This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 29 Agustus 2019

Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, Sebuah Penutup


Roger Trigg, Profesor Emeritus pada Oxford University
BAB V
PENUTUP 
Oleh: Yones Hambur
"Tulisan ini merupakan sebuah penutup dalam skripsi saya yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Filsafat di STF Driyarkara pada 2018 silam (di STF Driyarkara terdapat dua syarat utama untuk mendapat gelar sarjana, selain skripsi juga ada yang disebut ujian 'tesis komprehensif'), dengan judul "Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, seorang filsuf kontempoer dan profesor emeritus pada Oxford University. Skripsi ini merupakan sebuah hasil penelitan dan analisis saya atas pemikiran Trigg dalam karyanya berjudul 'Religion in Public Life, Must Faith be Privatized?' Dalam mengerjakan tulisan ini, metode yang dipakai ialah studi kepustakaan. Saya sendiri juga beberapa kali melakukan wawancara dengan Roger Trigg via email dalam rangka memastikan kebenaran dari pembacaan saya atas pemikiranya. Gagasan Trigg tentu saja sangat relevan dan sangat membantu untuk melihat dan mencermati fenomena kebangkitan agama di dalam horizon yang oleh Jurgen Habermas disebut sebagai era post-sekularisme ini."



5.1 Kesimpulan
5.1.1 Kegagalan Sekularisme
            Fakta kebangkitan agama sebagaimana telah diperlihatkan Trigg di atas panggung kehidupan publik menandakan bahwa klaim sekularisme di mana segala hal berbau sakral-religius seperti agama hilang dari peradaban umat manusia menjadi tidak benar. Sekularisme memandang bahwa dengan penemuan rasionalitas manusia yang melahirkan ilmu pengetahuan, agama dengan sendirinya tidak memiliki daya pengaruh bagi kehidupan umat manusia. Klaim sekularisme ini dengan lugas disampaikan oleh F. Budi Hardiman, “lewat proses rasionalisasi dan teknologisasi masyarakat di mana ilmu pengetahuan menjadi dominan dalam masyarakat, maka dengan sendirinya terjadi desakralisasi ruang publik. Karena itu agama dianggap tidak relevan bahkan ‘punah’ dari kehidupan umat manusia.”[1]
            Trigg sendiri mengatakan, klaim sekularisme tersebut tentu sangat bertentangan dengan kondisi aktual di mana agama terus mendesak dan menuntut diri untuk terlibat dalam kehidupan publik. Agama justru semakin menunjukkan diri dan berpengaruh secara signifikan bagi kehidupan masyarakat. Fakta kebangkitan agama tersebut, demikian Trigg telah menjelaskan, terjadi seiring dengan kesadaran setiap orang terhadap demokrasi.
Seperti dijelaskan Trigg bahwa sejak lama berbagai negara di Eropa dikuasai oleh rezim komunisme. Dalam genggaman rezim ini, agama diperintahkan untuk tidak menampilkan diri dalam ruang publik dan memarginalkannya pada ranah privat. Rezim komunis memerintahkan agar dunia kehidupan diateisasikan, bahkan, demikian Trigg menjelaskan, setiap sekolah diperintahkan untuk mengajarkan ateisme agar masyarakat terlepas dari berbagai prasangka religius.[2]
Trigg menjelaskan, sejak rezim komunisme runtuh serta sistem pemerintahan demokratis mulai ditegakkan, perjuangan untuk mengakui kebebasan beragama terus menerus dituntut. Perjuangan ini sendiri dilakukan karena salah satu dari roh demokrasi itu ialah kebebasan. Dengan demikian, sebuah negara demokrasi mesti mampu mewujudkan serta memperjuangkan kebebasan setiap warga negara termasuk dalam hal ini ialah kebebasan untuk hidup sebagai warga negara beriman dan melaksanakan berbagai persoalan keagamaan dalam panggung kehidupan publik.

5.1.2 Pengakuan Agama dalam Kehidupan Publik
            Fakta kebangkitan agama dalam kehidupan publik menunjukkan bahwa agama merupakan elemen penting yang harus diperhatikan dalam kehidupan bernegara. Berbagai macam krisis dalam dunia kehidupan bersama akibat kekuatan modernisme turut melahirkan pluralitas agama dalam panggung publik.
Menurut Trigg, ada beberapa pertimbangan penting bahwa agama harus diberi ruang dalam kehidupan bersama. Pertama, agama dapat membendung segala kecenderungan manusia untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap manusia lain. Pandangan ini tentu saja berangkat dari keprihatinan Trigg tentang situasi faktual di berbagai negara di Eropa ketika rezim komunisme mengendalikan segala lini kehidupan. Dalam genggaman komunisme, telah banyak peristiwa destruktif terjadi secara khusus kepada warga negara beriman di mana mereka sering diperlakukan secara diskriminatif serta tidak jarang mendapatkan tindakan persekusi dari negara. Rezim tolaliter dan otoriter komunisme dengan kejam mencengkeram dan menghantam kebebasan hakiki manusia seperti dorongan untuk mengekspresikan hal-hal spiritual religius dalam kehidupannya.
