This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 17 Desember 2017

Posisi Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokratis

Foto Ilustrasi
Oleh: Yones Hambur
...
Sudah lama berbagai bentuk perlawanan terhadap peristiwa-peristiwa destruktif yang menghantam manusia, seperti tindakan diskriminasi, persekusi, marginalisasi, dan represi selalu ada dalam setiap tempat di muka bumi ini. Berbagai macam desakan itu telah bermuara pada suatu kompromi politik bersama bernama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Deklarasi ini merupakan kali pertama dunia mencapai suatu konsensus nilai bersama sebagai norma prilaku. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ini terjadi pada 10 Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam bahasa Budi Hardiman, deklarasi ini disebut sebagai institusionalisasi Hak Asasi Manusia. Sejak itu, hampir semua negara di dunia ini mengakui dan berkomitmen untuk menjamin segala bentuk aspirasi terkait pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.

Pengakuan Hak Asasi Manusia dalam bentuk deklarasi ini juga terjadi seiring dengan kesadaran setiap negara untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Pasca keruntuhan komunisme, hampir di setiap negara di atas muka bumi ini menerima dan mengakui demokrasi sebagai sistem pemerintahan paling baik. Sebab, melalui pemerintahan demokratis, perlindungan hak setiap warga negara dapat terjamin. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan telah menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara.

Tulisan ini membahas tentang peran Hak Asasi Manusia dalam konteks negara hukum demokratis. Penulis berpandangan bahwa sebuah negara hukum demokratis tidak dapat tidak mesti memijakkan kaki di atas nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Negara hukum demokratis mesti mampu menjamin dan melindungi setiap warga dari berbagai serangan dan ancaman peristiwa destruktif.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak dalam konteks Hak Asasi Manusia sangat sulit untuk diartikan. Berbicara tentang hak dalam konteks ini, tidak dapat dilepaskan dari pandangan antropologis tentang manusia. Oleh karena itu, untuk memahami arti kata hak dalam Hak Asasi Manusia, akan selalu melibatkan penelusuran filosofis tentang siapakah manusia.

Penelusuran filosofis tentang manusia telah lama dilakukan oleh para pemikir sejak zaman Yunani Kuno. Orang seperti Platon misalnya merefleksikan manusia dalam konteks keadilan. Bagi Platon, keadilan selalu terkait dengan pandangan tentang manusia. Manusia dikatakan adil ketika dia mampu menjalankan ketiga bagian jiwanya, yakni logistikon, thumos, dan epithumia sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Refleksi manusia terus berkembang sampai pada zaman modern. Para filsuf modern seperti Thomas Hobbes dan Jhon Locke melihat manusia dalam kaitan dengan state of nature. Dari pemikiran itu, timbul pengertian tentang Hak Asasi Manusia. Mereka mengatakan bahwa Hak Asasi Manusia diperoleh dari hukum-hukum alamiah. Secara singkat human rights (1976) atau Hak-Hak Asasi Manusia  didefinisikan “sebagai hak-hak yang tercakup di dalam alamiah kita dan tanpanya kita tak dapat hidup sebagai manusia.”
Foto: State of Nature

Gagasan tentang hukum alamiah ini terinspirasi dari pemikiran Thomas Aquinas tentang teori hukum kodrat. Pemikiran Aquinas ini dilatarbelakangi oleh pengaruh kekristenan Abad Pertengahan. Aquinas mengatakan, dalam
state of nature manusia selalu terikat dengan hukum-hukum alam. 

Dalam hukum alamiah itu dapat dilihat bahwa manusia dan manusia lain memiliki hak-hak alamiah yang berasal dari hukum Tuhan. Pandangan ini hendak mengatakan bahwa dalam kondisi alamiah, manusia telah memiliki hak. Hak itu secara kodrati telah melekat pada diri manusia. Dengan hak itu, manusia memiliki kekuasan dan hak atas kehidupan. Ia memiliki hak untuk menguasai tanah dan mendapatkan segala produksi dari tanah itu.

Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris mengartikan hak alamiah sebagai berikut:

“Hak alamiah yang biasa disebut penulis-penulis sebagai hukum-hukum alamiah merupakan ‘kebebasan setiap orang yang menggunakan kemampuannya sendiri untuk kecukupan kebutuhan alamiahnya dari kehidupannya dengan konsekwensi mengerjakan segala sesuatu…” (Leviatan, Ch. 1)

Menurut Hobbes, hak alamiah ini hadir sebagai proteksi diri individu dalam keadaan alamiahnya. Pandangan ini berangkat dari asumsi antropologis Hobbes bahwa manusia dalam state of nature memiliki kecendrungan untuk mengusai manusia lain. Dalam situasi alamiah ini, manusia lain selalu dipandang sebagai ancaman atau bahaya bagi keberadaan seorang individu. Dalam bahasa popular, pandangan ini dikenal dengan istilah homo homini lupus atau manusia adalah serigala bagi sesama.

Dalam keadaan alamiah ini, kebebasan manusia teracam oleh kebebasan manusia lainnya. Situasi terancam ini membuat manusia sadar akan hak alamiahnya untuk mendapatkan perlindungan demi kebutuhan hidupnya. Tanpa hak tersebut, Ia tidak akan mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Menurut Hobbes, keadaan alamiah manusia sangat berhubungan dengan kondisi biologis, masyarakat dan kebutuhan manusia itu sendiri. Kondisi ini, kata Hobbes mesti dipenuhi sebagai  suatu kebutuhan. Pandangan ini memiliki maksud bahwa kondisi alamiah manusia disebut sebagai hak.

Filsuf lain yang membicarakan ide hak asasi ini adalah Jhon Locke. Ia adalah seorang pemikir Inggris yang mencetus gagasan human rights sebagai bagian hakiki dari diri manusia. Pandangan ini dinyatakannya dalam sebuah karya berjudul Second Treatise of Government (1690). Dalam karya tersebut, Locke mengatakan “Tuhan menciptakan manusia secara bebas dan sama derajatnya.”

