This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 23 Oktober 2017

Dekonstruksi dalam Pemikiran Jacques Derrida



Ilustration

Oleh: 

Yones Hambur

Istilah dekonstruksi merupakan suatu konsep penting dalam cakrawala pemikiran postmodern. Kehadiran istilah ini telah membuka suatu cara baru dalam dunia intelektual dalam usaha membaca, menafsir, dan memahami realitas secara khusus dalam berbagai macam penelitian sosio-kultural.

Tulisan ini merupakan sebuah usaha menelusuri konsep dekonstruksi tersebut. Istilah sekaligus sebuah strategi dalam memahami ini dapat ditemukan dalam pemikiran seorang pemikir terkemuka dewasa ini yaitu Jacques Derrida. Setelah memaparkan sedikit tentang 'gagasan' ini, penulis akan memberikan beberapa tanggapan kritis atasnya dengan dibantu oleh berbagai sumber yang ada.

Dekonstruksi sebagai ‘Metode’

Istilah dekonstruksi diperkenalkan pertama kali secara radikal oleh Jacques Derrida. Filsuf Prancis ini memperkenalkan istilah ini sebagai sebuah ‘metode’ untuk mengritik dan membongkar teks-teks sastra dan filsafat. 

Kata ‘metode’ itu sendiri diberi tanda petik untuk tetap memertahankan pandangan Derrida yang menolak metode sebagaimana lazim dipahami, sebab seperti ditulis McQuillan, dekonstruksi dalam pandangan Derrida ‘tidak pernah mengenal perangkat aturan, tak ada kriteria, tak ada prosedur, tak ada program, tak ada urutan langkah-langkah, tak ada teori untuk diikuti olehnya’ (Lih. McQuillan, ‘Introduction: Five Strategies For Deconstruction’)

Tentang arti istilah dekonstruksi itu sendiri, Derrida mengakui bahwa ia mengalami suatu kesulitan untuk menjelaskannya. Namun, pemakaian pendekatan dekonstruksi ini dapat ditemukan dalam caranya memberikan suatu argumentasi dan kritik terhadap berbagai macam wacana atau teks sastra dan filsafat yang dianalisisnya.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Derrida dalam sebuah  Seminar di Universitas Jhon Hopkins Amerika Serikat pada tahun 1966. Dalam seminar itu, Derrida mempresentasikan sebuah tulisan dengan judul ‘Structure and Play in the Human Science’. Tulisan itu berisi sebuah kritik atas seluruh filsafat Barat secara khusus terhadap strukturalisme yang pada sa’at itu menguasai pemikiran banyak ilmuwan sosial-humaniora, terutama di Perancis.

Dekonstruksi itu sendiri berasal dari kata bahasa Prancis yaitu Déconstuire dengan arti harafiah sebagai kegiatan membongkar mesin, namun membongkar untuk dipasang kembali (Akhyar Lubis: 2014). 

Dalam kaitannya dengan membaca dan memahami sebuah teks, dekonstruksi dipakai untuk membongkar dan menjungkirbalikan makna teks, tetapi tidak hanya sekedar membongkar dan menjungkirbalikan begitu saja dan kemudian lepas, melainkan teks atau wacana tersebut kemudian dikonstruksikan lagi dalam makna baru yang tetap berasal dari teks atau wacana yang dibongkar tersebut. 

Dengan demikian, dekonstruksi tidak boleh dipandang negatif di mana hendak menghacurkan suatu teks atau wacana, tetapi justru mesti dipandang sebagai suatu hal yang produktif, karena hendak menunjukkan dan menyingkapkan hal baru dari teks yang seolah-olah tidak ada di dalam teks dan luput dari perhatian pembaca bahkan sama sekali tidak disadari oleh pengarang teks itu sendiri.
Ilustration

'Metode' dekonstruksi itu sendiri dipakai oleh Derrida untuk melawan hermeneutika modern. Hermeneutika modern memiliki asumsi bahwa kita dapat memahami dan menemukan suatu makna di dalam teks secara objektif. 
Hal itu juga dipakai oleh Derrida untuk melawan pandangan strukturalisme Saussure yang menganggap bahwa makna suatu kata bersifat stabil dan objektif. 

Dengan demikian, dekonstruksi Derrida merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap pandangan yang melihat kesejajaran atau kesamaan antara bahasa dengan realitas sebagaimana dalam pandangan kaum positivisme logis yang berkembang dalam dunia pemikiran modern.

Derrida adalah seorang yang sangat kritis terhadap filsafat Barat. Dia menolak tradisi pemikiran Barat yang dinilai sebagai sebuah cara berpikir yang percaya bahwa lewat ‘logos’, manusia dapat mencapai suatu kebenaran yang objektif. Ia menolak keras kepercayaan ini dan menyebutnya dengan istilah 'metafisika kehadiran'. 

Ia menyebut dengan istilah ini karena di dalamnya terkandung intensi tertentu yang hendak mencari kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang berada di luar apa yang tampak dan kemudian memaksakan kebenaran itu sebagai dasar seluruh realitas. 

Penolakan terhadap apa yang disebutnya sebagai 'metafisika kehadiran' ini terinspirasi oleh kritik Nietzsche, Freud, dan Heidegger terhadap sejarah filsafat Barat.
Jacques Derrida

Dekonstruksi sebagai Cara Memahami

Secara garis besar, dekonstruksi dipahami sebagai suatu strategi yang digunakan untuk mengguncang kategori-kategori dan asumsi-asumsi dasar  di mana suatu pemikiran ditegakan (Akhyar Lubis: 2014). Itu berarti, dekonstruksi merupakan suatu upaya untuk mengkritisi secara radikal dan berusaha membongkar berbagai macam asumsi dasar yang menjadi jangkar atau penopang pemikiran atau keyakinan kita. 

