Ilustration |
Oleh:
Yones Hambur
Tulisan ini merupakan sebuah usaha menelusuri konsep dekonstruksi tersebut. Istilah sekaligus sebuah strategi dalam memahami ini dapat ditemukan dalam pemikiran seorang pemikir terkemuka dewasa ini yaitu Jacques Derrida. Setelah memaparkan sedikit tentang 'gagasan' ini, penulis akan memberikan beberapa tanggapan kritis atasnya dengan dibantu oleh berbagai sumber yang ada.
Kata ‘metode’ itu sendiri diberi tanda petik untuk tetap memertahankan pandangan Derrida yang menolak metode sebagaimana lazim dipahami, sebab seperti ditulis McQuillan, dekonstruksi dalam pandangan Derrida ‘tidak pernah mengenal perangkat aturan, tak ada kriteria, tak ada prosedur, tak ada program, tak ada urutan langkah-langkah, tak ada teori untuk diikuti olehnya’ (Lih. McQuillan, ‘Introduction: Five Strategies For Deconstruction’).
Tentang arti istilah dekonstruksi itu sendiri, Derrida mengakui bahwa ia mengalami suatu kesulitan untuk menjelaskannya. Namun, pemakaian pendekatan dekonstruksi ini dapat ditemukan dalam caranya memberikan suatu argumentasi dan kritik terhadap berbagai macam wacana atau teks sastra dan filsafat yang dianalisisnya.
Dalam kaitannya dengan membaca dan memahami sebuah teks, dekonstruksi dipakai untuk membongkar dan menjungkirbalikan makna teks, tetapi tidak hanya sekedar membongkar dan menjungkirbalikan begitu saja dan kemudian lepas, melainkan teks atau wacana tersebut kemudian dikonstruksikan lagi dalam makna baru yang tetap berasal dari teks atau wacana yang dibongkar tersebut.
Dengan demikian, dekonstruksi tidak boleh dipandang negatif di mana hendak menghacurkan suatu teks atau wacana, tetapi justru mesti dipandang sebagai suatu hal yang produktif, karena hendak menunjukkan dan menyingkapkan hal baru dari teks yang seolah-olah tidak ada di dalam teks dan luput dari perhatian pembaca bahkan sama sekali tidak disadari oleh pengarang teks itu sendiri.
Ilustration |
'Metode' dekonstruksi itu sendiri dipakai oleh Derrida untuk melawan hermeneutika modern. Hermeneutika modern memiliki asumsi bahwa kita dapat memahami dan menemukan suatu makna di dalam teks secara objektif. Hal itu juga dipakai oleh Derrida untuk melawan pandangan strukturalisme Saussure yang menganggap bahwa makna suatu kata bersifat stabil dan objektif.
Dengan demikian, dekonstruksi Derrida merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap pandangan yang melihat kesejajaran atau kesamaan antara bahasa dengan realitas sebagaimana dalam pandangan kaum positivisme logis yang berkembang dalam dunia pemikiran modern.
Ia menyebut dengan istilah ini karena di dalamnya terkandung intensi tertentu yang hendak mencari kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang berada di luar apa yang tampak dan kemudian memaksakan kebenaran itu sebagai dasar seluruh realitas.
Penolakan terhadap apa yang disebutnya sebagai 'metafisika kehadiran' ini terinspirasi oleh kritik Nietzsche, Freud, dan Heidegger terhadap sejarah filsafat Barat.
Jacques Derrida |
Dekonstruksi sebagai Cara Memahami
Segala bentuk keyakinan seperti dalam rupa ideologi, ilmu pengetahuan, agama, dan lain sebagainya yang menawarkan sebuah kebenaran mutlak, lewat dekonstruksi, segalanya diguncang dan ditelanjangi. Kebenaran yang diyakini sebagai sesuatu yang bersifat objektif dan mutlak dalam berbagai bentuk keyakinan kita, oleh dekonstruksi dipertanyakan dan dihancurkan.