Pemikiran ini mengungkapkan bahwa konsep tentang Hak Asasi Manusia dipahami Locke sebagai pemberian Tuhan. Hal ini berimplikasi pada keyakinan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan merupakan mahluk yang memiliki derajat yang sama, karena itu tidak ada di antara sesama manusia berhak untuk menguasai orang lain. 

Segala bentuk tindakan destruktif oleh manusia untuk manusia lain tidak memiliki tempat di sini. Menurut Locke, ada tiga pembagian dari hak alamiah yaitu hak untuk hidup, hak untuk merdeka, dan hak milik. Ketiga hak ini merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia karena dipandang sebagai paling hakiki.

Menurut Magniz Suseno, hak-hak dalam pandangan kedua filsuf tersebut dikategorikan sebagai hak negatif. Hak-hak ini disebut negatif dalam arti logis: hak-hak ini hanya dapat dirumuskan dengan memakai kata ‘tidak’. Tidak dikatakan apa yang tidak boleh, melainkan apa yang tidak boleh dilakukan: kehidupan saya tidak boleh dicampuri oleh pihak-pihak luar. 

Argumentasi etis dari hak-hak negatif ini ialah kebebasan dan otonomi individu mesti dihormati dan tidak boleh dibatasi oleh apapun. Dengan kata lain, setiap individu diberi kekuasaan semaksimal mungkin untuk mengurus dan mengatur diri sendiri tanpa mencampuri urusan orang lain. Mereka tidak ingin kebebasan mereka diatur oleh suatu institusi tertentu seperti negara. Negara dipandang sekedar penjamin hak-hak tersebut, tetapi tidak memiliki wewenang untuk mengintervensi kebebasan individu.

Adanya hak asasi negatif berarti juga terdapat hak asasi positif. Hak asasi positif disebut juga sebagai hak demokratis. Dasar hak-hak itu adalah keyakinan bahwa rakyat berdaulat memerintahkan dirinya sendiri  dan setiap pemerintah berada di bawah kekuasaan rakyat. Dikatakan aktif karena terkait hak atas aktivitas manusia, yakni hak untuk ikut menentukan arah perkembangan masyarakat. 

Hak demokratis ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem tradisional feodalistis yang melihat bahwa yang berkuasa adalah orang-orang yang memiliki status istimewah  dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam pandangan ini, pemerintahan dijalankan oleh orang yang berkuasa tersebut dan menolak prinsip kesamaan dan kesederajatan setiap manusia. 

Cara berpikir ini mengungkapkan bahwa manusia selalu berbeda sesuai dengan status sosialnya. Hak demokratis menolak pandangan ini. Kaum yang menekankan hak demokratis ini melihat bahwa dalam sistem kepercayaan feodalistik itu, terdapat kecendrungan setiap orang untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang lain. Intesi dasar dari hak demokratis ini hendak mengatasi kesewenangan orang tertentu bagi kehidupan umat manusia di atas muka bumi ini.

Negara Hukum Demokratis dan Hak Asasi Manusia
Paham utama negara hukum demokratis adalah bahwa segala bentuk penyelenggaraan pemerintahan selalu berdasarkan kehendak rakyat dan dilakukan demi kepentingan rakyat. Negara hukum demokratis mengakui bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat berdaulat atas kehidupan negaranya. 

Dalam arti lain, konsep kedaulatan rakyat ini adalah suatu kepercayaan ideologis maupun keahlian khusus tidak memberikan hak kepada kelompok yang memilikinya untuk menguasai masyarakat. Dengan kata lain, dalam negara demokratis, tidak ada ruang bagi kelompok tertentu untuk berkuasa baik itu mayoritas religius, penguasa modal atau kapitalis, dan sebagainya.

Prinsip ini berpangkal pada keyakinan bahwa setiap orang memiliki status atau derajat yang sama, baik sebagai manusia maupun sebagai warga negara. Nilai kesederajatan dan kesamaan manusia ini merupakan inti dari negara demokrasi. Oleh karena itu, tidak ada orang atau kelompok orang yang dapat mengklaim diri sebagai penguasa dalam negara tersebut untuk memerintahkan orang lain. 
Foto: Ilustrasi
Dalam negara demokratis, wewenang untuk memerintahkan masyarakat mesti berdasarkan penugasan dan persetujuan para warga masyarakat sendiri. Dengan demikian, negara hukum demokratis adalah sebuah kekuasaan yang dilegitimasikam oleh kehendak mereka yang dikuasai, dalam hal ini ialah rakyat sendiri. Sebagai implikasinya, setiap wewenang untuk memberikan perintah kepada orang lain harus berdasarkan atau sesuai dengan tatanan masyarakat yang disetujui oleh masyarakat.

Prinsip kedaulatan rakyat ini tidak dapat dilepaskan dari gagasan tentang Hak Asasi Manusia. Kedaulatan rakyat berpijak pada pandangan bahwa setiap orang memilik hak untuk menentukan dirinya sendiri dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut seluruh masyarakat. Dengan kata lain, penentuan diri ini tidak boleh dilakukan oleh orang lain selain dari masyakarat itu sendiri.

Dalam negara hukum demokratis, pelaksanaan Hak Asasi Manusia selalu terkait dengan tanggung jawab negara untuk menjamin dan menciptakan kesejahteraan bersama. Antara kesejahteraan bersama dengan Hak Asasi Manusia tidak dapat dipisahkan begitu saja. Dalam hal ini, tanggung jawab negara untuk mewujudkan kesejahteraan bersama secara eksplisit merupakan kewajiban negara untuk menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia.