Segala bentuk keyakinan seperti dalam rupa ideologi, ilmu pengetahuan, agama, dan lain sebagainya yang menawarkan sebuah kebenaran mutlak, lewat dekonstruksi, segalanya diguncang dan ditelanjangi. Kebenaran yang diyakini sebagai sesuatu yang bersifat objektif dan mutlak dalam berbagai bentuk keyakinan kita, oleh dekonstruksi dipertanyakan dan dihancurkan. 

Lewat dekonstruksi, argumentasi baru kemudian diajukan yang dianggap lebih dapat diterima dan dipertanggungjawabkan. Bagi Derrida, tidak ada kebenaran yang bersifat stabil yang menentukan makna yang pasti dan objektif.

Derrida mengatakan bahwa makna dalamj suatu teks selalu diciptakan melalui permainan penanda (play of difference). Bahasa tidak mengandung hubungan representasional  yang pasti dan stabil atas kenyataan.  Bahasa selalu bersifat licin dan ambigu atau dengan kata lain bahwa bahasa itu sifatnya tidak stabil. 

Pandangan ini merupakan kritik Derrida terhadap klaim filsafat Barat sebelumnya (metafisika kehadiran). Derrida dalam hal ini menolak paradigma filsafat Barat yang logosentristis di mana logika dan ilmu pengetahuan sebelumnya dapat mencerminkan realitas dunia melalui bahasa tanpa terdistorsi oleh dimensi subjek (Akhyar Lubis: 2014).

Dalam sejarah hermeneutik, pendekatan dekonstruksi ini memang merupakan sesuatu yang baru dalam kegiatan memahami sebuah teks. Hal ini juga diakui dan dikemukan oleh Peter Barry. Ia mengatakan bahwa dekonstruksi dipahami sebagai suatu ‘cara membaca teks di luar kebiasaan’ atau ‘membaca teks dengan melawan teks itu sendiri’ (Barry, 2010: 82). 

Dekonstruksi merupakan sebuah cara memahami di mana subjek membuka diri kepada kemungkinan isi suatu teks, suatu makna yang selalu terbuka terhadap berbagai macam kemungkinan dari dalamnya. Dalam cara baca dekonstruktif seorang pembaca atau penafsir terbuka terhadap ‘yang lain’ di dalam maupun di luar teks. Dengan kata lain, dekonstruksi adalah suatu seperti disebut oleh Kimmerle, ‘pergantian perspektif terus-menerus’(Kimmerle: 2000).

Tujuan Dekonstruksi

Dekonstruksi Derrida tentu tidak ada tanpa maksud dan guna tertentu. Dalam hal ini, dekonstruksi memberikan suatu kontribusi bagi kita secara khusus dalam upaya kita memahami kehidupan secara khusus yang terkait dengan berbagai macam teks seperti sastra atau pun politik. Beberapa tujuan kontributif dari dekonstruksi ini adalah sebagai berikut. 

Pertama, dekonstruksi memberi daya tawar bagi kita untuk melakukan identifikasi terhadap teks yang mengantarkan kita pada suatu kesadaran yang lebih tinggi bahwa terdapat bentuk-bentuk inkonstitensi  dalam teks tertentu, baik itu soal kata yang dikandungnya, kalimat yang digunakannya, dan lain sebagainya. Hal ini akan menghindari kita untuk mengartikan suatu kata atau kalimat secara harafiah dan tertutup. Dalam hal ini, dekonstruksi menghantam pendekatan dan cara berpikir literalistik. 


Kedua, dekonstruksi akan memperlakukan teks, konteks, dan tradisi sebagai sarana untuk membuka suatu kemungkinan baru untuk suatu perubahan lewat hubungan yang tidak mungkn. Lewat dekonstruksi, kita dapat menggali kembali berbagai macam tradisi yang ada untuk menemukan makna baru di balik yang lebih dikenal. 


Ketiga, dekonstruksi dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis kita untuk membongkar ekspansi ideologis yang ada. Lewat dekonstruksi, suatu gagasan akan ditelanjang dan dibongkar nafsu-nafsu intimidatif di baliknya. Dekonstruksi dapat mengguncang segala macam 'Status Quo' yang menyimpan dan menyembunyikan kebobrokan yang akut.


Keempat, dekonstruksi mampu mengantar kita untuk keluar dari zona familiar dan masuk dalam kemungkinan-kemungkinan asing yang justru akan memperkaya pemahaman kita akan sesuatu. Dengan dekonstruksi, kita dapat melihat sisi-sisi lain dari suatu teks yang tidak pernah dipikirkan dan dibicarakan oleh orang lain. 
Jacques Derrida - France Philosopher

Tanggapan Kritis

Pemikiran Derrida tentu tidak dapat tidak menimbulkan berbagai macam komentar kritis, secara khusus terkait dengan pandangan dekonstruksi ini. Pandangan Derrida ini memang perlu diapresiasi karena memiliki kontribusi besar bagi kita secara khusus untuk membuka  dan menajamkan nalar kritis kita akan berbagai kemungkinan makna yang dapat diperoleh dari dalam teks. 

Hal ini pada akhirnya dapat membantu kita untuk terus menerus menggali berbagai macam makna yang terselubung dalam suatu teks tertentu. Dekonstruksi dapat membantu kita dibebaskan dari penafsiran tunggal akan makna suatu teks.

Namun, dekonstruksi ini justru menimbulkan suatu pertanyaan kritis dan serius. Dapatkah dipertanggungjawabkan mendekonstruksi, tanpa melakukan rekonstruksi? sampai pada upaya serius untuk falsifikasi atau karikaturisasi dalam bentuk tuduhan ‘fiksionalisme integral’ (M. Goldschmit, 2003: 12). 

Tuduhan fiksionalime integral ini terakit dengan ungkapan bahwa ‘tidak ada  yang di luar teks’. Dalam pernyataan ini tersirat suatu paham bahwa seolah tidak ada realitas dan menutup kemungkinan untuk mengacu kepada suatu identitas yang stabil (Haryatmoko: 2016). Hal ini kemudian akan mengakibatkan sulitnya membedakan kebenaran yang objektif dengan kebohongan karena referensi bahasa kepada realitas menjadi hilang.

