teks
berjudul “Text-A World Consensus on Human
Rights”. Dalam teks tersebut, Taylor menggarisbawahi, memproblematisir, mengritisi, serta menggugat klaim universal nilai Hak Asasi Manusia yang dideklarasikan PBB tersebut.
Taylor berpandangan, ada hal yang cacat dari klaim seperti itu, karena nilai yang termuat dalam konsensus tersebut dikonstruksikan dan merupakan produk dari pemikiran atau tradisi Barat, dalam hal ini ialah dari tradisi liberalisme.
Legitimasi sebagai Sebuah Problem
Taylor
mengawali gugatannya dengan mempersoalkan tentang legitimasi dari konsensus
internasional Hak Asasi Manusia. Konsensus itu sendiri, menurut Taylor dapat
dipahami dengan memakai pengertian Jhon Rawls yang termuat dalam karya
terkenalnya, yakni “Liberalisme Politik”.
Dalam karya itu, Rawls mengartikan
konsensus sebagai “overlapping consensus”,
yakni adanya berbagai kelompok yang berbeda, negara, komunitas religius,
peradaban, dengan berbagai macam perbedaan pandangan fundamentalnya
masing-masing mengenai teologi, metafisika, kodrat manusia, dan sebagainya,
akan mencapai kesepakatan terkait norma-norma tertentu tentang prilaku manusia.
Menurut Taylor, hal ini berarti, setiap
kebudayaan yang berbeda dengan caranya masing-masing yang sesuai dengan latar
belakang mereka masing-masing akan memberikan dasar legitimasi terkait dengan
suatu nilai yang akan dijadikan pegangan bersama.
Konsensus seperti itu bagi Taylor
patut dikritisi. Ia mengatakan, apakah konsensus seperti itu mungkin terjadi?
Pertanyaan ini diajukan Taylor dengan pertimbangan fakta bahwa dalam
kenyataannya ada bentrokan pandangan hidup dalam setiap kebudayaan di atas muka
bumi ini.
Taylor sendiri dengan sikap optimisnya memang meyakini bahwa konsensus itu
dapat terjadi. Akan tetapi, menurut Taylor, ada suatu persoalan utama untuk mencapai
konsensus itu, yakni ‘cara untuk mencapainya’.
Selama ini, kata Taylor, ada
hambatan besar untuk mencapai suatu konsensus universal seperti itu. Hal itu
dapat ditelusuri dalam legitimasi dari konsensus itu yang berakar pada
nilai-nilai Barat yang justru seringkali berseberangan dengan nilai-nilai non-Barat.
Menurut
Taylor, konsensus Hak Asasi memiliki asumsi antropologis pada tradisi Barat.
Asumsi ini dapat dilihat dalam pandangan Jack Donnelly yang berbicara tentang
‘martabat manusia’. Donnelly mengklaim bahwa konsep martabat manusia ini
merupakan suatu nilai universal yang berlaku dalam setiap kebudayaan.
Konsep
ini kemudian mendapat kritikan dari Yasuaki Onuna. Ia mengatakan, pandangan ini
telah menjadi istilah favorit dalam gagasan tentang hak asasi manusia. Dalam
arti, hak asasi manusia yang dijadikan sebagai nilai universal memiliki dasar
filosofis antropologis pada pandangan tentang ‘martabat manusia’ ini.
Onuna
berpendapat bahwa martabat manusia itu bukan merupakan nilai yang universal.
Baginya, nilai universal itu ialah pencarian spiritual dan kesejahteraan
material.
Untuk menegaskan hal ini,
Taylor mengutip Lee Kuan Yew dan beberapa orang Asia yang kritis terhadap
kebudayaan Barat ini. Bagi mereka, demikian kata Taylor, pandangan Barat lebih
didominasi oleh tradisi liberalisme.
Dalam tradisi ini, otonomi individu sangat
ditekankan serta mengabaikan peran komunitas. Mereka melihat pemikiran Barat
diwarnai dengan sikap individualistik, fragmen, kontra terhadap masyarakat.
Tradisi Barat ini, menurut mereka,
sangat memprioritaskan individu. Sementara dalam kebudayaan non-Barat seperti
konfusianisme, peran individu direlatifkan dengan kekuatan komunitas. Konfusianisme menekankan tentang peran
masyarakat dan jaringan manusia yang
kompleks.
