This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 17 Desember 2017

Posisi Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokratis

Foto Ilustrasi
Oleh: Yones Hambur
...
Sudah lama berbagai bentuk perlawanan terhadap peristiwa-peristiwa destruktif yang menghantam manusia, seperti tindakan diskriminasi, persekusi, marginalisasi, dan represi selalu ada dalam setiap tempat di muka bumi ini. Berbagai macam desakan itu telah bermuara pada suatu kompromi politik bersama bernama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Deklarasi ini merupakan kali pertama dunia mencapai suatu konsensus nilai bersama sebagai norma prilaku. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ini terjadi pada 10 Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam bahasa Budi Hardiman, deklarasi ini disebut sebagai institusionalisasi Hak Asasi Manusia. Sejak itu, hampir semua negara di dunia ini mengakui dan berkomitmen untuk menjamin segala bentuk aspirasi terkait pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.

Pengakuan Hak Asasi Manusia dalam bentuk deklarasi ini juga terjadi seiring dengan kesadaran setiap negara untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Pasca keruntuhan komunisme, hampir di setiap negara di atas muka bumi ini menerima dan mengakui demokrasi sebagai sistem pemerintahan paling baik. Sebab, melalui pemerintahan demokratis, perlindungan hak setiap warga negara dapat terjamin. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan telah menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara.

Tulisan ini membahas tentang peran Hak Asasi Manusia dalam konteks negara hukum demokratis. Penulis berpandangan bahwa sebuah negara hukum demokratis tidak dapat tidak mesti memijakkan kaki di atas nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Negara hukum demokratis mesti mampu menjamin dan melindungi setiap warga dari berbagai serangan dan ancaman peristiwa destruktif.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak dalam konteks Hak Asasi Manusia sangat sulit untuk diartikan. Berbicara tentang hak dalam konteks ini, tidak dapat dilepaskan dari pandangan antropologis tentang manusia. Oleh karena itu, untuk memahami arti kata hak dalam Hak Asasi Manusia, akan selalu melibatkan penelusuran filosofis tentang siapakah manusia.

Penelusuran filosofis tentang manusia telah lama dilakukan oleh para pemikir sejak zaman Yunani Kuno. Orang seperti Platon misalnya merefleksikan manusia dalam konteks keadilan. Bagi Platon, keadilan selalu terkait dengan pandangan tentang manusia. Manusia dikatakan adil ketika dia mampu menjalankan ketiga bagian jiwanya, yakni logistikon, thumos, dan epithumia sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Refleksi manusia terus berkembang sampai pada zaman modern. Para filsuf modern seperti Thomas Hobbes dan Jhon Locke melihat manusia dalam kaitan dengan state of nature. Dari pemikiran itu, timbul pengertian tentang Hak Asasi Manusia. Mereka mengatakan bahwa Hak Asasi Manusia diperoleh dari hukum-hukum alamiah. Secara singkat human rights (1976) atau Hak-Hak Asasi Manusia  didefinisikan “sebagai hak-hak yang tercakup di dalam alamiah kita dan tanpanya kita tak dapat hidup sebagai manusia.”
Foto: State of Nature

Gagasan tentang hukum alamiah ini terinspirasi dari pemikiran Thomas Aquinas tentang teori hukum kodrat. Pemikiran Aquinas ini dilatarbelakangi oleh pengaruh kekristenan Abad Pertengahan. Aquinas mengatakan, dalam
state of nature manusia selalu terikat dengan hukum-hukum alam. 

Dalam hukum alamiah itu dapat dilihat bahwa manusia dan manusia lain memiliki hak-hak alamiah yang berasal dari hukum Tuhan. Pandangan ini hendak mengatakan bahwa dalam kondisi alamiah, manusia telah memiliki hak. Hak itu secara kodrati telah melekat pada diri manusia. Dengan hak itu, manusia memiliki kekuasan dan hak atas kehidupan. Ia memiliki hak untuk menguasai tanah dan mendapatkan segala produksi dari tanah itu.

Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris mengartikan hak alamiah sebagai berikut:

“Hak alamiah yang biasa disebut penulis-penulis sebagai hukum-hukum alamiah merupakan ‘kebebasan setiap orang yang menggunakan kemampuannya sendiri untuk kecukupan kebutuhan alamiahnya dari kehidupannya dengan konsekwensi mengerjakan segala sesuatu…” (Leviatan, Ch. 1)

Menurut Hobbes, hak alamiah ini hadir sebagai proteksi diri individu dalam keadaan alamiahnya. Pandangan ini berangkat dari asumsi antropologis Hobbes bahwa manusia dalam state of nature memiliki kecendrungan untuk mengusai manusia lain. Dalam situasi alamiah ini, manusia lain selalu dipandang sebagai ancaman atau bahaya bagi keberadaan seorang individu. Dalam bahasa popular, pandangan ini dikenal dengan istilah homo homini lupus atau manusia adalah serigala bagi sesama.

Dalam keadaan alamiah ini, kebebasan manusia teracam oleh kebebasan manusia lainnya. Situasi terancam ini membuat manusia sadar akan hak alamiahnya untuk mendapatkan perlindungan demi kebutuhan hidupnya. Tanpa hak tersebut, Ia tidak akan mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Menurut Hobbes, keadaan alamiah manusia sangat berhubungan dengan kondisi biologis, masyarakat dan kebutuhan manusia itu sendiri. Kondisi ini, kata Hobbes mesti dipenuhi sebagai  suatu kebutuhan. Pandangan ini memiliki maksud bahwa kondisi alamiah manusia disebut sebagai hak.

Filsuf lain yang membicarakan ide hak asasi ini adalah Jhon Locke. Ia adalah seorang pemikir Inggris yang mencetus gagasan human rights sebagai bagian hakiki dari diri manusia. Pandangan ini dinyatakannya dalam sebuah karya berjudul Second Treatise of Government (1690). Dalam karya tersebut, Locke mengatakan “Tuhan menciptakan manusia secara bebas dan sama derajatnya.”

Pemikiran ini mengungkapkan bahwa konsep tentang Hak Asasi Manusia dipahami Locke sebagai pemberian Tuhan. Hal ini berimplikasi pada keyakinan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan merupakan mahluk yang memiliki derajat yang sama, karena itu tidak ada di antara sesama manusia berhak untuk menguasai orang lain. 

Segala bentuk tindakan destruktif oleh manusia untuk manusia lain tidak memiliki tempat di sini. Menurut Locke, ada tiga pembagian dari hak alamiah yaitu hak untuk hidup, hak untuk merdeka, dan hak milik. Ketiga hak ini merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia karena dipandang sebagai paling hakiki.

Menurut Magniz Suseno, hak-hak dalam pandangan kedua filsuf tersebut dikategorikan sebagai hak negatif. Hak-hak ini disebut negatif dalam arti logis: hak-hak ini hanya dapat dirumuskan dengan memakai kata ‘tidak’. Tidak dikatakan apa yang tidak boleh, melainkan apa yang tidak boleh dilakukan: kehidupan saya tidak boleh dicampuri oleh pihak-pihak luar. 

Argumentasi etis dari hak-hak negatif ini ialah kebebasan dan otonomi individu mesti dihormati dan tidak boleh dibatasi oleh apapun. Dengan kata lain, setiap individu diberi kekuasaan semaksimal mungkin untuk mengurus dan mengatur diri sendiri tanpa mencampuri urusan orang lain. Mereka tidak ingin kebebasan mereka diatur oleh suatu institusi tertentu seperti negara. Negara dipandang sekedar penjamin hak-hak tersebut, tetapi tidak memiliki wewenang untuk mengintervensi kebebasan individu.