Pada tataran pragmatis, dekonstruksi justru diragukan sumbangannya dalam upaya membantu mengambil suatu keputusan atau tindakan. Apabila dalam suatu penafsiran tidak ada makna tunggal, tetapi memiliki pluralitas makna di dalam teks sebagaimana diklaim oleh dekonstruksi ini, bukankah orang pada akhirnya dalam suatu kehidupan aktual hanya memilih salah satu dari berbagai macam pluralitas makna itu? 

Hal ini kemudian akan melahirkan sebuah dilema bagi pembaca yaitu antara memilih yang plural dengan tuntutan untuk bertindak di mana pada akhirnya dia mesti memilih salah satu dari berbagai macam makna yang ada, dan kemudian tetap jatuh pada masalah bahwa orang akan tetap memandang bahwa makna yang dipilihnya itu adalah sautu kebenaran tunggal di dalam teks itu.*
Share:

Berdamailah dan Cintailah Bumi

Berdamailah dan Cintailah Bumi

Oleh: 
Reweng Mane

"Bumi adalah ibu kehidupan. Ia merahimi dan melahirkan susu dan madu bagi seluruh ciptaan termasuk kita manusia”
Petikan singkat di atas merupakan seruan kritis sekaligus siraman inspiratif bagi kita umat manusia saat ini. Hidup kita saat ini sedang dilanda oleh berbagai bentuk krisis secara khusus terkait dengan ancaman terhadap lingkungan hidup dan kemanusiaan kita sendiri. Setiap hari kita selalu diliputi dengan berbagai peristiwa sedih seperti bencana banjir dan tanah longsor, musim tak tentu, pemanasan global akibat menipisnya lapisan ozon, musnahnya berbagai macam mahluk hidup akibat kehilangan habitatnya, sampai pada bencana kekeringan, jeritan kelaparan serta derita kemiskinan yang semakin mendera kehidupan umat manusia sendiri.
Semua peristiwa sedih dan duka seperti itu sangat memilukan nurani dan budi kita, sehingga seolah-olah mengajak dan bahkan memaksa kita untuk kembali melihat dan merefleksikan keberadaan kita di atas muka bumi ini, secara khusus terkait pola relasi kita dengan lingkungan alam kita. Kita mesti mengakui bahwa relasi kita dengan lingkungan alam khususnya sudah sangat memprihatinkan. Berbagai macam peristiwa duka tersebut kita harus akui merupakan dampak buruk dari tindakan dan perbuatan rakus kita akan alam. Kita seringkali berelasi dengan alam dengan sikap cendrung mementingkan diri sendiri, egois, tanpa peduli terhadap keberadaan dari alam itu sendiri.
Kemunduran Respek Terhadap Alam
Deretan persoalan di atas merupakan fenomena bahwa kita sebagai manusia sedang mengalami kemunduran sikap dan pola laku terhadap alam. Kita sebagai manusia di zaman sekarang telah kehilangan cita rasa akan ketergantungan kita pada alam. Alam tidak lagi dipandang serta dirasa sebagai ‘bagian integral dari kehidupanku’‘sebagai tempat di mana aku berada, hidup, dan beraktivitas’’sebagai tempat diriku bermukim’, dan justru kita cendrung ‘memandang alam sebagai hal terpisah dari diriku’.
Peristiwa kemunduran sikap terhadap alam tersebut memang salah satu dampak dari  cara berpikir  modern di mana melihat alam secara instrumental dan teknokratis, sebagai objek pemenuhan hasrat dan kuasa ekonomis semata, sehingga tidak heran bahwa terdapat berbagai bentuk kejadian eksploitatif terhadap alam seperti kasus pembabatan hutan secara liar, pembakaran lahan, sampai pada usaha pertambangan dengan sikap tanpa peduli terhadap kondisi ekologi sekitar. Dalam konteks Kitab Suci Kristiani, cara berpikir tersebut berakar pada sebuah penafsiran salah kaprah terhadap seruan Allah dalam kitab Kejadian bagi manusia untuk menguasai alam. Dalil Kitab Kejadian ini sering dijadikan dasar legitimasi tindakan kita untuk memanfaatkan alam tanpa rasa tanggung jawab terhadap keutuhan ekosistem alam tersebut.
Berbagai sikap terhadap alam di atas tentu tidak dapat dilepaskan dari karakter lahiriah kita sebagai manusia. Sebagai manusia, kita memang memiliki karakter untuk menjadi penguasa terhadap segala sesuatu termasuk untuk menjadi penguasa atas alam. Hasrat alamiah ini berangkat dari suatu rasa kepongahan serta kelobaan di dalam diri kita sendiri di mana kita tidak pernah puas dengan segala yang kita miliki. Kita seringkali ingin menjadikan segala sesuatu menjadi milik kita sendiri tanpa peduli pada orang lain.
Karakter alamiah seperti ini jika dipelihara pasti akan berdampak buruk terhadap segala sesuatu bahkan bagi hidup manusia itu sendiri. Tanpa kita sadari bahwa hasrat untuk menguasai segala sesuatu termasuk alam, sesungguhnya sama dengan hasrat untuk membunuh diri sendiri secara tidak langsung, karena manusia itu sendiri tidak dapat hidup tanpa segala sesuatu. Dia selalu tergantung dengan segala sesuatu termasuk alam sebagai tempat dia berpijak dan mendapatkan makanan bagi keberlangsungan hidupnya. Apakah mungkin kita dapat hidup tanpa kita memerhatikan keberadaan dari yang lain secara khusus terhadap alam sebagai sumber segala kebutuhan hidup kita.
Pertobatan Ekologis
Ancaman terhadap kehidupan akibat kerusakan lingkungan alam tersebut di atas mesti menjadi sebuah kesempatan bagi kita untuk memikirkan kembali terkait dengan jejak relasi dan perilaku kita terhadap alam. Kita mesti sadar bahwa kerusakan alam merupakan suatu ancaman bahkan telah menjadi sebuah bencana bagi hidup kita di atas bumi ini, sebab kerusakan alam juga sudah pasti berdampak pada ancaman hidup kita dan bahkan akan mendatangkan kemusnahan bagi hidup kita sendiri. Oleh karena itu, kita mesti memulihkan kembali hubungan kita dengan alam secara khusus terhadap dosa yang telah kita lakukan dalam mengeksploitasi lingkungan alam secara sewenang-wenang tanpa sikap bertanggung jawab sedikitpun.
Usaha pemulihan relasi tersebut dapat dilakukan dengan mengubah cara berpikir kita terhadap alam. Kita mesti sadar bahwa alam adalah tempat kita bermukim, sebagai rumah kita, tempat kita menimba segala sesuatu, dan sebagai sumber segala kebutuhan hidup kita. Dari alam kita akan mendapatkan udara untuk bernafas, makanan untuk dimakan, air untuk diminum. Alam adalah tempat di mana kita dapat mewujudkan segala mimpi kita, sebagai sebuah ladang peradaban kita, sebagai lapangan di mana kita dapat bermain dan bercanda tawa bersama. Singkat kata, alam adalah bagian tak terpisahkan bagi kehidupan. Oleh karena itu, pelestarian akan alam merupakan suatu tuntutan hakiki sekaligus ajakan etis bagi kita. Kita mesti menjaga, merawat, dan memelihara serta mencintai alam sebagai bagian dari diri kita sendiri, sebab mencintai alam berarti juga mencintai dan peduli terhadap diri kita sendiri. Alam yang indah dan terawat akan menentukan kebahagiaan kita bersama. 
*Reweng Mane: Penikmat Sore!
Share:

Rabu, 11 Oktober 2017

Warta Kematian Nalar

Putra Manggarai


Ada satu ungkapan menarik dan menghentakan kesadaran kita di penghujung dunia modern, begini bunyinya, "tuhan sudah mati, kitalah para pembunuhnya." Ungkapan tersebut dikumandangkan oleh seorang filsuf soliter German, Frederick Nietzsche.

Dalam sejarah pemikiran manusia, kata-kata ini hendak menggambarkan situasi peradaban Barat waktu itu yang sedang berada di ambang krisis akibat berkembangnya cerita besar seperti menjalarnya berbagai pemikiran ideologis semisal komunisme. Cerita besar ideologis seperti itu memiliki dampak lanjut sampai pada lahirnya fasisme di Itali dan rezim otoriter rasistis Nazi di German di bawah tangan Adolf Hitler.

Lewat kata-kata tersebut, Nietzsche mengritik keras peradaban Barat yang dinilainya sebagai pemuja ide-ide besar yang baku sekaligus kaku, yang biasa dinamakan sebagai 'tuhan'. Bagi Nietzsche, yang disebutkan 'tuhan' ini merupakan asal-usul krisis dalam peradaban manusia. Itu membuat manusia menjadi tidak berkembang karena selalu tunduk dan taat pada kehendak ide besar yang disebut tuhan itu. 

Dalam sikap tunduk pada 'tuhan' itu manusia menjadi budak, dan kebebasannya digerogot habis-habisan. Hal ini kemudian mendorong Nietzsche mewartakan kematian 'tuhan' yang membelenggu jiwa manusia dalam kerangkeng kaku dan bakunya. Ia mewartakan kematian 'tuhan' dengan intensi agar manusia teremansipasi dari perbudakannya sendiri, sehingga dapat menjadi manusia-manusia kreatif yang secara terus menerus menciptakan kehidupan yang lebih berkualitas.

Kritik Nietzsche ini kemudian disambut baik oleh para pemikir setelahnya yang kemudian melahirkan suatu peradaban baru terlebih khusus bagi yang disebut dunia post-modern. Kata ini sendiri pun tidak jelas maksudnya.

Hal itu juga sangat mendukung perkembangan sebuah aliran besar dalam sejarah filsafat yaitu eksistensialisme, secara khusus dari Jean-Paul Sarte. Pengaruh Nietzsche pada Sarte dapat dilihat dari penolakannya terhadap apa yang disebut esensi. Bagi Sarte, "eksistensi itu mendahului esensi", dan karena itu terjadi penolakan terhadap 'tuhan'. Ada beberapa hal yang dapat diambil dari peradaban baru ini.

Pertama, soal penekanan pada kebebasan individu oleh kaum eksistensialis. Secara garis besar, kelompok ini menolak sebuah sistem. Mereka berpandangan bahwa kebebasan individu itu merupakan unsur penting demi pengaktualisasian dirinya. 

Bagi mereka sistem itu justru dapat membatasi bahkan membelenggu diri manusia dan tidak memungkinkan manusia dapat bertumbuh dan berkembang mewujudkan segala potensi yang dimilikinya. Sistem itu dapat berupa aturan-aturan yang mengikat dan mengatur diri manusia. Bagi kaum eksistensialis, manusia individual sendirilah yang mesti mengatur dirinya sesuai dengan gairah-gairah potensial yang ada di dalam dirinya.

Kedua, dalam dunia post modern sikap rispek terhadap pluralitas nilai dan pandangan hidup sangat ditekankan. Dalam konteks ini, segala cerita besar yang hendak menyeragamkan manusia dikritisi bahkan secara ekstrim dihancurkan. Yang tersisa adalah cerita-cerita fragmen. 

Mereka memang tidak menolak total terhadap cerita besar itu, tetapi cerita besar yang kebenarannya dinyatakan secara paksa itu sangat ditolak. Bagi mereka, kebenaran itu mesti diperoleh secara intersubjektif. Dalam situasi seperti ini, orang juga dituntut untuk menjunjung tinggi nilai toleransi. 
Segerombolan Manusia Pucat
Keadaan seperti itu tentu di satu sisi baik karena manusia sudah sadar bahwa apa yang terjadi seperti dalam dunia modern sebutkan sebagai 'cerita besar' tidak diterima begitu saja, apalagi secara paksaan. Cerita besar yang dipaksakan seperti itu dinilai telah mengangkangi kemanusiaan manusia, karena dengan penemuan patokan tunggal terhadap kebenaran, peradaban manusia justru jatuh pada totalitarianistis.