Sebagai sebuah komunitas politik, negara tidak hadir untuk dirinya sendiri. Negara tidak diciptakan untuk sekedar ada begitu saja sebagai sebuah negara. Negara hadir untuk memberikan jaminan kehidupan bagi setiap warga negara. Dalam hal ini, tugas negara ialah memberikan perlindungan terhadap hak warga negara serta mengusahakan agar cita-cita warganya dapat tercapai. Jadi, negara hanya mempunyai arti sejauh mampu mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Dengan merujuk pada tugas negara tersebut, dapat diketahui bahwa jaminan Hak Asasi Manusia dalam negara hukum demokratis terwujud ketika negara dapat menjalankan perannya sebagai pemberi kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal ini berarti, pengabaian terhadap tugas dan tanggung jawab ini dinilai merupakan kegagalan bagi suatu negara dalam memberikan perlindungan dan jaminan akan hak asasi warganya. 

Negara yang tidak melaksanakan tanggung jawab tersebut dapat mengancam atau menggangu hak asasi warganya. Pemerintah demokratis sebenarnya bertugas untuk melindungi hak-hak rakyat dan menyediakan pemenuhan hak-hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh pemerintah tersebut.

Menurut Imre Szabo (dalam Scott Davidson, 1994:9) tujuan dari Hak Asasi Manusia dalam kaitan dengan negara hukum demokratis adalah “mempertahankan hak-hak manusia dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat negara dan pada waktu yang bersamaan mendorong perkembangan pribadi manusia yang multidimensional.” 

Pandangan ini hendak mempertegas bahwa tugas negara ialah untuk memberikan jaminan legal institusional terhadap hak-Hak Asasi Manusia, karena hak itu tidak dihasilkan oleh negara melainkan ada mendahului negara. Dengan kata lain, negara tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan hak-hak tersebut, tetapi mesti mempertahankannya serta memberikan jaminan agar hak-hak tersebut dapat terlaksana.

Batasan Pelaksanaan Hak Asasi Manusia
Pengakuan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan tuntutan etis sekaligus normatif. Hak Asasi Manusia mesti dijamin atas dasar penghargaan terhadap martabat manusia itu sendiri. Dalam hal ini, manusia merupakan pribadi yang memiliki nilai intrinsik di mana tidak dapat dicabut oleh siapapun. 

Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa Hak Asasi Manusia tidak dapat dibatasi. Hak Asasi Manusia tidak merupakan sesuatu yang mutlak, dalam arti, ada hak-hak tertentu yang termasuk dalam kategori hak asasi yang mesti dikendalikan.

Menurut Magnis Suseno, hak-hak yang mesti dibatasi itu contohnya adalah hak akan kebebasan berpendapat. Dalam konteks negara hukum demokratis, kebebasan berpendapat tidak dapat dilakukan secara semaunya. Kebebasan berpendapat mesti dilaksanakan dalam batasan aturan hukum negara demokratis yang ada. 

Hal itu dilakukan untuk tetap mempertahankan keteraturan hidup bersama. Sebab, semakin bebas warga negara untuk menyampaikan pendapat tanpa ada aturan hukum tertentu, kehidupan negara tersebut akan semakin ngawur. Dengan kata lain, kebebasan sebagai unsur hakiki dari manusia mesti diimbangi dengan kesadaran akan keadilan sosial. 

Magnis Suseno mengatakan ini demikian, “kalau kesamaan dimutlakkan, kebebasan orang untuk mengembangkan kemampuannya dan untuk berusaha akan lumpuh.” Ini berarti, setiap orang mesti menjalankan hak-hak yang dimilikinya dengan tetap memertahankan atau menghargai hak-hak orang lain. Dengan demikian, batasan hak asasi manusia adalah pada pelaksanaannya yang mesti mempertimbangkan hak asasi manusia lain demi terjaminnya keadilan sosial.

Akhirnya...
Pemaparan di atas bermuara pada suatu kesimpulan bahwa keberadaan Hak Asasi Manusia dalam negara hukum demokratis merupakan suatu hal yang penting. Hal itu sangat sesuai dengan konsep negara hukum demokratis di mana negara memiliki peran dan tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. 

Berbicara tentang kesejahteraan ini, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang hak asasi tersebut. Dalam hal ini, negara mesti mampu menjamin dan menjaga ha-hak tersebut sebab merupakan bagian alamiah dari diri warga negara.

Sesuai dengan intensi dasar dari Hak Asasi Manusia yakni untuk melindungi manusia dari segala bentuk tindakan destruktif secara khusus dari sekelompok orang yang berkuasa, konsep negara hukum demokratis sangat tepat untuk mewujudkannya. Karena, dalam negara hukum demokratis, setiap orang memiliki derajat yang sama dengan orang lain. 

Negara hukum demokratis pada prinsipnya menolak segala bentuk kesewenangan terhadap sesama manusia atas nama kekuasaan tertentu. Dengan kata lain, negara hukum demokratis juga memiliki peran untuk meminimalisir segala bentuk kesewenangan dari manusia atas manusia lainya.*
Share:

Selasa, 05 Desember 2017

Diskursus Perbatasan dan Kuasi Demokrasi Kaum Populisme Kanan

Ilustrasi - Populisme
Kalau kita masuk dalam dunia teori sistem, di sana kita akan temukan sebuah persoalan bernama 'diskursus perbatasan' atau dalam bahasa lebih 'now' sedikit - grenzdiskurs. Diskursus perbatasan maksudnya yaitu suatu bentuk komunikasi yang mengutuk atau menolak komunikasi. Cara berpikir diskursif ini menerima komunikasi yang sama sekali bukan komunikasi.

Dalam diskursus semacam ini, komunikasi tidak diartikan sebagai sebuah diskursus argumentatif-dialogal untuk mencapai suatu konsensus yang rasional dan inklusif bagi kehidupan bersama, tetapi diartikan dengan memaklumkan demarkasi antara 'aku' dan 'kamu' atau 'kita' dan 'mereka'. Kode semiotisnya ialah 'kita' versus 'mereka'.

