Senin, 23 Oktober 2017

Dekonstruksi dalam Pemikiran Jacques Derrida



Ilustration

Oleh: 

Yones Hambur

Istilah dekonstruksi merupakan suatu konsep penting dalam cakrawala pemikiran postmodern. Kehadiran istilah ini telah membuka suatu cara baru dalam dunia intelektual dalam usaha membaca, menafsir, dan memahami realitas secara khusus dalam berbagai macam penelitian sosio-kultural.

Tulisan ini merupakan sebuah usaha menelusuri konsep dekonstruksi tersebut. Istilah sekaligus sebuah strategi dalam memahami ini dapat ditemukan dalam pemikiran seorang pemikir terkemuka dewasa ini yaitu Jacques Derrida. Setelah memaparkan sedikit tentang 'gagasan' ini, penulis akan memberikan beberapa tanggapan kritis atasnya dengan dibantu oleh berbagai sumber yang ada.

Dekonstruksi sebagai ‘Metode’

Istilah dekonstruksi diperkenalkan pertama kali secara radikal oleh Jacques Derrida. Filsuf Prancis ini memperkenalkan istilah ini sebagai sebuah ‘metode’ untuk mengritik dan membongkar teks-teks sastra dan filsafat. 

Kata ‘metode’ itu sendiri diberi tanda petik untuk tetap memertahankan pandangan Derrida yang menolak metode sebagaimana lazim dipahami, sebab seperti ditulis McQuillan, dekonstruksi dalam pandangan Derrida ‘tidak pernah mengenal perangkat aturan, tak ada kriteria, tak ada prosedur, tak ada program, tak ada urutan langkah-langkah, tak ada teori untuk diikuti olehnya’ (Lih. McQuillan, ‘Introduction: Five Strategies For Deconstruction’)

Tentang arti istilah dekonstruksi itu sendiri, Derrida mengakui bahwa ia mengalami suatu kesulitan untuk menjelaskannya. Namun, pemakaian pendekatan dekonstruksi ini dapat ditemukan dalam caranya memberikan suatu argumentasi dan kritik terhadap berbagai macam wacana atau teks sastra dan filsafat yang dianalisisnya.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Derrida dalam sebuah  Seminar di Universitas Jhon Hopkins Amerika Serikat pada tahun 1966. Dalam seminar itu, Derrida mempresentasikan sebuah tulisan dengan judul ‘Structure and Play in the Human Science’. Tulisan itu berisi sebuah kritik atas seluruh filsafat Barat secara khusus terhadap strukturalisme yang pada sa’at itu menguasai pemikiran banyak ilmuwan sosial-humaniora, terutama di Perancis.

Dekonstruksi itu sendiri berasal dari kata bahasa Prancis yaitu Déconstuire dengan arti harafiah sebagai kegiatan membongkar mesin, namun membongkar untuk dipasang kembali (Akhyar Lubis: 2014). 

Dalam kaitannya dengan membaca dan memahami sebuah teks, dekonstruksi dipakai untuk membongkar dan menjungkirbalikan makna teks, tetapi tidak hanya sekedar membongkar dan menjungkirbalikan begitu saja dan kemudian lepas, melainkan teks atau wacana tersebut kemudian dikonstruksikan lagi dalam makna baru yang tetap berasal dari teks atau wacana yang dibongkar tersebut. 

Dengan demikian, dekonstruksi tidak boleh dipandang negatif di mana hendak menghacurkan suatu teks atau wacana, tetapi justru mesti dipandang sebagai suatu hal yang produktif, karena hendak menunjukkan dan menyingkapkan hal baru dari teks yang seolah-olah tidak ada di dalam teks dan luput dari perhatian pembaca bahkan sama sekali tidak disadari oleh pengarang teks itu sendiri.
Ilustration

'Metode' dekonstruksi itu sendiri dipakai oleh Derrida untuk melawan hermeneutika modern. Hermeneutika modern memiliki asumsi bahwa kita dapat memahami dan menemukan suatu makna di dalam teks secara objektif. 
Hal itu juga dipakai oleh Derrida untuk melawan pandangan strukturalisme Saussure yang menganggap bahwa makna suatu kata bersifat stabil dan objektif. 

Dengan demikian, dekonstruksi Derrida merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap pandangan yang melihat kesejajaran atau kesamaan antara bahasa dengan realitas sebagaimana dalam pandangan kaum positivisme logis yang berkembang dalam dunia pemikiran modern.