Tetapi, penolakan total terhadap patokan kebenaran juga justru membawa peradaban manusia itu ke ambang krisis, karena bagaimanapun juga, hidup manusia mesti ditopangi oleh 'sesuatu' yang dapat mengarahkan dan menentukan arah peradaban manusia itu secara benar. Meskipun dalam situasi seperti ini, kebenaran tetap diterima melalui proses intersubjektif, tetapi bukankah itu membutuhkan waktu yang cukup lama, dan orang akan dengan susah payah menantinya. 

Ketiadaan dari 'sesuatu' yang seharusnya menjadi rujukan norma prilaku 'universal' justru lebih berbahaya, sebab kalau apabila demikian, orang dapat melakukan apa saja sesuai dengan kepentingannya, bahkan mereka akan memakai dalih kebebasan untuk menghalalkan apapun yang dilakukannya.

Salah satu dampak dari cara berpikir seperti ini adalah bertumbuh suburnya sesuatu yang disebut sebagai relativisme. Pandangan ini menolak keras nilai universal. Bagi kaum relativis, kebenaran itu adalah milik saya, dan saya dapat menentukan apapun terhadap kebenaran. Dengan kata lain, menurut mereka, tidak ada kebenaran objektif. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kehidupan, karena menyebabkan segala sesuatu berkembang secara bebas. Hidup aktual kita sudah semakin menunjukkan hal seperti itu, termasuk kita di Indonesia.

Saat ini kita sedang masuk dalam ruang di mana setiap orang dapat berselancar secara bebas untuk menafsirkan kebenaran. Segala otoritas yang memberikan panilaian ditolak habis-habisan, patokan nilai universal disepak keluar dari kehidupan. Singkatnya era kita saat ini telah disulap menjadi tempat bertumbuh suburnya relativisme yang sudah lama menjadi momok menakutkan dalam sejarah peradaban umat manusia. Efek itu kemudian menjalar ke kehidupan kita di Indonesia saat ini.

Kita ambil contoh tentang fenomena yang mendera sejarah Indonesia sekarang. Pasca kejatuhan Orde Baru di bawah tangan kediktatoran Soeharto, setiap orang dengan bebas berselancar dengan seenaknya dalam ruang publik. Kebebasan yang dikekang lama selama 32 tahun di tangan rezim Orde Baru, kini menari puas di atas panggung reformasi yang berkonsentrasi pada demokrasi. 

Cita-cita reformasi yang hendak mengangkat kederajatan manusia dari belenggu cerita besar Orde Baru ternyata telah melahirkan adegan-adegan yang justru mencabik gerak sejarah itu menuju kebahagiaan bersama. Atas nama kebebasan semua orang berhak melakukan apa saja, seperti berseliwerannya berita bohong atau palsu - HOAKS

Penarikan kebebasan dari tangan kediktatoran rezim Soeharto ternyata menceritakan pembebasan manusia-manusia yang minus nalar kritis yang ternyata belum mampu menyelami dan memahami makna kebebasan itu. Padahal, sikap rispek terhadap kebebasan juga mengandaikan mesti berkembangnya nalar kritis setiap manusia. 

Kebebasan selalu mengharapkan kemampuan nalar untuk menatap dan mencari kebenaran yang tidak terikat pada suatu kelompok tertentu semata melainkan mengakumulasi setiap intensi dan cita-cita dasar setiap manusia seperti nilai keadilan, kebaikan, kedamaian. 

Saat ini memang dalam panggung kehidupan bersama kita telah sedang menunjukkan adegan kebebasan yang tidak dikontrol di bawah terang nalar. Kita sedang menyaksikan bahwa dunia kita bersama sedang ditimpah duka atas kematian nalar sehat. 

Kematian nalar sehat itu kemudian menyulap panggung peradaban menjadi tempat kepicikan meraja, kebencian meluap, caci makian mengakar, nafsu berkuasa membengkak. Semua itu disokong di atas dalih kebebasan individu. 

Idea tentang pentingnya kebebasan yang diperhatikan dengan penuh kekuatan di era reformasi ini ternyata telah membawa malapetaka besar bagi peradaban kita di Indonesia saat ini. Kita tidak lagi dapat memastikan tentang apa itu kebenaran, siapa yang berhak mengklaim kebenaran, siapa yang mesti didengarkan karena kebenaran. 

Intinya saat ini kita sedang dirundung oleh sebuah gelombang besar di mana semua orang dapat mengatakan kebenaran yang hanya sesuai dengan selerah-selerah individual dan gairah-gairah selangkangannya. 

Dalam era seperti ini kebenaran tidak lagi diuji dan diperoleh secara intersubjektif. Lebih parahnya bahwa kebenaran diklaim sebagai milik mayoritas massa. Dikatakan massa karena mereka tunduk di bawah kekuatan emosional yang hanya mampu berteriak mengandalkan kekuatan jumlah dibandingkan dengan dasar argumentatif yang jelas dan rasional. 

Orang-orang seperti ini sudah pasti tidak akan memikirkan tentang kepentingan orang lain. Dalam tangan mereka kebenaran dianggap secara hitam-putih, sehingga tidak heran mereka menciptakan kategori 'kami' dan 'mereka' yang melahirkan kehancuran keutuhan hidup bersama. 

Ketika masuk dalam situasi seperti ini sangat mustahil segala cita-cita baik individual maupun kolektif terwujud, pembangunan sudah tentu tidak akan berjalan karena kita sibuk dengan urusan-urusan emosional. Kalau begitu masihkah kita berharap tentang keadilan dan kebaikan apalagi kebahagiaan untuk kehidupan kita?