Belajar Dari Buddhisme
Klaim
universalitas Hak Asasi Manusia telah disangsikan proses legitimasinya karena didominasi oleh
pemikiran filosofis Barat. Gagasan tentang martabat manusia yang menjadi
karakter utama Hak Asasi Manusia dinilai merupakan asumsi antropologi khas Barat dan
bertentangan dengan kebudayaan non-Barat.
Untuk mengatasi hal ini, Taylor
mengangkat salah satu tradisi non-Barat yakni Buddhisme sebagai pembanding
nilai Barat tersebut. Dalam hal ini, tradisi Buddhisme secara khusus dari
aliran Theravada, bagi Taylor dapat dijadikan rujukan alternatif untuk
menyempurnakan konsep Hak Asasi Manusia.
Menurut
Taylor, ada banyak hal dalam tradisi Buddhisme yang dapat dijadikan rujukkan
untuk mengembangakan konsep Hak Asasi Manusia. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai sumber spiritual
untuk mendorong gerakan demokrasi.
Kesadaran Taylor ini berangkat dari fakta
reformasi di Thailand. Salah satu aliran utama dalam reformasi itu ialah
gerakan untuk menyucikan agama Buddha seperti dari fokus pada ritual menuju
pada perhatian akan kebaikan. Perhatian akan kebenaran ini dinilai telah
diabaikan, karena penekanan yang berlebihan pada hal-hal ritualistis.
Padahal,
ini merupakan sebuah tindakan saleh yang merupakan tujuan awal pencerahan.
Selain itu, dalam reformasi itu juga ada gerakan kembali kepada inti ajaran
Buddhis yang asli, yakni ketidakberdayaan akan penderitaan, ilusi diri, tujuan
nirvana.
Reformasi
itu juga berusaha mengritik hal-hal yang mengandung takhayul, orang-orang yang mencari jimat,
berkat para bikhu, dan sejenisnya. Mereka memisahkan antara ‘pencarian
pencerahan’ dari ‘pencarian jasa melalui ritual’, bersikap kritis terhadap
seluruh keyakinan metafisis (surga, neraka, dewa, setan).
Aliran ini kemudian
menghasilkan refleksi baru tentang Buddhisme yang kemudian menjadi salah satu dasar dalam praktek kehidupan
masyarakat demokratis.
Selain
dari peristiwa reformasi itu, hal lain yang diangkat Taylor ialah tentang
reformasi Phutthathat. Refomasi ini hendak menegasakan bahwa jalan menuju
kesempurnaan tidak dapat dilepaskan dari keprihatinan terhadap semua mahluk.
Prinsip ini didasarkan pada dua hal beriktut, yakni metta (cinta kasih)
karuna (belas kasih).
Menurut
pandangan ini, pembebasan diri selalu dalam partisipasi aktif dengan orang
lain. Seseorang akan mendapatkan jati dirinya hanya dengan perjumpaan aktif dengan
orang lain. Dalam hal ini, orang lain merupakan undangan bagi seseorang untuk
dapat mencapai kepenuhan diri.
Prinsip ini mengandung arti bahwa, seseorang
tidak dapat bertumbuh tanpa kehadiran orang lain. Pandangan ini juga mendapat penegasan oleh Sabeh Chamarik. Dengan mengutip Sang Buddha, Chamarik mengatakan, “merawat
diri berarti juga merawat orang lain. Merawat orang lain berarti juga mengurus
diri sendiri.”
Hal ini berarti, tanggung jawab kepada orang lain sama sekali
tidak bertentangan dengan tanggung jawab kepada diri sendiri. Sikap tanggung
jawab kepada orang lain secara bersamaan telah mengimplikasikan peduli terhadap
diri sendiri. Taylor sendiri menegaskan bahwa gagasan tersebut mengarah pada ‘keadilan dan kesejahteraan sosial’.
Pandangan
di atas secara jelas berbeda dengan pandangan liberalisme Barat yang
mengunggulkan otonomi individu. Mereka melihat kepentingan diri merupakan hal
utama dari pada sosial. Konsekuensinya, terjadi pengabaian terhadap orang lain,
bahkan secara ekstrim, kepentingan sosial diabaikan.