Derrida adalah seorang yang sangat kritis terhadap filsafat Barat. Dia menolak tradisi pemikiran Barat yang dinilai sebagai sebuah cara berpikir yang percaya bahwa lewat ‘logos’, manusia dapat mencapai suatu kebenaran yang objektif. Ia menolak keras kepercayaan ini dan menyebutnya dengan istilah 'metafisika kehadiran'. 

Ia menyebut dengan istilah ini karena di dalamnya terkandung intensi tertentu yang hendak mencari kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang berada di luar apa yang tampak dan kemudian memaksakan kebenaran itu sebagai dasar seluruh realitas. 

Penolakan terhadap apa yang disebutnya sebagai 'metafisika kehadiran' ini terinspirasi oleh kritik Nietzsche, Freud, dan Heidegger terhadap sejarah filsafat Barat.
Jacques Derrida

Dekonstruksi sebagai Cara Memahami

Secara garis besar, dekonstruksi dipahami sebagai suatu strategi yang digunakan untuk mengguncang kategori-kategori dan asumsi-asumsi dasar  di mana suatu pemikiran ditegakan (Akhyar Lubis: 2014). Itu berarti, dekonstruksi merupakan suatu upaya untuk mengkritisi secara radikal dan berusaha membongkar berbagai macam asumsi dasar yang menjadi jangkar atau penopang pemikiran atau keyakinan kita. 

Segala bentuk keyakinan seperti dalam rupa ideologi, ilmu pengetahuan, agama, dan lain sebagainya yang menawarkan sebuah kebenaran mutlak, lewat dekonstruksi, segalanya diguncang dan ditelanjangi. Kebenaran yang diyakini sebagai sesuatu yang bersifat objektif dan mutlak dalam berbagai bentuk keyakinan kita, oleh dekonstruksi dipertanyakan dan dihancurkan. 

Lewat dekonstruksi, argumentasi baru kemudian diajukan yang dianggap lebih dapat diterima dan dipertanggungjawabkan. Bagi Derrida, tidak ada kebenaran yang bersifat stabil yang menentukan makna yang pasti dan objektif.

Derrida mengatakan bahwa makna dalamj suatu teks selalu diciptakan melalui permainan penanda (play of difference). Bahasa tidak mengandung hubungan representasional  yang pasti dan stabil atas kenyataan.  Bahasa selalu bersifat licin dan ambigu atau dengan kata lain bahwa bahasa itu sifatnya tidak stabil. 

Pandangan ini merupakan kritik Derrida terhadap klaim filsafat Barat sebelumnya (metafisika kehadiran). Derrida dalam hal ini menolak paradigma filsafat Barat yang logosentristis di mana logika dan ilmu pengetahuan sebelumnya dapat mencerminkan realitas dunia melalui bahasa tanpa terdistorsi oleh dimensi subjek (Akhyar Lubis: 2014).

Dalam sejarah hermeneutik, pendekatan dekonstruksi ini memang merupakan sesuatu yang baru dalam kegiatan memahami sebuah teks. Hal ini juga diakui dan dikemukan oleh Peter Barry. Ia mengatakan bahwa dekonstruksi dipahami sebagai suatu ‘cara membaca teks di luar kebiasaan’ atau ‘membaca teks dengan melawan teks itu sendiri’ (Barry, 2010: 82). 

Dekonstruksi merupakan sebuah cara memahami di mana subjek membuka diri kepada kemungkinan isi suatu teks, suatu makna yang selalu terbuka terhadap berbagai macam kemungkinan dari dalamnya. Dalam cara baca dekonstruktif seorang pembaca atau penafsir terbuka terhadap ‘yang lain’ di dalam maupun di luar teks. Dengan kata lain, dekonstruksi adalah suatu seperti disebut oleh Kimmerle, ‘pergantian perspektif terus-menerus’(Kimmerle: 2000).

Tujuan Dekonstruksi

Dekonstruksi Derrida tentu tidak ada tanpa maksud dan guna tertentu. Dalam hal ini, dekonstruksi memberikan suatu kontribusi bagi kita secara khusus dalam upaya kita memahami kehidupan secara khusus yang terkait dengan berbagai macam teks seperti sastra atau pun politik. Beberapa tujuan kontributif dari dekonstruksi ini adalah sebagai berikut. 