Kalau Nietzsche mengumandangkan kematian tuhan, saat ini sepatutnya kita mewartakan kematian nalar. Siapakah yang membunuhnya? Tentu gairah-gairah selangkangan kita, tentang keberpihakan kita pada egoisme diri kita!
"Mari kita melayat kematian nalar itu, siapa tahu dia akan bangkit dengan kehadiran kita!"
...
Yones Hambur
Ibu Kota, 2017!
Coretan dalam Secangkir Kopi

Share:

Minggu, 08 Oktober 2017

BULAN JANGAN PERGI

Nita Kurniati

NITA KURNIATI

...
Matahari telah pergi beberapa saat yang lalu, bintang-bintang mulai menggelatung di langit. Tidak ada lagi lagu dan seruling para petani dan para gembala yang menggembalakan teknaknya. Lampu-lampu pelita mulai dinyalakan, sendu gurau mulai terdengar dimana-mana. Tampak di ujung kamar sebuah rumah bambu terdengar gemersik suara lembut seolah sedang mengamuk pada malam. Ia seperti terdapar pada lorong gelap, putus asa, marah, benci, semuanya berkecamuk dalam pikirannya.
“Mama…mengapa nasibku seperti ini?” tanyanya sambil menatap bulan di atas atap rumah.
Ia adalah Tilda, gadis manis bermata jeli.
Ia kembali merenungkan nasibnya berada di kampung itu. Kampung yang tak penah menjadi impiannya untuk mengabdi, letaknya jauh di ujung Indonesia. Terkadang ia menyesali perjumpaan demi perjumpaan dengan siswanya.
“Selamat pagi anak-anak?” Seuntai senyum manis dilemparkannya kepada siswa kelas 3 sekolah dasar.
“Selamat pagi Bu guru!” Jawab siswa serempak.
“Anak-anak hari ini, kita akan belajar di luar kelas.” Kata ibu Tilda dengan ramah.
“Hore…hore…, tapi mengapa kita belajar di luar Bu Guru? Tanya Sesilia, siswa yang paling aktif di kelas.
“Pertanyaan yang bagus! Hari ini kita akan melakukan permainan.” Seru Ibu Tilda dengan semangat.

Ibu Tilda mulai menerangkan cara bermain dan aturan permainan. Permainan tersebut merupakan permainan tradisional yang dalam bahasa Manggarai di sebut permainan Cina atau dalam bahasa Jawa di sebut dengan Angklek. Materi yang dibahas adalah mengenal nilai tukar uang yang dipadukan dengan materi menceritakan pengalaman melakukan permainan. Semua siswa tampak bergembira mengikuti langkah-langkah dan aturan permainan. Mereka bukan hanya menikmati permainan tersebut tetapi mereka juga aktif dalam menjawab pertanyaan yang ada pada kartu soal.
“Sil, apakah kamu senang belajar dengan Ibu Tilda?” tanya Marselinus.
“Ya. Saya selalu senang terhadapnya, sejak pertama kali ia datang ke sekolah kita. Saya sangat mengaguminya.” Jawab Sesilia dengan bangga.
“Saya juga merasa senang, tapi sayangnya sebentar lagi ia akan segera pindah.” Kisah Marselinus sedih.
“Benarkah?” Sontak Sesilia kaget mendengarnya.

Hari demi hari Ibu Tilda semakin dicintai siswa-siswa dan masyarakat di desa Saru. Tidak heran jika terjadi demikian, sebab Ibu Tilda telah mencurahkan seluruh hidupnya kepada siswa-siswa dan masyarakat di desa itu. Pengalaman dan pengetahuan tak ada yang terlewatkan, semuanya telah dibagikan kepada siswa-siswa dan masyarakat di sana.

Suatu hari, nampak dari kejauhan sesosok rupawan mendekatkan dirinya dengan ruang guru. Satu tahun sebelas bulan sosok ini menjadi kerinduannya. Kini ia datang dihadapannya dengan lemparan senyum tipis di bibirnya.
“Mengapa, kamu datang begitu lama?” Tanya Ibu Tilda dengan lembut.
“Maafkan saya Til, engkau tahu sendiri, bagaimana perjalanan hidup saya. Saya hendak menjemputmu pulang.” Jawab pemuda itu dengan lembut pula.
“Sergi, pikiranku lagi kacau. Hal ini adalah yang kutakuti sejak setahun yang lalu. Jika aku pergi, bagaimana dengan siswa-siswaku?” Tanyanya sambil termenung.
“Til, mengapa engkau takuti ha-hal yang demikian? Bukankah kamu percaya bahwa selalu ada jalan lain? Baik bila kamu menenangkan diri dulu, dan menimbang kembali tentang kepindahanmu.” Sergi mencoba menenangkan hatinya.

Kabar kepindahan Bu Tilda sudah tersebar di kalangan masyarakat dan siswa-siswa di sekolah. Masyarakat tampak resah akan kehilangan sosok seperti Ibu Tilda yang tulus mengabdi di desa mereka. Bagi mereka Ibu Tilda adalah bulan yang telah menerangi hati dan menyadarkan meraka akan pentingnya sebuah pendidikan serta memelihara kerukunan dan kebersihan desa. Tak hanya mereka, siswa-siswa mulai merasakan keresahan dalam diri mereka juga.

Pelajaran Bahasa Indonesia dimulai. Ibu Tilda berdiri dengan santai di depan kelas sambil menerangkan teknik dalam membuat puisi. Sebelum pelajaran usai, Ibu Tilda memberi tugas kepada siswa-siswanya, “anak-anak kita sudah belajar tentang teknik menulis puisi. Sekarang, ibu akan menugaskan kalian untuk menulis puisi.” Kata ibu Tilda.
Ia pun kemudian menuliskan tema puisi di papan tulis yaitu tema pendidikan, cinta kasih, dan alam.
“Tok..tok…tok! seorang mengetuk meja
“Bu Guru, akankah Bu Guru segera pindah dari sekolah kami? Tanya Marselinus.
Mata Ibu Tilda mulai berkaca-kaca ketika mendengar pertanyaan dari Marselinus. Sebenarnya ia tak ingin melukai hati siswanya, karena berat untuknya menjawab pertanyaan itu. Berbohong adalah hal paling tepat yang dikatakannya saat itu, meskipun ia menyadari ada hati-hati kecil yang tersakiti karena kebohongan itu. “Anak-anakku, saya tidak akan pindah, saya hanya pergi bertugas di kota untuk sebulan.” Jawabnya tanpa ragu.
“Bukankah Bu Guru akan segera pindah minggu depan?” Tanya Sesilia dengan isak tangis dan tampak marah.
“Tidak! Ibu hanya pergi bertugas.” Jawabnya ketus.