            Kekuatan rezim komunisme ini bagi Trigg berakar pada pemujaan berlebihan terhadap keunggulan diri manusia. Trigg melihat praktik bengis seperti dilakukan rezim komunis merupakan bukti bahwa manusia memiliki kehendak untuk menguasasi dan menghancurkan orang lain. Persis dalam situasi seperti ini, nilai kemanusiaan dibabat habis.  Dalam situasi seperti ini, Trigg menegaskan bahwa peran penting agama justru semakin mendesak. Agama sebagai sebuah kekuatan yang mengakui sebuah entitas yang melebihi kekuasaan manusia, yakni Allah, dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk melawan kecenderungan manusia untuk menguasai sesamanya. Trigg percaya bahwa hanya dengan mengakui otoritas Allah, kesewenangan manusia dapat dikontrol dan diatasi.[3]
Kedua, agama memiliki kekuatan motivasional dan tranformasional bagi kehidupan bersama dalam masyarakat demokratis dan plural. Agama, demikian Trigg menjelaskan, dapat berperan dalam menuntun kehidupan suatu negara, karena agama memelihara akar sejarah untuk menuntun suatu negara dan menegaskan cinta akan kebebasan.[4] Peran penting agama dalam sejarah peradaban umat manusia tidak dapat diragukan lagi. Salah satu kontribusi besar agama bagi peradaban umat manusia ialah munculnya kesadaran akan Hak Asasi Manusia.[5]  Selain itu, berbagai gerakan sosial seperti penghapusan perbudakan di Inggris pada awal abad ke-19 dan gerakan hak-hak sipil di Amerika pada abad ke-20 juga merupakan bukti bahwa agama memiliki daya transformasional bagi kehidupan manusia.
Ketiga, agama sebagai sumber legitimasi kesetaraan manusia. Trigg melihat bahwa negara demokratis yang mengakui kesetaraan manusia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan agama, sebab konsep kesetaraan itu sendiri memiliki akar kuat dalam tradisi religius. Pemikir liberalisme John Locke sendiri juga telah menegaskan bahwa asal dari kesetaraan itu ialah Tuhan. Penghapusan agama dari panggung kehidupan publik dalam negara modern  bagi Trigg justru merongrong legitimasi dari negara tersebut. Negara modern dengan prinsip liberalisme politik yang mendomestifikasikan agama ke dalam ruang privat justru sedang ‘menipu’ bahkan memperlemah dirinya sendiri, karena mencerabut dirinya sendiri dari akar legitimasinya, yakni pada nilai-nilai yang bersumber dari tradisi religius. 

5.1.3 Ilusi Netralitas Negara
            Fenomena kebangkitan berbagai macam agama dalam ruang kehidupan bersama tentu memiliki tantangan tersendiri bagi peran dan tugas negara. Seperti diketahui, dalam negara modern dengan penekanan pada liberalisme politik, negara seringkali mengambil sikap netral terhadap berbagai agama bahkan menempatkan agama dalam ranah privat. Pertimbangan negara liberal dengan memarginalkan agama dalam ruang privat ialah agar dunia kehidupan publik tidak melahirkan konflik atas nama agama. Karena mereka menilai agama justru akan mengancam kebebasan manusia sebagai individu otonom. Dengan kata lain, liberalisme politik berpendirian bahwa demi penegakan kesetaraan setiap warga negara, agama harus didomestifikasi pada ranah privat.
            Netralitas negara ini, demikian Trigg mengatakan, didasarkan pada dilema negara untuk mengurus dirinya sendiri. Pada satu sisi, ketika negara memberikan prioritas pada agama tertentu, hal tersebut justru akan mengganggu fakta pluralitas agama dalam hal ini ialah agama minoritas. Akan tetapi, di lain sisi, apabila negara tidak mendukung satu kepercayaan manapun, itu berarti bahwa negara tidak memiliki suatu prinsip di mana negara dapat diorganisasikan.[6]
            Trigg sendiri menegaskan bahwa berhadapan dengan masyarakat pluralis, sebuah negara demokrasi tidak harus bersikap netral terhadap agama. Aspirasi berbagai agama mesti dipertimbangkan dalam kehidupan publik, sebab mereka adalah bagian dari kekuatan demokratisasi itu sendiri. Untuk itu, negara bagi Trigg harus mampu membuat suatu nilai kolektif dengan tetap mempertahankan fakta keberagaman agama. Negara dalam hal ini memiliki kewajiban untuk mendengarkan berbagai suara dari berbagai agama serta menentukan nilai bersama yang inklusif, dalam arti mengakomodasi kepentingan berbagai agama yang ada dan tidak mendiskriminasi agama tertentu.