Komunikasi diartikan sejauh itu merupakan sebuah narasi yang sifatnya monologal atau bersifat searah, anti kritik, mitis, bahkan lebih sadis bersifat narsis sampai nekad mengumandangkan jihad bagi yang bukan bagian dari 'kita'.

Model diskursus semacam ini cukup sering terjadi di Indonesia ketika memasuki era reformasi saat ini. Tumbangnya rezim otoriter Orde Baru dan disambutnya era baru yang disebut reformasi dengan pengakuannya yang "pura-pura" atas demokrasi telah berhasil menjadi penyokong bangkitnya cara berpikir seperti ini.

Menjalarnya model diskursus perbatasan ini semakin dipertegas ketika lanskap politik di era pasca Orde Baru ini diwarnai oleh kebangkitan populisme kanan. Kaum populisme kanan ialah bagian dari tatanan politik yang memiliki tingkah laku politik seperti ini; para pemimpinnya pandai membakar emosi massa dengan ujaran-ujaran kebencian kepada 'yang lain', yakni kelompok yang berbeda dengan mereka seperti minoritas etnis, ras, agama, dll.

Mereka adalah orang-orang yang "pro" demokrasi, tetapi di saat yang sama menolak demokrasi. Sebab mereka hanya menerima demokrasi sebagai instrumen untuk memenuhi gairah selangkangannya. Kaum populisme kanan memanfaatkan nilai kebebasan dalam demokrasi untuk menyukseskan agenda besar kelompoknya yang cenderung ekstrim dan fundamentalis.

Ilustrasi
Ilustrasi
Mereka akan selalu mewartakan diri sebagai pembela demokrasi tetapi sebenarnya mereka adalah monster-monster demokrasi karena agendanya yang hendak membabat habis segala nilai demokrasi itu seperti kesetaraan, kesederajatan, serta solidaritas yang inklusif.

Ya, secara jelas kita temukan hal ini dalam beberapa aksi berjilid dengan label agama seperti yang pernah terjadi menjelang Pilkada DKI tahun lalu yang bahkan sampai saat ini semakin memerkuat diri dengan sebuah cara yang disebut 'reuni'. 

Kaum populisme kanan ialah kelompok yang menolak segala aturan hukum yang berlaku dalam negara demokrasi.
Mereka sama sekali tidak akan menghargai hukum itu bahkan sering menginjak-injak hukum itu atas nama kebebasan berpendapat.

Politik yang diartikan kelompok seperti ini ialah berciri sentimental dan emosional. Sehingga tidak heran kalau mereka menolak segala aturan hukum negara demokrasi yang ada.

Sebab hukum dalam negara demokrasi pada hakikatnya selalu berciri rasional dan argumentatif. Sementara, kaum populis akan mengandalkan kekuatan massa untuk menerjang batas-batas hukum negara demokrasi seperti itu.

Kalau sudah seperti ini, masihkah kita mengaku diri sebagai negara demokratis? Hukum kita ternyata telah dikendalikan oleh para demagog yang nafsu kuasanya sulit dikerangkeng oleh kekuatan hukum itu sendiri. Demokrasi di Indonesia tidak lebih sebagai anarki.

Apa yang dikhawatirkan sang guru kebijaksanaan dari Yunani Kuno, yakni Platon tentang rezim demokrasi telah nyata terjadi di negara kita ini.

Yones Hambur

Share:

Minggu, 03 Desember 2017

"Mengenal Skandal Demokrasi"

Author: F. Budi Hardiman

Mencari pemimpin demokratis untuk mewujudkan masyarakat demokratis sangat sulit ketika nafsu oligarkis di dalam diri politisi serta warga masyarakat masih mengental. Itulah kenapa menjelang pilkada, sangat penting mewartakan aksi 'Tolak Politik Uang'.
Sebab, politik uang merupakan awal kemunculan para oligark di kekuasaan. Kalau kekuasaan dikendalikan oleh para oligark, jangan pernah berharap ideal dari Thomas Aquinas - Bonum Commune - akan terwujud. Karena para oligark tidak pernah peduli akan nilai demokrasi seperti solidaritas sosial.
Kaum oligark tidak akan tahu menahu tentang orang lain selain kepentingan diri, sebab mereka ialah individu-individu yang terisolasi satu sama lain karena nafsu uang dari dalam dirinya.
Buku berjudul 'Dalam Moncong Oligarki' ini memberikan cerahan menghentakan bagi budi kita tentang aksi kaum oligarki ini. Kaum oligark ialah hamba-hamba Uang. Mereka menjadikan uang sebagai tujuan tertinggi dari hidup ini.
Lebih menarik lagi, ketika kaum oligark begitu lihai mengambil hati para agamawan. Meskipun agama kelihatan paradoks dengan praktik oligarkis sebab agama sangat anti pada berhala-berhala seperti menjadikan uang sebagai Tuhan, tidak jarang banyak kaum agamawan justru tunduk pada kendali para oligark.
Dengan cara merayu dan menggoda lewat tawaran uang, kaum oligark begitu mudah meluluhkan hati para agamawan serta mencerabut mereka dari keberagamaannya. Persis sampai di sini agama didegradasi menjadi instrumen kepentingan diri semata.
...

Yones Hambur
Share:

Selasa, 07 November 2017

Arahan Memilih Pemimpin dalam Pilgub NTT 2018

Ilustrasi
Ilustrasi

Sebentar lagi daerah NTT akan melaksanakan sebuah upacara demokratis bernama Pilkada. Seperti diketahui, Pilkada ini akan dilakukan secara langsung bahwa rakyat sendiri sebagai pelaku utama demokrasi, menentukan sendiri pemimpinnya.