“Tuhan, ampuni hambamu ini yang telah melukai hati anak-anakmu. Engkau tahu, ini bukan inginku. Esok adalah hari terakhirku mengabdi di desa ini, berikan aku kekuatan dan keberanian agar aku sanggup melihat wajah-wajah polos mereka.” Titah Ibu Tilda dalam hati sambil mengemaskan barang-barangnya.
Pipinya dibanjiri dengan air mata. Ia tak lagi menahan air matanya.
Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi, anak-anak berlari menuju ke kelas masing-masing. Nampak di depan ruangan kelas 3 Ibu Tilda sedang menyapa murid-muridnya dengan ramah. Dalam hangat tatapan matanya, ia terkadang meneteskan air matanya, ia tak mampu menatap senyum dari bibir-bibir mungil itu.
“Selamat pagi, anak-anak!” Sapanya dengan semangat.
“Selamat pagi Ibu Guru!” Jawab siswa-siswa memelas. “Hari ini, nampaknya kalian kurang semangat. “Saya belum sarapan pagi bu?” Jawab Tedi. ‘Saya sakit perut Bu!” Jawab Mark. “Saya Lagi Bad Mod, Bu!” Jawab Marselinus.
Ibu Tilda tahu semua jawaban itu hanyalah alasan semata. Ia terharu dan sedih bahwa betapa pedih hati murid-muridnya.
“Ibu Guru, mengapa engkau membohongi kami dan dirimu sendiri? Terbuat dari apakah hatimu?” Dalam lamunanya, Sesilia bergumam sendiri.
Baiklah kita akan bernyanyi “Di Sini Senang di Sana Senang.” Ibu Tilda mencoba menyemangati siswa-siswa.
Nita Kurniati

“Anak-anak, silakan kumpulkan tugas menulis puisi.” Pintah Ibu Tilda. Satu per satu siswa-siswa mengumpulkan puisi-puisi mereka di meja. Ibu Tilda menyadari, betapa hebatnya siswa-siswa itu menyimpan kepedihan dalam hati mereka. Mereka seolah menjadi dewasa dan memahami bahwa terkadang diam adalah tindakan terbaik dikala mulut tak lagi mampu berkata.
“Anak-anak, silakan istirahat. Pelajaran kita telah selesai.” Kata Ibu Tilda sambil menatap dengan dalam pada siswanya.
“Terima kasih Bu Guru.” Jawab siswa-siswa serempak.
Ibu Tilda semakin tak menahan kepedihannya, hari itu adalah hari terakhirnya mendengar suara-suara merdu itu. Kata terima kasih menjadi kata terakhir yang diucapkan siswa-siswanya. Kekuatannya semakin memudar, ia hampir terjatuh di depan kantor guru. Untunglah tangan Sergi menahan tubuhnya.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Sergi dengan penuh kwatir.
“Ya. Aku baik-baik saja.”
“Baiklah, bisahkah kita pergi sekarang? Apalagi kita harus berjalan kaki sampai ke kampung sebelah.”
“Hm….” Jawab Tilda singkat.
Tepat pukul 09.15 mereka meninggalkan kampung itu. Ada beberapa anak yang mendapatkan kepergiannya melambaikan tangan sambil berkata “Bu Guru…Bu Guru hati-hati.” Hati Ibu Tilda semakin sedih. Ia tak mampu berkata apa-apa lagi, hanya lambaian tangan yang mengatakan segala isi hatinya.

Dari kejauhan Marselinus dan Sesilia melihat kepergian Ibu Tilda sampai mereka hilang dari hadapan mereka. “Bu, akankah kau kembali?” Tanya Sesilia dalam hati. “Bu, tidakkah kau merindukan kami?” Tanya marselinus dalam hati. Kedua siswa itu sangat merasakan kehilangan guru yang mereka cintai. Tetapi mereka harus menerima kenyataan pahit itu.

Sebulan telah berlalu, rasa sedih ibu Tilda belum berkurang. Ia teringat akan siswa-siswanya di desa Saru. Ia pun kembali teringat puisi-puisi yang pernah dituliskan siswanya tersebut. Satu persatu ia mulai membaca puisi-puisi tersebut. Anehnya semua siswa menuliskan puisi bertema pendidikan. Matanya mulai berlinang air mata, hingga sampailah ia pada puisi tulisan Sesilia yang berjudul “Bulan Jangan Pergi.” Ia pun mulai membaca satu demi satu kalimat dalam puisi itu.

Ilustrasi

“Bulan jangan Pergi”

Kau adalah guru, yang adalah bulan bagiku
Yang telah menuntunku
Hingga aku menemukan terang
Yang menderang

Kini malam pun datang
Tak kutemukan dirimu lagi
Dimanakah dirimu?
Dapatkah aku menemukanmu?

Bulan,
Andaikan kau tahu
Tangisku dalam kebingungan ini
Yang tak mungkin terjawab olehku
Bulan,
Kembalilah!
Sebab gelap kembali menyelimuti aku.