            Selain itu, negara juga memiliki kewajiban untuk menjamin situasi kondusif bagi warga negara serta menekankan sikap toleransi di antara sesama warga negara. Sebuah negara demokratis, demikian Trigg menjelaskan, harus mampu mengakui fakta keberagaman dan memelihara hal tersebut.

5.1.4 Negara Tidak Boleh Cukup Diri
            Penghilangan pengakuan publik agama di Amerika Serikat dan yang lainnya, memproklamasikan kecukupan diri negara. Teori demokrasi modern enggan melihat ruang persetujuan kolektif dan tindakan bersama memiliki fondasi di luar dirinya.[7] Negara liberal, demikian Trigg mengatakan, memilki asumsi besar bahwa mereka dapat berdiri di atas fondasi rasio dan otonomi manusia.   
Pandangan ini mendapatkan respon negatif dari Trigg.  Ia  menegaskan bahwa sebuah negara, tidak akan bertahan ketika hal tersebut berdiri dalam sebuah ruang kosong tanpa ada dasar nilai yang membentuknya. Negara yang hanya berdasarkan pada kekuatan manusia tanpa melibatkan tradisi tertentu seperti agama akan dengan cepat berubah menjadi sebuah negara diktator dan karena itu sangat rawan terhadap kesewenangan.
Untuk itu, Trigg menegaskan bahwa sebuah negara demokratis mesti tetap berdiri di atas fondasi nilai tertentu seperti nilai-nilai yang ditawarkan dari agama. Agama bagi Trigg memberikan sebuah fondasi kuat untuk menegakkan sebuah negara demokratis karena di dalam agama terkandung berbagai hal yang dapat menguatkan keberadaan negara tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa sebuah negara demokratis harus memilih satu agama tertentu sebagai pedoman hidup bersama. Negara demokratis bagi Trigg harus mampu menggali segala bentuk nilai keutamaan dari berbagai tradisi religius yang ada dengan tetap berada dalam kerangka inklusif serta menerima dan menjunjung tinggi fakta keberagaman.
Sikap seperti ini juga sangat penting untuk mengontrol pelaksanaan hukum dalam sebuah negara. Trigg melihat bahwa dengan mengakui otoritas Tuhan sebagaimana ditawarkan oleh agama, sebuah hukum dalam suatu negara tidak sekedar dipandang sebagai sebuah kesepakatan politis, melainkan lebih sebagai sebuah tuntutan moral dalam pelaksanaan kehidupan bernegara. Selain itu, pengakuan otoritas eksternal seperti dari nilai agama juga dilihat Trigg dapat bermanfaat untuk menentukan karakter warga negara. Penerimaan nilai eksternal, demikian Trigg menjelaskan, dapat membendung kecenderungan subjektif manusia untuk jatuh pada relativisme kebenaran. Dengan kata lain, nilai-nilai moral eksternal sebagaimana diperoleh dari berbagai tradisi religius sangat membantu untuk menangkal berbagai ekses dari keunggulan manusia sebagai subjek rasional serta individualistis demi mempertahankan kohesi sosial.

5.1.5 Rasionalitas Bersama
            Desakan agama untuk diakui secara publik serta berpartisipasi dalam diskusi di ruang publik bagi Trigg mesti harus dipertimbangkan. Agama sebagai sebuah kekuatan kritis terhadap negara demokratis mesti harus dilibatkan dalam berbagai diskursus publik. Trigg sendiri telah menegaskan bahwa agama merupakan salah satu sumber inspirasi bagi warga negara serta kekuatan motivasional bagi mereka untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan publik.
            Penerimaan agama untuk terlibat dalam diskusi publik juga menjadi sebuah kritik terhadap demokrasi liberal di mana menempatkan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Prinsip demokrasi liberal menekankan bahwa hanya ilmu pengetahuan yang memiliki kebenaran yang dapat diterima oleh akal publik dengan ciri kebenarannya yang dapat diuji serta dibuktikan secara empiris.
            Prinsip seperti ini secara jelas ditentang oleh Trigg. Ia melihat bahwa banyak persoalan publik yang justru tidak dapat diselesaikan apabila kerangka yang dipakai dalam kehidupan publik ialah bersumber dari ilmu pengetahuan. Berbagai persoalan publik secara khusus hal-hal yang terkait dengan masalah moral seperti tentang aborsi dan eutanasia hanya dapat diatasi ketika agama diberi ruang dalam kehidupan bersama. Dengan kata lain, agama dapat memberikan kontribusi moril terhadap segala persoalan publik yang justru tidak dimiliki oleh ilmu pengetahuan.