Momen Pilkada ini dibuat agar kita sebagai masyarakat dapat memilih secara bebas terkait siapa yang berhak memimpin kita untuk lima tahun ke depan. Momen ini juga merupakan penentu arah gerak kehidupan bersama kita dalam lima tahun tersebut.

Karena itu, momen Pilkada ini tidak boleh dianggap remeh. Kita sebagai pemilih mesti memanfaatkan kesempatan Pilkada ini dengan baik, sebab nasib kehidupan kita di masa depan sangat ditentukan oleh keputusan kita saat upacara Pilkada ini nanti.

Tulisan ini memberikan beberapa hal bagi kita tentang cara menentukan pilihan dengan baik dalam Pilkada nanti. Beberapa cara ini diharapkan dapat menjadi kerangka berpikir kita untuk menilai pemimpin yang benar-benar layak untuk menuntun kita dalam lima tahun mendatang.

Empat Cara Menilai dan Memilih Pemimpin

Pertama, kita mesti mampu melihat tindakan-tindakan para calon di masa lalu mereka, dalam hal ini adalah prilaku politik mereka (track record). Hal ini berarti kita mesti memiliki pengetahuan terkait calon tersebut. Untuk memiliki pengetahuan itu, kita mau tidak mau mesti mencari dan menggali berbagai informasi tentang para calon, seperti dengan membaca berita di media masa atau meminta nasehat dari orang terpercaya.

Sebagai contoh, kita mungkin pernah melihat ada calon di mana dahulu dia pernah memberikan izin usaha tambang. Kita mesti tahu apakah izin itu dikeluarkannya atas dasar kepentingan umum atau justru demi kepentingan pribadinya. 

Kedua, kita juga perlu melihat apakah para calon tersebut memiliki watak atau karakter demokratis atau justru seperti bos. Dalam hal ini, kita dituntut untuk memeriksa mental keseharian dari para calon secara khusus dalam relasinya dengan masyarakat.

Kalau dalam kenyataanya sikap yang sering dia tunjukkan adalah ‘berlagak bos’, sebaiknya kita mesti putuskan untuk tidak memilihnya, karena kalau jadi pemimpin, orang seperti ini akan sangat sulit melayani kita. Hal ini juga sangat penting untuk melihat bahaya mental para calon yang  ‘mendadak merakyat’.  Kita tentu tidak mau dengan para calon yang dekat dengan rakyat hanya dalam momentum menjelang Pilkada seperti ini.

Ketiga, kompetensi para calon. Pemeriksaan kompetensi para calon sangat penting dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengatasi segala bentuk ‘tipu daya’ dalam bentuk retorika yang disampaikan para calon saat masa kampanye.

Kita mesti mampu menilai segala misi atau janji-janji kampanye yang ditawarkan para calon dengan melihat kemampuan yang dimilikinya. Kita mesti bertanya apakah janji yang dia sampaikan itu sungguh-sungguh realistis atau tidak. 

Apakah dengan kemampuan atau keadaan yang dimiliki daerah saat ini mampu menjawab janji tersebut atau tidak. Sebagai contoh, misalnya ada calon yang mengusungkan pengadaan air minum bersih. Kita mesti memeriksa, apakah gagasannya itu mampu terlaksana atau tidak dengan mengingat kondisi lingkungan sekitar kita.

Keempat, lihatlah partai yang mengusungnya. Penyelidikan partai pengusung para calon juga sangat penting, karena seringkali seorang calon akan mengeluarkan berbagai kebijakan sesuai dengan ideologi atau gerak-gerik kepentingan partainya.

Sebagai contoh, apakah partainya memiliki komitmen untuk memberantas korupsi atau justru kader-kadernya sering masuk dalam skandal tersebut. Kita tentu tidak ingin memilih pemimpin yang dilahirkan dari partai-partai yang memiliki catatan buruk di mana sering terlibat dalam skandal korupsi.

Akhirnya, semoga dengan keempat hal tersebut di atas dapat membantu kita untuk memilih pemimpin yang benar-benar demokratis, dalam arti mampu memberikan diri untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

Jadilah pemilih rasional yang memilih sesuai dengan pertimbangan akal sehat dengan memerhatikan berbagai program kerja yang ditawarkan sang calon. Jangan pernah memilih seorang atas dasar kesamaan suku, ras, agama, atau karena kepandaiannya dalam beretorika semata. Carilah pemimpin yang punya etos kerja yang baik.

SALAM HANGAT! 
Share:

Jumat, 03 November 2017

"tuhan-tuhan zaman now"

"tuhan-tuhan zaman now"
Ilustrasi

Dunia kita ini sudah penuh dengan tuhan-tuhanan. Manusia 'zaman now' memang suka men-Tuhan-kan dirinya. Hampir semua orang menganggap diri sebagai Tuhan. Sangat jarang kita temukan orang yang rendah hati. Yang sering kita lihat justru manusia-manusia sombong, serakah.

Lihat saja di sekitar kita. Masing-masing orang suka menghakimi orang lain. Gosip sana-sini. Seolah-olah mereka tahu segalanya tentang orang lain.

Di hadapan orang lain, mereka menempatkan diri sebagai 'tuhan'. Mereka anggap dirinya suci, tak bercelah. Sebaliknya orang lain selalu dipandang hina di matanya.

Mereka suka menebarkan benci terhadap orang lain. Juga suka mempromosikan keburukan orang lain. Di mata mereka, tidak ada yang lebih hebat daripada dirinya.

Orang-orang ini, suka kalau orang lain jatuh. Mereka akan terus menertawakan kalau orang lain menderita. Bahkan kalau ada orang yang lagi senang misalnya karena sukses, mereka mati-matian cari cara untuk jatuhkannya.