Ibu Tilda tahu maksud dari puisi itu. Ia tahu kalau siswa-siswanya sangat membutuhkan didikan dan tuntunan darinya. Keadaan yang memilukan itu, membuatnya tak betah di rumah. Ia selalu membayangkan teriakan gembala kecil memanggil-manggil namanya. Sampai suatu hari ia pergi ke kantor dinas.
“Maaf, Pak. Saya harus kembali mengajar di Desa Saru.” Kata Ibu Tilda tegas.
“Nak, masa kontrakmu di sana sudah habis. Kamu harus mengajar di tempat yang baru.” Kata kepala dinas.
“Tapi, mereka membutuhkan saya Pak! Saya harus mendidik mereka. Apakah saya harus tinggal diam ketika mereka terus meneriakkan nama saya? Kata Ibu Tilda lagi.
“Baiklah nak, karena ketulusan hatimu saya akan coba ajukan surat pindah untukmu. Kamu memang luar biasa, Saya bangga terhadapmu nak.” Kata kepala dinas dengan bangga.
Seminggu kemudian, surat kepindahan Ibu Tilda keluar. Ia dipindahkan untuk kembali bertugas di desa Saru. Hatinya kembali damai dan penuh syukur. Ia juga bersyukur mendapat seorang kekasih seperti Sergi yang selalu memahaminya. Lantunan doa mengiringi perjalanannya ke desa Saru sebagai tanda syukur dan terima kasihnya.
Sesampainya di desa Saru ia menemukan siswa-siswanya sedang melihat foto-foto mereka bersamanya. “Ehem…” Seru Ibu Tilda. Suara itu membangkitkan suasana yang sunyi itu. Semua murid berlari ke pelukannya sambil berkata “Ibu….”, dalam hangatnya pelukkan itu seorang berkata, “bulan, akhirnya engkau kembali. Terima kasih.”
Ibu Tilda hanya bisa mengangguk dan tersenyum karena bahagia. Keadaan pun berubah, guru yang adalah bulan mereka telah kembali. Mereka tidak lagi dalam kebingungan, kecemasan, keputusasaan, karena terang telah kembali menuntun dan membimbing jalan mereka.
Ilustrasi
...

Dari Desa Yang Merindukan Bulan, 2017!












Share:

Jumat, 06 Oktober 2017

Tuhan bukan Untuk Harta Materiil

Yones Hambur
Suatu sore aku diundang berbincang-bincang bersama penikmat kopi, Denny Siregar lewat opusnya "Tuhan dalam Secangkir Kopi". Seperti biasa, aku membuka daftar menu yang akan kusantap bersamanya sore itu menemani kopi yang sudah diseduh dan disuguhkan di atas meja beranda pondok kecil buatan tangan alm.kakekku dulu.

Sementara itu, aroma kopi yang masih hangat itu serentak tercium mesrah lewat tarikan nafas yang secara sengaja membawanya pada penciumanku.

Aku cuma merasakan nikmat aromanya yang menakjubkan. Takjub karena lewatnya aku bisa menggembara ke dunia petani kopi yang dengan susah payah memamen, merawat, memetik, sampai mengelolahnya menjadi "bubukkan kopi".

Aroma kopi itu memaksa aku agar berkata jujur bahwa petani kopi itu adalah seorang yang profesional, tentu bukan cuma soal kepandaian tangannya dalam merawat kopi, tetapi karena keluasan hati dan cintanya menghasilkan "bubukan kopi" itu.

Benar kata orang bijak bahwa segala yang dihasilkan karena cinta, pasti kualitasnya tak tertandingi!

Lupakan itu sebentar!

Kali ini Bang Denny - begitu sapaan akrabnya - membiarkan aku memeriksa diri lewat suntikan kata-kata bijaknya tentang hidup manusia.
"Perhatikan gerak shalat", katanya, "sepertinya menggambarkan fluktuasi hidup manusia. Di masa muda, saat kita menetap tujuan, kita berdiri gagah, seakan-akan tak ada rintangan untuk mencapai kebutuhan materiil kita. Dalam perjalanan kita mulai dihajar karena kesombongan kita. Kitapun menunduk karena beban, sampai akhirnya jatuh mencium bumi. Saat itu baru kita sujud pada Allah."
Nasihat ini menggambarkan hidup manusia yang tidak pernah berada dalam posisi "stabil".

Hidup manusia itu selalu fluktuatif, naik turun, bahkan turun terus, sama seperti situasi perekonomian di negri kita yang tidak pernah stabil ini, atau kalau mau lebih ekstrim bahkan seperti situasi politik yang setiap hari menampilkan adegan yang tak bermartabat dan imoral, mulai dari berita tentang operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap beberapa kepala daerah sampai pada praktek sebaran kebencian terhadap kelompok yang lain.

Seperti itu juga kehidupan kita!

Ketika berada dalam situasi mapan secara materiil, yang lain selalu dianggap dan dipandang rendah. Tak jarang kita mengolok-olok bahkan menghina orang lain.

Situasi keberlimpahan materiil memang sangat menakjubkan tetapi sekaligus mengerihkan!
Dalam situasi seperti itu, segala yang diinginkan dapat terpenuhi. 'Mengerihkan' karena itu ternyata dapat menjadi 'batu uji' kualitas kemanusiaan kita. Dalam 'keberlimpahan harta' diri kita ditelanjangi secara jujur, apakah kita orang munafik atau tidak, orang yang lembut atau kasar, punya kepeduliaan sosial atau egoistis. Singkatnya "keberlimpahan harta" ternyata teropong yang baik untuk melihat jati diri seseorang.

Orang baru menyadari diri dan bertobat kalau "keberlimpahaan materiil" mulai berkurang, sampai akhirnya kembali kepada Tuhan ketika segala yang dimilikinya hilang, seperti cerita anak yang hilang itu!

Apakah kita menyembah Tuhan karena kita telah kehilangan harta materiil?

Mari bersama seseruput kopi, kita temukan kehadiran Tuhan yang penuh nikmat melebihi aroma kopi itu sendiri!
..
Yones Hambur, 2017

Catatan dan Aroma Kopi

Share:

Video Widget

Diberdayakan oleh Blogger.

Bonjour & Welcome

Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, Sebuah Penutup

Roger Trigg, Profesor Emeritus pada Oxford University BAB V PENUTUP  Oleh: Yones Hambur "Tulisan ini merupakan sebu...

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Top Stories

Video Of Day

Top Stories

Recent Posts

Unordered List

Theme Support

Sponsor

Flickr Images

Popular Posts

Popular

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support