            Selain alasan tersebut, pengakuan agama dalam diskusi publik juga sangat membantu untuk mengritisi berbagai macam praktik religius yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Sikap seperti ini sangat penting, karena selain memiliki kekuatan konstruktif, agama juga mengandung berbagai kekuatan destruktif, intoleran, bahkan tidak jarang sangat irasional. Trigg sendiri menegaskan, prinsip demokrasi liberal yang mendomestifikasikan agama pada ranah privat hanya akan memperparah berkembangnya berbagai praktik keagamaan yang berkekuatan destruktif. “Mereka yang melihat beberapa agama sebagai berbahaya,” demikian Trigg menjelaskan, “harus mengakui bahwa mendorong agama ke dalam relung gelap kehidupan pribadi hanya melindungi semuanya dari sorotan publik dan kritik.”[8]
            Pengakuan agama dalam ruang publik tetap mesti berada dalam kerangka menjaga fakta keberagaman serta menjamin prinsip toleransi sesama warga negara. Dalam hal ini, segala bentuk praktik religius mesti mampu mendukung nilai-nilai kemanusiaan universal. Pengakuan kebebasan beragama dan mengakui agama untuk terlibat dalam kehidupan publik tidak berarti bahwa segala bentuk praktik atas nama agama dibiarkan berkembang. Agama, demikian Trigg, dapat diterima secara publik sejauh tidak memiliki pengaruh buruk bagi perkembangan kehidupan bersama. Setiap agama harus mampu menjamin Hak Asasi Manusia serta berkomitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi seperti sikap toleransi, dialog, ataupun solidaritas dengan warga lainnya.
            Untuk mewujudkan hal ini, Trigg sendiri menekankan tentang pentingnya rasionalitas bersama. Rasionalitas bersama ini bertujuan untuk menimbang serta mengontrol segala bentuk praktik keagamaan yang merusak integrasi publik. Peran rasionalitas bersama juga sangat penting untuk menciptakan suatu undang-undang yang dapat menjamin fakta keberagaman. Dalam hal ini, negara mesti mampu menciptakan undang-undang yang mengakomodasikan kepentingan berbagai kelompok seperti komunitas-komunitas religius serta mesti memastikan tegaknya cara hidup yang toleran di antara sesama warga negara. Pada lain sisi, kepastian undang-undang ini juga harus ditegakkan berhadapan dengan segala bentuk praktik religius yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan universal. Untuk mencapai undang-undang seperti ini, Trigg menekankan tentang pentingnya partisipasi berbagai pihak untuk berdialog. Negara mesti mampu menyediakan mekanisme agar setiap warga negara dapat melakukan komunikasi satu sama lain, dan menemukan cara untuk dapat hidup bersama.

5.2 Tanggapan
            Penulis melihat, pandangan Trigg sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini memberikan sebuah cakrawala baru dalam usaha memahami kebangkitan agama dalam ruang publik. Trigg sendiri telah membuka  ruang gelap pikiran manusia bahwa agama ternyata memiliki signifikansi positif dan konstruktif bagi kehidupan bersama. Dalam hal ini, Trigg melawan pandangan bahwa agama hanya merupakan urusan pribadi dan karena itu mesti ditempatkan dalam ruang privat para pemeluknya. Trigg sendiri telah memberikan suatu argumentasi serta bukti bahwa agama memiliki pengaruh besar bagi kehidupan publik umat manusia.
            Peran penting agama bagi kehidupan publik tidak hanya ditemukan oleh Trigg. Jürgen Habermas juga menegaskan bahwa agama memiliki kekuatan inspiratif yang menggerakkan warga negara beriman untuk terlibat dalam usaha transformasi sosial. Habermas mengatakan, “di dalam demokrasi, suara hati umat beragama – sesuatu yang bersumber dari iman religius – dapat menjadi kekuatan kritis terhadap kekuasaan tiranis dan ketidakadilan sosial, sebagaimana dipraktikan dalam civil rights movement yang dipimpin oleh Pendeta Martin Luther King Jr. di Amerika Serikat.[9]
Kontribusi agama bagi peradaban manusia memang masih sangat banyak. Beberapa bukti lain ialah seperti gerakan Solidarność di Polandia dan people power di Philipina.[10] Contoh lain juga dapat ditemukan dalam sejarah kemerdekaan dan pertumbuhan Indonesia. Dalam kalimat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas dituliskan, “Atas berkat Allah Yang Maha Kuasa…”. Kalimat ini sendiri hendak mempertegas bahwa peran penting agama bagi sejarah kemerdekaan Indonesia dari belenggu kolonialisme sangat signifikan. Agama memberikan kesadaran dan kekuatan bagi bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari situasi kolonial. Selain itu, peran kelompok-kelompok Islam moderat dalam gerakan reformasi di Indonesia adalah contoh lain lagi.