Inikah yang namanya 'zaman now'? Zaman yang serba penuh hujatan, suka tebar kebencian. Ah, Sungguh kasihan 'zaman now' ini.

Bertobatlah, sebab Tuhan itu cuma satu. Ia Maha Besar tetapi sangat rendah hati dan penuh kasih!
...
Manusia 'zaman now'!
Yones Hambur


Share:

Rabu, 01 November 2017

"Merayakan Kematian"

Ilustrasi Kematian
Ilustrasi Kematian

Siapa yang tidak takut mati? Pada umumnya manusia itu takut mati, bahkan semua. Kematian itu ibarat monster, selalu mengintai diri manusia. Kemanapun manusia pergi, bayang-bayang kematian akan selalu mengikutinya.

Coba perhatikan di sekeliling kita. Orang yang baru saja bercanda dan tertawa dengan kita, tiba-tiba terdengar ditabrak dan mati. Hanya karna sakit gigi, teman kita dikabarkan tak bernyawa. Gara-gara main bola pingpong, tetangga kita diberitakan meninggal dunia. Tentu ada banyak hal lainnya. Itu dari kematian yang tak direncanakan.

Tapi, ada juga kematian yang disengaja. Kita tentu dengar dengan berbagai peristiwa akhir-akhir ini, banyak sekali kejadian tentang kematian, seperti bunuh diri. Dari media seperti facebook, tiba-tiba muncul di linimasa kita, ada seorang siswi nekad membakar diri. Belum lagi yang tegah gantungkan diri di dalam kamarnya sendiri, minum zat beracun, lalu nyawanya lenyap.
Ilustrasi Kematian
Ilustrasi Kematian
Ada juga yang mati dibunuh. Media seperti TV dan surat kabar kita seringkali menyajikan kabar pembunuhan dengan modus perampokan. Ada juga yang dibunuh setelah diperkosa, diracun, bahkan karna ditembak.

Pada titik ini, kita mau tidak mau, suka tidak suka, senang tidak senang, harus akui, kematian itu datang kapan saja. Ia hadir bagai pencuri di tengah malam. Kita dituntut untuk siagap dan waspada akan datangnya.

Tetapi, orang kadang punya cara masing-masing melihat kematian. Ada yang pesimis karna menganggap hidup ini sia-sia karna kematian. Mereka berpikir, percuma bermimpi dan berkarya, toh akhirnya mati juga. Bagi mereka, kematian itu merenggut segala harapan, memutuskan semua cita-cita.
Ilustrasi Kematian
Ilustrasi Kematian

Tetapi, Coba Dipikirkan!

Kalau kematian itu tidak ada, akankah manusia itu berbuat baik? Apakah orang akan bekerja kalau hidup itu tanpa akhir? Mungkinkah orang menghargai apalagi mencintai sesama bila tak ada kematian? Ternyata sulit untuk dibayangkan.

Bukankah kematian itu membuat manusia menjadi penolong bagi sesamanya? Coba bayangkan apakah ada rasa simpatik apalagi empatik kalau tidak ada kematian?
Ilustrasi Kematian
Ilustrasi Kematian

Orang kadang berbuat baik karna sadar bahwa hidup itu sementara. Kematian dianggapnya sebagai pengingat kita akan pentingnya kehidupan, akan berharganya ziarah di dunia ini.

Kematian ternyata punya nilai positif bagi hidup kita. Ia menyadarkan kita betapa pentingnya menjadi manusia yang bisa membantu orang lain. Ia mengajarkan kita tentang makna mencintai sesama. 

Ia menunjukkan kita soal berharganya bersikap peduli terhadap orang lain. Ia memberitahukan kita akan indahnya kehidupan. Singkatnya, kematian membuat hidup menjadi lebih bermakna.

So, jangan pernah takut dengan kematian. Sambutlah kematian dengan berbuat baik terus-menerus. Itulah kehidupan. Kematian akan mengajarkan dan menegaskan bahwa kita ialah mahluk bermartabat. Kematian membuat kita menjadi manusia berkeutamaan dan bijaksana. Kehidupan tanpa kematian justru sia-sia.

Catatan 02 November:
Yones Hambur
Share:

Senin, 23 Oktober 2017

Dekonstruksi dalam Pemikiran Jacques Derrida



Ilustration

Oleh: 

Yones Hambur

Istilah dekonstruksi merupakan suatu konsep penting dalam cakrawala pemikiran postmodern. Kehadiran istilah ini telah membuka suatu cara baru dalam dunia intelektual dalam usaha membaca, menafsir, dan memahami realitas secara khusus dalam berbagai macam penelitian sosio-kultural.

Tulisan ini merupakan sebuah usaha menelusuri konsep dekonstruksi tersebut. Istilah sekaligus sebuah strategi dalam memahami ini dapat ditemukan dalam pemikiran seorang pemikir terkemuka dewasa ini yaitu Jacques Derrida. Setelah memaparkan sedikit tentang 'gagasan' ini, penulis akan memberikan beberapa tanggapan kritis atasnya dengan dibantu oleh berbagai sumber yang ada.

Dekonstruksi sebagai ‘Metode’

Istilah dekonstruksi diperkenalkan pertama kali secara radikal oleh Jacques Derrida. Filsuf Prancis ini memperkenalkan istilah ini sebagai sebuah ‘metode’ untuk mengritik dan membongkar teks-teks sastra dan filsafat. 