Adanya hak asasi negatif berarti juga terdapat hak asasi positif. Hak asasi positif disebut juga sebagai hak demokratis. Dasar hak-hak itu adalah keyakinan bahwa rakyat berdaulat memerintahkan dirinya sendiri  dan setiap pemerintah berada di bawah kekuasaan rakyat. Dikatakan aktif karena terkait hak atas aktivitas manusia, yakni hak untuk ikut menentukan arah perkembangan masyarakat. 

Hak demokratis ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem tradisional feodalistis yang melihat bahwa yang berkuasa adalah orang-orang yang memiliki status istimewah  dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam pandangan ini, pemerintahan dijalankan oleh orang yang berkuasa tersebut dan menolak prinsip kesamaan dan kesederajatan setiap manusia. 

Cara berpikir ini mengungkapkan bahwa manusia selalu berbeda sesuai dengan status sosialnya. Hak demokratis menolak pandangan ini. Kaum yang menekankan hak demokratis ini melihat bahwa dalam sistem kepercayaan feodalistik itu, terdapat kecendrungan setiap orang untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang lain. Intesi dasar dari hak demokratis ini hendak mengatasi kesewenangan orang tertentu bagi kehidupan umat manusia di atas muka bumi ini.

Negara Hukum Demokratis dan Hak Asasi Manusia
Paham utama negara hukum demokratis adalah bahwa segala bentuk penyelenggaraan pemerintahan selalu berdasarkan kehendak rakyat dan dilakukan demi kepentingan rakyat. Negara hukum demokratis mengakui bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat berdaulat atas kehidupan negaranya. 

Dalam arti lain, konsep kedaulatan rakyat ini adalah suatu kepercayaan ideologis maupun keahlian khusus tidak memberikan hak kepada kelompok yang memilikinya untuk menguasai masyarakat. Dengan kata lain, dalam negara demokratis, tidak ada ruang bagi kelompok tertentu untuk berkuasa baik itu mayoritas religius, penguasa modal atau kapitalis, dan sebagainya.

Prinsip ini berpangkal pada keyakinan bahwa setiap orang memiliki status atau derajat yang sama, baik sebagai manusia maupun sebagai warga negara. Nilai kesederajatan dan kesamaan manusia ini merupakan inti dari negara demokrasi. Oleh karena itu, tidak ada orang atau kelompok orang yang dapat mengklaim diri sebagai penguasa dalam negara tersebut untuk memerintahkan orang lain. 
Foto: Ilustrasi
Dalam negara demokratis, wewenang untuk memerintahkan masyarakat mesti berdasarkan penugasan dan persetujuan para warga masyarakat sendiri. Dengan demikian, negara hukum demokratis adalah sebuah kekuasaan yang dilegitimasikam oleh kehendak mereka yang dikuasai, dalam hal ini ialah rakyat sendiri. Sebagai implikasinya, setiap wewenang untuk memberikan perintah kepada orang lain harus berdasarkan atau sesuai dengan tatanan masyarakat yang disetujui oleh masyarakat.

Prinsip kedaulatan rakyat ini tidak dapat dilepaskan dari gagasan tentang Hak Asasi Manusia. Kedaulatan rakyat berpijak pada pandangan bahwa setiap orang memilik hak untuk menentukan dirinya sendiri dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut seluruh masyarakat. Dengan kata lain, penentuan diri ini tidak boleh dilakukan oleh orang lain selain dari masyakarat itu sendiri.

Dalam negara hukum demokratis, pelaksanaan Hak Asasi Manusia selalu terkait dengan tanggung jawab negara untuk menjamin dan menciptakan kesejahteraan bersama. Antara kesejahteraan bersama dengan Hak Asasi Manusia tidak dapat dipisahkan begitu saja. Dalam hal ini, tanggung jawab negara untuk mewujudkan kesejahteraan bersama secara eksplisit merupakan kewajiban negara untuk menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia.