            Selain menemukan kekuatan motivasional dan transformasional tersebut, Trigg juga telah berhasil memberikan kritik terhadap demokrasi liberal yang mengandalkan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat dilibatkan dalam diskusi publik. Demokrasi liberal meyakini ilmu pengetahuan sebagai sumber penalaran publik karena dipandang bahwa hanya ilmu pengetahuan yang memiliki kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional di mana dapat diamati serta diuji secara ilmiah. Penulis sepakat dengan Trigg bahwa pandangan ini sangat bermasalah, karena seolah-seolah segala persoalan dalam kehidupan publik hanya dapat diselesaikan dengan bantuan ilmu pengetahuan.
Pandangan seperti ini jelas-jelas mereduksikan segala bentuk persoalan dalam masyarakat. Padahal, banyak persoalan dalam kehidupan manusia yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan kekuatan ilmu pengetahuan, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri juga tidak jarang menimbulkan berbagai macam patologi dalam sejarah peradaban umat manusia modern. Banyak bukti bahwa perkembangan ilmu pengetahuan justru telah melahirkan begitu banyak krisis dalam masyarakat modern. Krisis dalam masyarakat modern ini juga didiagnosis oleh Habermas.
Seperti disampaikan Cooke, ada dua persoalan dari modernitas sebagaimana didiagnosa Habermas. Pertama, perkembangan terakhir dalam bioteknologi yang mengarah pada instrumentalisasi manusia yang secara mendasar membahayakan pemahaman kita mengenai diri kita sendiri sebagai pribadi.[11] Instrumentalisasi manusia lewat teknologi melahirkan cara berpikir baru bahwa manusia itu sama seperti objek-objek alam yang dapat dikendalikan secara teknologis. Persis perubahan pandangan seperti ini membuat manusia tercerabut dari keluhurannya sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai luhur yang melekat secara intrinsik dan apriori di dalam dirinya. Kedua, serangan teroris yang dilakukan oleh militan fundamentalis Islam pada 11 September 2001 yang dapat dilihat sebagai reaksi  atas modernisasi Barat.[12] Serangan terorisme ini dilihat sebagai reaksi atas modernisasi, bahkan aksi-aksi terorisme tersebut juga didukung dengan penemuan berbagai senjata dan bom yang dihasilkan dari perkembangan ilmu pengetahuan modern dalam hal ini ialah teknologi.
Trigg melihat bahwa segala bentuk krisis seperti itu hanya dapat diatasi dengan bantuan kekuatan agama. Secara khusus terkait dengan masalah instrumentalisasi atau objektifikasi terhadap manusia oleh perkembangan ilmu pengetahuan, agama bagi Trigg hadir sebagai kekuatan yang memberikan legitimasi bahwa manusia itu ialah mahluk bermartabat yang diciptakan Tuhan.  Melalui agama, segala bentuk tindakan kesewenangan manusia terhadap manusia lain dapat diatasi, sebab agama memandang bahwa manusia ialah mahluk yang setara dan sederajat yang tidak dapat direduksikan sebagai objek belaka.
            Kontribusi lain dari pemikiran Trigg ialah bahwa ia memberikan suatu titik temu antara otonomi individu sebagaimana diagungkan dalam liberalisme dengan peran budaya (agama) yang melahirkan individu seperti dipikirkan dalam komunitarianisme. Pada satu sisi, Trigg melihat bahwa individu merupakan hasil dari budaya. Budaya bagi Trigg ialah sumber identitas seseorang, dan karena itu ia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruhnya. Akan tetapi, pada lain sisi, Trigg melihat bahwa otonomi individu juga tetap mesti diperhatikan. Perhatian terhadap otonomi individu ini sangat berguna agar seseorang tidak terbelenggu oleh kekuatan budaya. Trigg sendiri menegaskan bahwa tidak semua budaya dapat memberikan hal positif bagi perkembangan individu, karena itu individu berhak untuk menilai dan mengkritisi segala bentuk budaya yang merusak dan membatasi aktualisasi dirinya secara optimal menjadi manusia yang bermartabat. Pandangan ini memang sangat penting secara khusus berhadap dengan berbagai macam fakta bahwa seringkali agama justru dengan memakai dalil-dalil sakralnya membelenggu individu. Banyak fakta membuktikan bahwa agama tidak jarang melahirkan diskriminasi terhadap para pemeluknya.