Kata ‘metode’ itu sendiri diberi tanda petik untuk tetap memertahankan pandangan Derrida yang menolak metode sebagaimana lazim dipahami, sebab seperti ditulis McQuillan, dekonstruksi dalam pandangan Derrida ‘tidak pernah mengenal perangkat aturan, tak ada kriteria, tak ada prosedur, tak ada program, tak ada urutan langkah-langkah, tak ada teori untuk diikuti olehnya’ (Lih. McQuillan, ‘Introduction: Five Strategies For Deconstruction’)

Tentang arti istilah dekonstruksi itu sendiri, Derrida mengakui bahwa ia mengalami suatu kesulitan untuk menjelaskannya. Namun, pemakaian pendekatan dekonstruksi ini dapat ditemukan dalam caranya memberikan suatu argumentasi dan kritik terhadap berbagai macam wacana atau teks sastra dan filsafat yang dianalisisnya.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Derrida dalam sebuah  Seminar di Universitas Jhon Hopkins Amerika Serikat pada tahun 1966. Dalam seminar itu, Derrida mempresentasikan sebuah tulisan dengan judul ‘Structure and Play in the Human Science’. Tulisan itu berisi sebuah kritik atas seluruh filsafat Barat secara khusus terhadap strukturalisme yang pada sa’at itu menguasai pemikiran banyak ilmuwan sosial-humaniora, terutama di Perancis.

Dekonstruksi itu sendiri berasal dari kata bahasa Prancis yaitu Déconstuire dengan arti harafiah sebagai kegiatan membongkar mesin, namun membongkar untuk dipasang kembali (Akhyar Lubis: 2014). 

Dalam kaitannya dengan membaca dan memahami sebuah teks, dekonstruksi dipakai untuk membongkar dan menjungkirbalikan makna teks, tetapi tidak hanya sekedar membongkar dan menjungkirbalikan begitu saja dan kemudian lepas, melainkan teks atau wacana tersebut kemudian dikonstruksikan lagi dalam makna baru yang tetap berasal dari teks atau wacana yang dibongkar tersebut. 

Dengan demikian, dekonstruksi tidak boleh dipandang negatif di mana hendak menghacurkan suatu teks atau wacana, tetapi justru mesti dipandang sebagai suatu hal yang produktif, karena hendak menunjukkan dan menyingkapkan hal baru dari teks yang seolah-olah tidak ada di dalam teks dan luput dari perhatian pembaca bahkan sama sekali tidak disadari oleh pengarang teks itu sendiri.
Ilustration

'Metode' dekonstruksi itu sendiri dipakai oleh Derrida untuk melawan hermeneutika modern. Hermeneutika modern memiliki asumsi bahwa kita dapat memahami dan menemukan suatu makna di dalam teks secara objektif. 
Hal itu juga dipakai oleh Derrida untuk melawan pandangan strukturalisme Saussure yang menganggap bahwa makna suatu kata bersifat stabil dan objektif. 

Dengan demikian, dekonstruksi Derrida merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap pandangan yang melihat kesejajaran atau kesamaan antara bahasa dengan realitas sebagaimana dalam pandangan kaum positivisme logis yang berkembang dalam dunia pemikiran modern.

Derrida adalah seorang yang sangat kritis terhadap filsafat Barat. Dia menolak tradisi pemikiran Barat yang dinilai sebagai sebuah cara berpikir yang percaya bahwa lewat ‘logos’, manusia dapat mencapai suatu kebenaran yang objektif. Ia menolak keras kepercayaan ini dan menyebutnya dengan istilah 'metafisika kehadiran'. 

Ia menyebut dengan istilah ini karena di dalamnya terkandung intensi tertentu yang hendak mencari kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang berada di luar apa yang tampak dan kemudian memaksakan kebenaran itu sebagai dasar seluruh realitas. 

Penolakan terhadap apa yang disebutnya sebagai 'metafisika kehadiran' ini terinspirasi oleh kritik Nietzsche, Freud, dan Heidegger terhadap sejarah filsafat Barat.
Jacques Derrida

Dekonstruksi sebagai Cara Memahami

Secara garis besar, dekonstruksi dipahami sebagai suatu strategi yang digunakan untuk mengguncang kategori-kategori dan asumsi-asumsi dasar  di mana suatu pemikiran ditegakan (Akhyar Lubis: 2014). Itu berarti, dekonstruksi merupakan suatu upaya untuk mengkritisi secara radikal dan berusaha membongkar berbagai macam asumsi dasar yang menjadi jangkar atau penopang pemikiran atau keyakinan kita. 

Segala bentuk keyakinan seperti dalam rupa ideologi, ilmu pengetahuan, agama, dan lain sebagainya yang menawarkan sebuah kebenaran mutlak, lewat dekonstruksi, segalanya diguncang dan ditelanjangi. Kebenaran yang diyakini sebagai sesuatu yang bersifat objektif dan mutlak dalam berbagai bentuk keyakinan kita, oleh dekonstruksi dipertanyakan dan dihancurkan. 

Lewat dekonstruksi, argumentasi baru kemudian diajukan yang dianggap lebih dapat diterima dan dipertanggungjawabkan. Bagi Derrida, tidak ada kebenaran yang bersifat stabil yang menentukan makna yang pasti dan objektif.

Derrida mengatakan bahwa makna dalamj suatu teks selalu diciptakan melalui permainan penanda (play of difference). Bahasa tidak mengandung hubungan representasional  yang pasti dan stabil atas kenyataan.  Bahasa selalu bersifat licin dan ambigu atau dengan kata lain bahwa bahasa itu sifatnya tidak stabil. 

Pandangan ini merupakan kritik Derrida terhadap klaim filsafat Barat sebelumnya (metafisika kehadiran). Derrida dalam hal ini menolak paradigma filsafat Barat yang logosentristis di mana logika dan ilmu pengetahuan sebelumnya dapat mencerminkan realitas dunia melalui bahasa tanpa terdistorsi oleh dimensi subjek (Akhyar Lubis: 2014).

Dalam sejarah hermeneutik, pendekatan dekonstruksi ini memang merupakan sesuatu yang baru dalam kegiatan memahami sebuah teks. Hal ini juga diakui dan dikemukan oleh Peter Barry. Ia mengatakan bahwa dekonstruksi dipahami sebagai suatu ‘cara membaca teks di luar kebiasaan’ atau ‘membaca teks dengan melawan teks itu sendiri’ (Barry, 2010: 82). 