Lewat dekonstruksi, argumentasi baru kemudian diajukan yang dianggap lebih dapat diterima dan dipertanggungjawabkan. Bagi Derrida, tidak ada kebenaran yang bersifat stabil yang menentukan makna yang pasti dan objektif.
Pandangan ini merupakan kritik Derrida terhadap klaim filsafat Barat sebelumnya (metafisika kehadiran). Derrida dalam hal ini menolak paradigma filsafat Barat yang logosentristis di mana logika dan ilmu pengetahuan sebelumnya dapat mencerminkan realitas dunia melalui bahasa tanpa terdistorsi oleh dimensi subjek (Akhyar Lubis: 2014).
Dekonstruksi merupakan sebuah cara memahami di mana subjek membuka diri kepada kemungkinan isi suatu teks, suatu makna yang selalu terbuka terhadap berbagai macam kemungkinan dari dalamnya. Dalam cara baca dekonstruktif seorang pembaca atau penafsir terbuka terhadap ‘yang lain’ di dalam maupun di luar teks. Dengan kata lain, dekonstruksi adalah suatu seperti disebut oleh Kimmerle, ‘pergantian perspektif terus-menerus’(Kimmerle: 2000).
Pertama, dekonstruksi memberi daya tawar bagi kita untuk melakukan identifikasi terhadap teks yang mengantarkan kita pada suatu kesadaran yang lebih tinggi bahwa terdapat bentuk-bentuk inkonstitensi dalam teks tertentu, baik itu soal kata yang dikandungnya, kalimat yang digunakannya, dan lain sebagainya. Hal ini akan menghindari kita untuk mengartikan suatu kata atau kalimat secara harafiah dan tertutup. Dalam hal ini, dekonstruksi menghantam pendekatan dan cara berpikir literalistik.
Kedua, dekonstruksi akan memperlakukan teks, konteks, dan tradisi sebagai sarana untuk membuka suatu kemungkinan baru untuk suatu perubahan lewat hubungan yang tidak mungkn. Lewat dekonstruksi, kita dapat menggali kembali berbagai macam tradisi yang ada untuk menemukan makna baru di balik yang lebih dikenal.
Ketiga, dekonstruksi dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis kita untuk membongkar ekspansi ideologis yang ada. Lewat dekonstruksi, suatu gagasan akan ditelanjang dan dibongkar nafsu-nafsu intimidatif di baliknya. Dekonstruksi dapat mengguncang segala macam 'Status Quo' yang menyimpan dan menyembunyikan kebobrokan yang akut.
Keempat, dekonstruksi mampu mengantar kita untuk keluar dari zona familiar dan masuk dalam kemungkinan-kemungkinan asing yang justru akan memperkaya pemahaman kita akan sesuatu. Dengan dekonstruksi, kita dapat melihat sisi-sisi lain dari suatu teks yang tidak pernah dipikirkan dan dibicarakan oleh orang lain.
Jacques Derrida - France Philosopher |
Tanggapan Kritis
Hal ini pada akhirnya dapat membantu kita untuk terus menerus menggali berbagai macam makna yang terselubung dalam suatu teks tertentu. Dekonstruksi dapat membantu kita dibebaskan dari penafsiran tunggal akan makna suatu teks.
Tuduhan fiksionalime integral ini terakit dengan ungkapan bahwa ‘tidak ada yang di luar teks’. Dalam pernyataan ini tersirat suatu paham bahwa seolah tidak ada realitas dan menutup kemungkinan untuk mengacu kepada suatu identitas yang stabil (Haryatmoko: 2016). Hal ini kemudian akan mengakibatkan sulitnya membedakan kebenaran yang objektif dengan kebohongan karena referensi bahasa kepada realitas menjadi hilang.
Hal ini kemudian akan melahirkan sebuah dilema bagi pembaca yaitu antara memilih yang plural dengan tuntutan untuk bertindak di mana pada akhirnya dia mesti memilih salah satu dari berbagai macam makna yang ada, dan kemudian tetap jatuh pada masalah bahwa orang akan tetap memandang bahwa makna yang dipilihnya itu adalah sautu kebenaran tunggal di dalam teks itu.*