Terlepas dari berbagai sisi positif tersebut, penulis sendiri melihat bahwa tuntutan agar agama mesti dilibatkan dalam ruang publik sebagaimana didukung secara argumentatif oleh Trigg tetap perlu dikritisi. Agama sebagai salah satu aspek kekuatan konstruktif bagi kebermaknaan diri dan peradaban umat manusia memang patut diperhatikan secara maksimal. Akan tetapi, kita melihat fakta bahwa kebangkitan agama dalam ruang publik justru lebih banyak menampilkan hal-hal destruktif. Misalnya, Komaruddin Hidayat (2017) menunjukkan ironi kebangkitan agama ini hampir terjadi di semua negara. Ia menyebut hal itu seperti terlihat dalam aksi kelompok-kelompok militan di Indonesia yang tidak ragu-ragu menutup dan merusak rumah-rumah ibadah agama lain, Gush Emunim di Israel yang menghalalkan kekerasan demi mewujudkan konsep bible tentang Tanah Israel, Bharatiya Janata Party dan Vishwa Hindu Parishad yang memperjuangkan India Hindu secara militant. Selain itu, contoh lain juga ialah Front Sangha Bersatu (partai militan Budha) di Sri Lanka yang menolak berdamai dengan Hindu tamil, serta kelompok-kelompok fundamentalis Kristen di Amerika yang membenarkan dukungan Amerika terhadap Israel dalam penggunaan kekerasan terhadap anak-anak Palestina.[13] Fakta tersebut menunjukkan bahwa kebangkitan agama dalam ruang publik justru lebih didominasi oleh agama berwajah destruktif. Trigg sendiri memang telah memberikan resep normatif bahwa kebebasan agama dalam panggung publik tetap memiliki batasan, yakni pada dimensi kemanusiaan. Ia mengatakan, segala bentuk praktik atas nama agama yang bersifat intoleran serta merusak nilai kemanusian harus ditolak untuk masuk dalam ruang publik. Akan tetapi, pandangan tersebut lebih sebagai perintah normatif dari sisi pengamat. Kebangkitan agama justru sering menampilkan sikap arogansi umat beragama terhadap kelompok lain. Gerakan kebangkitan agama  di seluruh dunia tampaknya tidak dapat melepaskan diri dari kepentingan kelompok masing-masing sambil menistakan yang lain.
Kondisi seperti ini tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah hubungan antar-agama. Perang Salib antara Kristen dan Islam misalnya, jelas masih membekas di antara kedua komunitas agama dan mempengaruhi hubungan kedua agama tersebut sepanjang sejarah hingga dewasa ini. Dengan menyebut contoh pengusiran orang-orang Muslim dan Yahudi di Spanyol oleh mayoritas Kristen dan perlakuan mayoritas Muslim di berbagai negara Islam terhadap minoritas non-Muslim, Rober Spencer (2000)[14] menyimpulkan bahwa dalam setiap periode sejarah ternyata baik Kristen maupun Muslim gagal untuk hidup sesuai dengan cita-cita ideal agama mereka.
Selain itu, Trigg sendiri juga tidak memikirkan tentang bahaya instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik. Secara faktual, pengakuan agama untuk terlibat dalam diskusi publik justru telah memicu konflik politis di berbagai negara demokratis di dunia saat ini. Contoh konkrit dari hal ini ialah seperti terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu.[15] Saat itu, agama diperlakukan sebagai sarana untuk mencapai kepentingan politik. Akibatnya, sebagai masyarakat heterogen, bangsa Indonesia umumnya dan Jakarta khususnya mengalami turbulensi besar. 

5.3 Relevansi Pemikiran
            Pemikiran Trigg tentu sangat relevan untuk dipakai dalam kehidupan bernegara saat ini. Penulis sendiri memberikan beberapa relevansi pemikiran Trigg untuk konteks Indonesia sebagai berikut. Pertama, dorongan Trigg agar agama diakui dalam kehidupan publik sangat membantu kita untuk melawan dominasi fundamentalisme pasar di Indonesia yang sangat anarkis. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru yang dinahkodai oleh Soeharto, liberalisme pasar diambil sebagai preferensi pemerintah Indonesia. Krisis Ekonomi yang menerpa Indonesia menjelang runtuhnya rezim Soeharto membuat pasar bebas dipilih sebagai jalan keluar sejak awal reformasi. Pemerintah-pemerintah era reformasi menerima banyak pengaruh dari organisasi internasional, seperti World Bank dan USAID, yang mendesak program-program, seperti good governance, desentralisasi administratif dan juga penguatan masyarakat warga. Semua ini dimaksudkan agar Indonesia segera pulih dari krisis lewat kebijakan-kebijakan yang ramah terhadap pasar. Pasar lalu menjadi preferensi pemerintah. Namun tanpa sadar, preferensi pasar ini praktis menyingkirkan preferensi-preferensi lain dalam demokrasi Indonesia saat ini.[16]
            Kekuatan pasar ini telah mencengkram mental warga Indonesia dan mengasuh mereka menjadi homo economicus semata. Persis dalam kondisi seperti ini, setiap warga negara memiliki mental untuk saling berkompetisi demi mencapai kepentingan pribadi yang sangat individualistis. Kondisi seperti ini pada akhirnya mengikis dan menghancurkan nilai-nilai demokrasi seperti solidaritas yang diperlukan setiap warga negara untuk membangun kepentingan dan nilai bersama. Dalam situasi seperti ini, penulis melihat bahwa pandangan Trigg untuk mengakui agama secara konstitusional dalam kehidupan publik menjadi sangat penting. Peran agama sebagai sebuah komunitas bersama yang memiliki ikatan emosional sangat kuat dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk melawan kekuatan pasar tersebut. Memang agama di Indonesia sudah lama diakui dalam kehidupan publik, tetapi dalam kondisi faktual, agama juga sering didikte oleh kepentingan pasar untuk tujuan pragmatis. Akan tetapi, terlepas dari tantangan tersebut, penulis yakin, sejauh agama tetap diberi ruang untuk bertumbuh  dalam kehidupan publik, negara Indonesia tetap dapat diselamatkan dari bahaya tirani pasar.