Sebagai sebuah komunitas politik, negara tidak hadir untuk dirinya sendiri. Negara tidak diciptakan untuk sekedar ada begitu saja sebagai sebuah negara. Negara hadir untuk memberikan jaminan kehidupan bagi setiap warga negara. Dalam hal ini, tugas negara ialah memberikan perlindungan terhadap hak warga negara serta mengusahakan agar cita-cita warganya dapat tercapai. Jadi, negara hanya mempunyai arti sejauh mampu mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Dengan merujuk pada tugas negara tersebut, dapat diketahui bahwa jaminan Hak Asasi Manusia dalam negara hukum demokratis terwujud ketika negara dapat menjalankan perannya sebagai pemberi kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal ini berarti, pengabaian terhadap tugas dan tanggung jawab ini dinilai merupakan kegagalan bagi suatu negara dalam memberikan perlindungan dan jaminan akan hak asasi warganya. 

Negara yang tidak melaksanakan tanggung jawab tersebut dapat mengancam atau menggangu hak asasi warganya. Pemerintah demokratis sebenarnya bertugas untuk melindungi hak-hak rakyat dan menyediakan pemenuhan hak-hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh pemerintah tersebut.

Menurut Imre Szabo (dalam Scott Davidson, 1994:9) tujuan dari Hak Asasi Manusia dalam kaitan dengan negara hukum demokratis adalah “mempertahankan hak-hak manusia dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat negara dan pada waktu yang bersamaan mendorong perkembangan pribadi manusia yang multidimensional.” 

Pandangan ini hendak mempertegas bahwa tugas negara ialah untuk memberikan jaminan legal institusional terhadap hak-Hak Asasi Manusia, karena hak itu tidak dihasilkan oleh negara melainkan ada mendahului negara. Dengan kata lain, negara tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan hak-hak tersebut, tetapi mesti mempertahankannya serta memberikan jaminan agar hak-hak tersebut dapat terlaksana.

Batasan Pelaksanaan Hak Asasi Manusia
Pengakuan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan tuntutan etis sekaligus normatif. Hak Asasi Manusia mesti dijamin atas dasar penghargaan terhadap martabat manusia itu sendiri. Dalam hal ini, manusia merupakan pribadi yang memiliki nilai intrinsik di mana tidak dapat dicabut oleh siapapun. 

Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa Hak Asasi Manusia tidak dapat dibatasi. Hak Asasi Manusia tidak merupakan sesuatu yang mutlak, dalam arti, ada hak-hak tertentu yang termasuk dalam kategori hak asasi yang mesti dikendalikan.

Menurut Magnis Suseno, hak-hak yang mesti dibatasi itu contohnya adalah hak akan kebebasan berpendapat. Dalam konteks negara hukum demokratis, kebebasan berpendapat tidak dapat dilakukan secara semaunya. Kebebasan berpendapat mesti dilaksanakan dalam batasan aturan hukum negara demokratis yang ada. 

Hal itu dilakukan untuk tetap mempertahankan keteraturan hidup bersama. Sebab, semakin bebas warga negara untuk menyampaikan pendapat tanpa ada aturan hukum tertentu, kehidupan negara tersebut akan semakin ngawur. Dengan kata lain, kebebasan sebagai unsur hakiki dari manusia mesti diimbangi dengan kesadaran akan keadilan sosial. 

Magnis Suseno mengatakan ini demikian, “kalau kesamaan dimutlakkan, kebebasan orang untuk mengembangkan kemampuannya dan untuk berusaha akan lumpuh.” Ini berarti, setiap orang mesti menjalankan hak-hak yang dimilikinya dengan tetap memertahankan atau menghargai hak-hak orang lain. Dengan demikian, batasan hak asasi manusia adalah pada pelaksanaannya yang mesti mempertimbangkan hak asasi manusia lain demi terjaminnya keadilan sosial.