Dekonstruksi merupakan sebuah cara memahami di mana subjek membuka diri kepada kemungkinan isi suatu teks, suatu makna yang selalu terbuka terhadap berbagai macam kemungkinan dari dalamnya. Dalam cara baca dekonstruktif seorang pembaca atau penafsir terbuka terhadap ‘yang lain’ di dalam maupun di luar teks. Dengan kata lain, dekonstruksi adalah suatu seperti disebut oleh Kimmerle, ‘pergantian perspektif terus-menerus’(Kimmerle: 2000).

Tujuan Dekonstruksi

Dekonstruksi Derrida tentu tidak ada tanpa maksud dan guna tertentu. Dalam hal ini, dekonstruksi memberikan suatu kontribusi bagi kita secara khusus dalam upaya kita memahami kehidupan secara khusus yang terkait dengan berbagai macam teks seperti sastra atau pun politik. Beberapa tujuan kontributif dari dekonstruksi ini adalah sebagai berikut. 

Pertama, dekonstruksi memberi daya tawar bagi kita untuk melakukan identifikasi terhadap teks yang mengantarkan kita pada suatu kesadaran yang lebih tinggi bahwa terdapat bentuk-bentuk inkonstitensi  dalam teks tertentu, baik itu soal kata yang dikandungnya, kalimat yang digunakannya, dan lain sebagainya. Hal ini akan menghindari kita untuk mengartikan suatu kata atau kalimat secara harafiah dan tertutup. Dalam hal ini, dekonstruksi menghantam pendekatan dan cara berpikir literalistik. 


Kedua, dekonstruksi akan memperlakukan teks, konteks, dan tradisi sebagai sarana untuk membuka suatu kemungkinan baru untuk suatu perubahan lewat hubungan yang tidak mungkn. Lewat dekonstruksi, kita dapat menggali kembali berbagai macam tradisi yang ada untuk menemukan makna baru di balik yang lebih dikenal. 


Ketiga, dekonstruksi dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis kita untuk membongkar ekspansi ideologis yang ada. Lewat dekonstruksi, suatu gagasan akan ditelanjang dan dibongkar nafsu-nafsu intimidatif di baliknya. Dekonstruksi dapat mengguncang segala macam 'Status Quo' yang menyimpan dan menyembunyikan kebobrokan yang akut.


Keempat, dekonstruksi mampu mengantar kita untuk keluar dari zona familiar dan masuk dalam kemungkinan-kemungkinan asing yang justru akan memperkaya pemahaman kita akan sesuatu. Dengan dekonstruksi, kita dapat melihat sisi-sisi lain dari suatu teks yang tidak pernah dipikirkan dan dibicarakan oleh orang lain. 
Jacques Derrida - France Philosopher

Tanggapan Kritis

Pemikiran Derrida tentu tidak dapat tidak menimbulkan berbagai macam komentar kritis, secara khusus terkait dengan pandangan dekonstruksi ini. Pandangan Derrida ini memang perlu diapresiasi karena memiliki kontribusi besar bagi kita secara khusus untuk membuka  dan menajamkan nalar kritis kita akan berbagai kemungkinan makna yang dapat diperoleh dari dalam teks. 

Hal ini pada akhirnya dapat membantu kita untuk terus menerus menggali berbagai macam makna yang terselubung dalam suatu teks tertentu. Dekonstruksi dapat membantu kita dibebaskan dari penafsiran tunggal akan makna suatu teks.

Namun, dekonstruksi ini justru menimbulkan suatu pertanyaan kritis dan serius. Dapatkah dipertanggungjawabkan mendekonstruksi, tanpa melakukan rekonstruksi? sampai pada upaya serius untuk falsifikasi atau karikaturisasi dalam bentuk tuduhan ‘fiksionalisme integral’ (M. Goldschmit, 2003: 12). 

Tuduhan fiksionalime integral ini terakit dengan ungkapan bahwa ‘tidak ada  yang di luar teks’. Dalam pernyataan ini tersirat suatu paham bahwa seolah tidak ada realitas dan menutup kemungkinan untuk mengacu kepada suatu identitas yang stabil (Haryatmoko: 2016). Hal ini kemudian akan mengakibatkan sulitnya membedakan kebenaran yang objektif dengan kebohongan karena referensi bahasa kepada realitas menjadi hilang.

Pada tataran pragmatis, dekonstruksi justru diragukan sumbangannya dalam upaya membantu mengambil suatu keputusan atau tindakan. Apabila dalam suatu penafsiran tidak ada makna tunggal, tetapi memiliki pluralitas makna di dalam teks sebagaimana diklaim oleh dekonstruksi ini, bukankah orang pada akhirnya dalam suatu kehidupan aktual hanya memilih salah satu dari berbagai macam pluralitas makna itu? 

Hal ini kemudian akan melahirkan sebuah dilema bagi pembaca yaitu antara memilih yang plural dengan tuntutan untuk bertindak di mana pada akhirnya dia mesti memilih salah satu dari berbagai macam makna yang ada, dan kemudian tetap jatuh pada masalah bahwa orang akan tetap memandang bahwa makna yang dipilihnya itu adalah sautu kebenaran tunggal di dalam teks itu.*
Share:

Video Widget

Diberdayakan oleh Blogger.

Bonjour & Welcome

Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, Sebuah Penutup

Roger Trigg, Profesor Emeritus pada Oxford University BAB V PENUTUP  Oleh: Yones Hambur "Tulisan ini merupakan sebu...

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Top Stories

Video Of Day

Top Stories

Recent Posts

Unordered List

Theme Support

Sponsor

Flickr Images

Popular Posts

Popular

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support