Pertama, dekonstruksi memberi daya tawar bagi kita untuk melakukan identifikasi terhadap teks yang mengantarkan kita pada suatu kesadaran yang lebih tinggi bahwa terdapat bentuk-bentuk inkonstitensi  dalam teks tertentu, baik itu soal kata yang dikandungnya, kalimat yang digunakannya, dan lain sebagainya. Hal ini akan menghindari kita untuk mengartikan suatu kata atau kalimat secara harafiah dan tertutup. Dalam hal ini, dekonstruksi menghantam pendekatan dan cara berpikir literalistik. 


Kedua, dekonstruksi akan memperlakukan teks, konteks, dan tradisi sebagai sarana untuk membuka suatu kemungkinan baru untuk suatu perubahan lewat hubungan yang tidak mungkn. Lewat dekonstruksi, kita dapat menggali kembali berbagai macam tradisi yang ada untuk menemukan makna baru di balik yang lebih dikenal. 


Ketiga, dekonstruksi dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis kita untuk membongkar ekspansi ideologis yang ada. Lewat dekonstruksi, suatu gagasan akan ditelanjang dan dibongkar nafsu-nafsu intimidatif di baliknya. Dekonstruksi dapat mengguncang segala macam 'Status Quo' yang menyimpan dan menyembunyikan kebobrokan yang akut.


Keempat, dekonstruksi mampu mengantar kita untuk keluar dari zona familiar dan masuk dalam kemungkinan-kemungkinan asing yang justru akan memperkaya pemahaman kita akan sesuatu. Dengan dekonstruksi, kita dapat melihat sisi-sisi lain dari suatu teks yang tidak pernah dipikirkan dan dibicarakan oleh orang lain. 
Jacques Derrida - France Philosopher

Tanggapan Kritis

Pemikiran Derrida tentu tidak dapat tidak menimbulkan berbagai macam komentar kritis, secara khusus terkait dengan pandangan dekonstruksi ini. Pandangan Derrida ini memang perlu diapresiasi karena memiliki kontribusi besar bagi kita secara khusus untuk membuka  dan menajamkan nalar kritis kita akan berbagai kemungkinan makna yang dapat diperoleh dari dalam teks. 

Hal ini pada akhirnya dapat membantu kita untuk terus menerus menggali berbagai macam makna yang terselubung dalam suatu teks tertentu. Dekonstruksi dapat membantu kita dibebaskan dari penafsiran tunggal akan makna suatu teks.

Namun, dekonstruksi ini justru menimbulkan suatu pertanyaan kritis dan serius. Dapatkah dipertanggungjawabkan mendekonstruksi, tanpa melakukan rekonstruksi? sampai pada upaya serius untuk falsifikasi atau karikaturisasi dalam bentuk tuduhan ‘fiksionalisme integral’ (M. Goldschmit, 2003: 12). 

Tuduhan fiksionalime integral ini terakit dengan ungkapan bahwa ‘tidak ada  yang di luar teks’. Dalam pernyataan ini tersirat suatu paham bahwa seolah tidak ada realitas dan menutup kemungkinan untuk mengacu kepada suatu identitas yang stabil (Haryatmoko: 2016). Hal ini kemudian akan mengakibatkan sulitnya membedakan kebenaran yang objektif dengan kebohongan karena referensi bahasa kepada realitas menjadi hilang.

Pada tataran pragmatis, dekonstruksi justru diragukan sumbangannya dalam upaya membantu mengambil suatu keputusan atau tindakan. Apabila dalam suatu penafsiran tidak ada makna tunggal, tetapi memiliki pluralitas makna di dalam teks sebagaimana diklaim oleh dekonstruksi ini, bukankah orang pada akhirnya dalam suatu kehidupan aktual hanya memilih salah satu dari berbagai macam pluralitas makna itu? 

Hal ini kemudian akan melahirkan sebuah dilema bagi pembaca yaitu antara memilih yang plural dengan tuntutan untuk bertindak di mana pada akhirnya dia mesti memilih salah satu dari berbagai macam makna yang ada, dan kemudian tetap jatuh pada masalah bahwa orang akan tetap memandang bahwa makna yang dipilihnya itu adalah sautu kebenaran tunggal di dalam teks itu.*
Share:
Lokasi: Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Video Widget

Diberdayakan oleh Blogger.

Bonjour & Welcome

Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, Sebuah Penutup

Roger Trigg, Profesor Emeritus pada Oxford University BAB V PENUTUP  Oleh: Yones Hambur "Tulisan ini merupakan sebu...

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Top Stories

Video Of Day

Top Stories

Recent Posts

Unordered List

Theme Support

Sponsor

Flickr Images

Popular Posts

Popular

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support