Akhirnya...
Pemaparan di atas bermuara pada suatu kesimpulan bahwa keberadaan Hak Asasi Manusia dalam negara hukum demokratis merupakan suatu hal yang penting. Hal itu sangat sesuai dengan konsep negara hukum demokratis di mana negara memiliki peran dan tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. 

Berbicara tentang kesejahteraan ini, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang hak asasi tersebut. Dalam hal ini, negara mesti mampu menjamin dan menjaga ha-hak tersebut sebab merupakan bagian alamiah dari diri warga negara.

Sesuai dengan intensi dasar dari Hak Asasi Manusia yakni untuk melindungi manusia dari segala bentuk tindakan destruktif secara khusus dari sekelompok orang yang berkuasa, konsep negara hukum demokratis sangat tepat untuk mewujudkannya. Karena, dalam negara hukum demokratis, setiap orang memiliki derajat yang sama dengan orang lain. 

Negara hukum demokratis pada prinsipnya menolak segala bentuk kesewenangan terhadap sesama manusia atas nama kekuasaan tertentu. Dengan kata lain, negara hukum demokratis juga memiliki peran untuk meminimalisir segala bentuk kesewenangan dari manusia atas manusia lainya.*
Share:

Selasa, 05 Desember 2017

Diskursus Perbatasan dan Kuasi Demokrasi Kaum Populisme Kanan

Ilustrasi - Populisme
Kalau kita masuk dalam dunia teori sistem, di sana kita akan temukan sebuah persoalan bernama 'diskursus perbatasan' atau dalam bahasa lebih 'now' sedikit - grenzdiskurs. Diskursus perbatasan maksudnya yaitu suatu bentuk komunikasi yang mengutuk atau menolak komunikasi. Cara berpikir diskursif ini menerima komunikasi yang sama sekali bukan komunikasi.

Dalam diskursus semacam ini, komunikasi tidak diartikan sebagai sebuah diskursus argumentatif-dialogal untuk mencapai suatu konsensus yang rasional dan inklusif bagi kehidupan bersama, tetapi diartikan dengan memaklumkan demarkasi antara 'aku' dan 'kamu' atau 'kita' dan 'mereka'. Kode semiotisnya ialah 'kita' versus 'mereka'.

Komunikasi diartikan sejauh itu merupakan sebuah narasi yang sifatnya monologal atau bersifat searah, anti kritik, mitis, bahkan lebih sadis bersifat narsis sampai nekad mengumandangkan jihad bagi yang bukan bagian dari 'kita'.

Model diskursus semacam ini cukup sering terjadi di Indonesia ketika memasuki era reformasi saat ini. Tumbangnya rezim otoriter Orde Baru dan disambutnya era baru yang disebut reformasi dengan pengakuannya yang "pura-pura" atas demokrasi telah berhasil menjadi penyokong bangkitnya cara berpikir seperti ini.

Menjalarnya model diskursus perbatasan ini semakin dipertegas ketika lanskap politik di era pasca Orde Baru ini diwarnai oleh kebangkitan populisme kanan. Kaum populisme kanan ialah bagian dari tatanan politik yang memiliki tingkah laku politik seperti ini; para pemimpinnya pandai membakar emosi massa dengan ujaran-ujaran kebencian kepada 'yang lain', yakni kelompok yang berbeda dengan mereka seperti minoritas etnis, ras, agama, dll.

Mereka adalah orang-orang yang "pro" demokrasi, tetapi di saat yang sama menolak demokrasi. Sebab mereka hanya menerima demokrasi sebagai instrumen untuk memenuhi gairah selangkangannya. Kaum populisme kanan memanfaatkan nilai kebebasan dalam demokrasi untuk menyukseskan agenda besar kelompoknya yang cenderung ekstrim dan fundamentalis.

Ilustrasi
Ilustrasi
Mereka akan selalu mewartakan diri sebagai pembela demokrasi tetapi sebenarnya mereka adalah monster-monster demokrasi karena agendanya yang hendak membabat habis segala nilai demokrasi itu seperti kesetaraan, kesederajatan, serta solidaritas yang inklusif.