Phutthathat
juga berbicara tentang ‘dhammamic socialism’, yakni sikap spriritual
yang menekankan komitmen dan tanggung jawab yang tinggi pada kebenaran,
pengorbanan diri dan pengabdian terhadap orang miskin dan tertindas.
Dalam hal ini,
tradisi Buddhis mendorong prinsip altruistik yang melihat orang lain sebagai
yang utama. Orang lain dianggap mengatasi ego pribadi, dan seseorang didorong
untuk selalu memberikan diri untuk melayani orang lain.
Pengikut
reformisme Phutthathat adalah Sulak Sivaraksa dan Saneh Charmarik. Mereka adalah
orang-orang yang sangat komitmen dengan demokrasi. Beberapa nilai yang mereka
dorong ialah, perhatian pada persoalan lingkungan atau ekologis.
Hal ini
dilakukan dengan mendorong sikap anti konsumerisme. Mereka juga adalah
orang-orang yang mengritik keras cara berpikir rasionalistik yang telah
mendistorsikan hubungan antara manusia dengan alam. Cara berpikir ini dinilai
sebagai akar krisis, karena cenderung melihat alam sebagai objek yang dapat
dikuasai dan diekploitasi keberadaannya.
Selain itu, Taylor juga menjelaskan, dalam Buddhisme, individu mesti bertanggung jawab terhadap pencerahannya sendiri.
Tanggung jawab ini diartikulasikan dengan sikap rispek terhadap kehidupan.
Dalam hal ini, salah satu yang menjadi dokrin utama dari Buddhisme ialah pandangan
tentang anti kekerasan.
Taylor mengatakan, dewasa ini, pandangan ini telah
menjadi suatu referensi yang menyeruhkan sikap hormat pada otonomi setiap orang
dan menuntut untuk meminimalisir segala bentuk pemaksaan dalam setiap urusan
manusia.
Berbagai
sikap tersebut, bagi Taylor merupakan dasar utama demokrasi, karena Taylor
melihat bahwa dalam Buddhisme terdapat agenda ‘kesejahteraan universal’. Lewat
sikap tanggung jawab terhadap kehidupan dan prinsip anti kekerasan, fondasi
demokrasi tersebut juga dapat memberikan dukungan yang kuat terhadap Hak Asasi Manusia.
Sikap ini juga
mengimplikasikan tuntutan untuk meminimalisir segala bentuk paksaan dalam
urusan manusia. Hal ini, bagi Taylor, membawa kehidupan jauh dari tatanan
politik yang bersifat totaliter.
Penutup
Pada bagian di atas telah dipaparkan
pandangan yang berisi gugatannya Taylor akan konsensus Hak Asasi Manusia. Ia
mengatakan, klaim universal konsensus itu mesti dikritisi karena dasar
legitimasinya didominasi oleh pandangan Barat, dalam hal ini ialah tentang
martabat manusia.
Taylor berpendapat bahwa sangat penting untuk memberikan
penilaian terhadap konsensus HAM saat ini yang masih bermasalah karena
pembenarannya memihak pada pandangan Barat dengan membandingkan dengan
kebudayaan lain seperti Buddhisme .
Hal
ini menurut Taylor sangat membantu untuk menciptakan suatu konsensus universal
tentang Hak Asasi Manusia di masa depan yang pembenarannya betul-betul
berangkat dari berbagai latar belakang kebudayaan dan karena itu dapat
meminimalisir persoalan, dalam hal ini ialah pertentangan dengan kebudayaan
lain.
Taylor menegaskan bahwa dengan alternatif Buddhisme pada konsepsi HAM
dapat mengatasi persoalan tentang gagasan Barat yang sangat menekankan individu
(martabat manusia), penekanan pada kebebasannya.
Meskipun
demikian, Taylor juga mengapresiasi terobosan yang dilakukan oleh Barat, karena kesadaran Barat akan HAM merupakan
suatu pencapaian sejarah yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Mereka secara prinsipil menawarkan kebebasan yang lebih besar untuk keamanan
manusia dari bahaya kekerasan, perlakuan sewenang-wenang, maupun diskriminasi.
Yones Hambur