Ketiga, tuntutan agar setiap agama hidup toleran di tengah fakta keberagaman. Persoalan ini menjadi sangat penting untuk konteks masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Penulis melihat bahwa fakta keberagaman agama di Indonesia sejauh ini masih sangat problematis di mana arogansi mayoritas masih sangat kental dan terus bertindak agresif dan intoleran terhadap kelompok minoritas. Hal tersebut juga semakin diperparah dengan sikap negara yang kurang tegas untuk menjaga keharmonisan bangsa ini, bahkan berbagai macam kebijakan negara cenderung diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Hasil penelitian lapangan peserta Sekolah Pengelolahan Keragaman (SPK), Pascasarjana Universitas Gadjah Mada pada Mei 2015 menunjukkan bahwa dalam 15 tahun terakhir ini masalah toleransi beragama di Indonesia masih sangat jauh dari harapan. Hal tersebut terbukti dalam masalah sulitnya Gereja Bethel Indonesia (GBI) untuk membangun rumah ibadah di Kota Banda Aceh dan Pasir Mas Banjarmasin. Hal itu terjadi karena terdapat gerakan organisasi Islam yang berupaya menegakkan Syariat Islam, termasuk mencegah Kristenisasi yang mereka percayai sebagai bagian dari tujuan pembangunan Gereja. Beberapa persoalan lain juga dapat dilihat dalam kasus Syiah Sampang yang hingga kini belum diselesaikan, penyerangan komunitas Ahmmadiyah, penggusuran Gereja secara paksa, kutukan sepihak kelompok Lia Aminuddin, penusukan dan pemukulan kelompok HKBP Pondok Indah Timur, dsb.[17] Kita juga masih ingat dengan fatwa kontoversial Majelis Ulama Indonesia (MUI): “mengharamkan doa bersama yang dipimpin non-muslim, perkawinan beda agama, paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama.”[18]
Deretan persoalan tersebut tentu saja dikutuk oleh Trigg. Kebebasan beragama bagi Trigg tetap harus berada dalam jalur kebenaran, yakni menghargai Hak Asasi Manusia seperti kebebasan beragama. Dalam hal ini, pada satu sisi, setiap orang diberikan kebebasan untuk menjalankan kehidupan beragamanya, tetapi di sisi lain mereka juga memiliki kewajiban untuk menghargai hak orang lain untuk menjalankan praktik keagamaannya sesuai dengan keyakinannya. Dalam konteks masyarakat pluralis, Trigg menegaskan setiap orang mesti mampu menjamin sikap toleransi. Prinsip toleransi ini bagi Trigg mesti dibangun di atas kesadaran setiap warga negara bahwa Tuhan adalah realitas yang tidak dapat terselami sepenuhnya oleh pikiran manusia. Karena itu segala bentuk praktik agama yang mengklaim diri paling benar sehingga berhak untuk menilai kebenaran agama lain juga harus ditolak. Persoalan seperti ini juga bagi Trigg harus mendapatkan perhatian serius dari negara. Negara, demikian Trigg menjelaskan, harus mampu menciptakan hukum yang kondusif di mana fakta keberagaman dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik di dalamnya. Negara bagi Trigg memiliki tanggung jawab penuh untuk menciptakan suatu tatanan di mana semua agama dapat hidup secara adil serta hak-hak setiap warga negara dapat dilindungi secara legal konstitusional.