Ya, secara jelas kita temukan hal ini dalam beberapa aksi berjilid dengan label agama seperti yang pernah terjadi menjelang Pilkada DKI tahun lalu yang bahkan sampai saat ini semakin memerkuat diri dengan sebuah cara yang disebut 'reuni'. 

Kaum populisme kanan ialah kelompok yang menolak segala aturan hukum yang berlaku dalam negara demokrasi.
Mereka sama sekali tidak akan menghargai hukum itu bahkan sering menginjak-injak hukum itu atas nama kebebasan berpendapat.

Politik yang diartikan kelompok seperti ini ialah berciri sentimental dan emosional. Sehingga tidak heran kalau mereka menolak segala aturan hukum negara demokrasi yang ada.

Sebab hukum dalam negara demokrasi pada hakikatnya selalu berciri rasional dan argumentatif. Sementara, kaum populis akan mengandalkan kekuatan massa untuk menerjang batas-batas hukum negara demokrasi seperti itu.

Kalau sudah seperti ini, masihkah kita mengaku diri sebagai negara demokratis? Hukum kita ternyata telah dikendalikan oleh para demagog yang nafsu kuasanya sulit dikerangkeng oleh kekuatan hukum itu sendiri. Demokrasi di Indonesia tidak lebih sebagai anarki.

Apa yang dikhawatirkan sang guru kebijaksanaan dari Yunani Kuno, yakni Platon tentang rezim demokrasi telah nyata terjadi di negara kita ini.

Yones Hambur

Share:

Minggu, 03 Desember 2017

"Mengenal Skandal Demokrasi"

Author: F. Budi Hardiman

Mencari pemimpin demokratis untuk mewujudkan masyarakat demokratis sangat sulit ketika nafsu oligarkis di dalam diri politisi serta warga masyarakat masih mengental. Itulah kenapa menjelang pilkada, sangat penting mewartakan aksi 'Tolak Politik Uang'.
Sebab, politik uang merupakan awal kemunculan para oligark di kekuasaan. Kalau kekuasaan dikendalikan oleh para oligark, jangan pernah berharap ideal dari Thomas Aquinas - Bonum Commune - akan terwujud. Karena para oligark tidak pernah peduli akan nilai demokrasi seperti solidaritas sosial.
Kaum oligark tidak akan tahu menahu tentang orang lain selain kepentingan diri, sebab mereka ialah individu-individu yang terisolasi satu sama lain karena nafsu uang dari dalam dirinya.
Buku berjudul 'Dalam Moncong Oligarki' ini memberikan cerahan menghentakan bagi budi kita tentang aksi kaum oligarki ini. Kaum oligark ialah hamba-hamba Uang. Mereka menjadikan uang sebagai tujuan tertinggi dari hidup ini.
Lebih menarik lagi, ketika kaum oligark begitu lihai mengambil hati para agamawan. Meskipun agama kelihatan paradoks dengan praktik oligarkis sebab agama sangat anti pada berhala-berhala seperti menjadikan uang sebagai Tuhan, tidak jarang banyak kaum agamawan justru tunduk pada kendali para oligark.
Dengan cara merayu dan menggoda lewat tawaran uang, kaum oligark begitu mudah meluluhkan hati para agamawan serta mencerabut mereka dari keberagamaannya. Persis sampai di sini agama didegradasi menjadi instrumen kepentingan diri semata.
...

Yones Hambur
Share:

Video Widget

Diberdayakan oleh Blogger.

Bonjour & Welcome

Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, Sebuah Penutup

Roger Trigg, Profesor Emeritus pada Oxford University BAB V PENUTUP  Oleh: Yones Hambur "Tulisan ini merupakan sebu...

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Top Stories

Video Of Day

Top Stories

Recent Posts

Unordered List

Theme Support

Sponsor

Flickr Images

Popular Posts

Popular

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support