Tuntutan Trigg agar negara dapat menjamin situasi kondusif bagi warga negara secara khusus terkait dengan toleransi antar umat beragama tentu mengandaikan bahwa negara tersebut harus kuat, dalam arti tidak mudah didikte dan tunduk pada kepentingan dan kekuatan mayoritas. Kondisi faktual di Indonesia memang masih memerlihatkan bahwa pemerintah masih lemah mengatasi berbagai aksi destruktif dan intoleran dari mayoritas religius. Padahal, demikian kata Hardiman, semua negara maju tahu bahwa demokrasi tidak dapat dijalankan oleh sebuah pemerintahan yang lembek terhadap para musuh toleransi.[19] Dalam hal ini, kalau berkomitmen untuk menegakkan demokrasi yang sesungguhnya, pemerintah Indonesia harus melepaskan diri dari sikap lembeknya menghadapi kelompok-kelompok intoleran. Setiap warga negara yang tidak toleran terhadap warga negara lain tidak boleh ditoleransi oleh negara. Negara harus bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok yang selalu bersikap militan terhadap kelompok lain, sebab hal tersebut merupakan skandal terhadap demokrasi.*




Daftar Pustaka
Sumber Primer:
Trigg, Roger. Religion in Public Life, Must Faith be Privatized?.  Oxford University Press: 2007

Sumber Sekunder:
Ahnaf, Mohammad Iqbal,  (Penyunting). Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia: Kontestasi dan Koeksistensi. Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: 2015
Andang, Al.  Agama Yang Bepijak dan Berpihak. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 1998
Audi, R. Religious Commitment and Secular Reason. University Press. Cambridge: 2000
Berger, Peter L. The many Altars of Modernity: Toward a Paradigm for Religion in an Pluralist Age. Walter de Gruyter. Boston/ Berlin: 2014
Bosetti, Giancarlo (ed). Iman melawan Nalar: Perdebatan Joseph Ratzinger melawan Habermas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 2009
Budi Hardiman, F. Dalam Moncong Oligarki: Skandal Demokrasi di Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 2013
Budi Hardiman, F. Dalam Moncong Oligarki: Skandal Demokrasi di Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 2013
Budi Hardiman, F. Demokrasi Deliberatif. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 2009
Budi Hardiman, F. Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia. Jakarta: 2004
Budi Hardiman, F. Hak-Hak Asasi Manusia, Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 2011 
Cooke, M.  Salvaging and Secularizing the Semantic Conten of Religion: The Limitations of Habermas’s Postmetaphysical Proposal. International Journal for Philosophy of Religion (60, 2006)
Ferrari, S., and Durham, W.C., Jr. (ed). Law and Religion in Post-Communist Europe. Peeters. Leuven: 2003
Ferrari. Church and State in Slovakia, Peeters. Leuven: 2003
Habermas, Jürgen et.al. (ed.). Hermeneutik und Ideologiekritik. Suhrkamp Verlag. Frankfurt a.M: 1971
Habermas, Jürgen,  Religious Toleration: The Pacemaker for Cultural Rights, Philosophy: 2004
Hidayat, Komaruddin. “Kebangkitan Agama di Era Post-Modern”, dalam Abd Hakim dan Yudi Latif (eds), Bayang-bayang Fanatisme: Esai-esai Mengenang Nurcholis Madjid. Pusat Studi Islam dan Kenegaraan. Jakarta: 2007
Ingram, David, Habermas. Introduction and Analysis, Cornell University Press, Ithaca: 2010
Ingram, David. Habermas. Introduction and Analysis. Cornell University Press. Ithaca: 2010
Kleden dan Sunarko (ed.,). Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan. Penerbit Ledalero dan Lamalera. Maumere: 2010
Kymlika, Will. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. Oxford Political Theory. Ofxord & New York: Clarendon Press & Oxford University Press: 1995
Leahy, Louis. Sains dan Agama dalam Konteks Zaman Ini. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 1997
Locke, J. Political Essays. Ed. Mark Goldi. Cambridge University Press. Cambridge: 1997
Locke, J. The Reasonableness of Christianity. Thoemmes Press. Bristol: 1997
Locke, J. Two Treatises of Government, ed. P. Laslett. Cambridge University Press. Cambridge: 1988
Lubis, Akhyar Yusuf. Posmodernisme – Teori dan Metode. Rajawali Pers. Jakarta: 2014.
Lyotard, J. F. The Post Modern Condition: A Report on Knowledge. Manchester University. Manchester: 1989
Magnis-Suseno, Franz. Agama, Keterbukaan dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan. Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina. Jakarta: 2015
Magnis-Suseno, Franz. Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: Bunga Rampai Etika Politik Aktual. KOMPAS. Jakarta: 2015
Menoh, Gusti A. B. Agama dalam Ruang Publik, Hubungan antara Agama dan Negara dalam Masyarakat Postsekular Menurut Jürgen Habermas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 2015
Parekh, Bhikhu. Rethinking Multiculturalisme: Cultural Diversity and Political Theory. Palgrave London: 2000
Rorty, R and Vattimo, G. The Future of Religion. Columbia University Press. New York: 2005
Rorty, R. Philosophy and Social Hope. Penguin. Harmondsworh: 1999
Spencer, Robert. Islam Unveiled: Disturbing Questions about the World’s Fastest-Growing Fait. Encounter Books. San Fransisco: 2000
Sugiharto, Bambang. Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 1996
Taliaferro and Teply (eds). Cambridge Platonist Spirituality. Paulist Press. New York: 2004
TEMPO. Gonjang-Ganjing Fatwa Ulama, dalam Laporan Utama TEMPO, Edisi 7-14 Agustus 2005
Vattimo, G. Nihilism and Emancipation. Columbia University Press. New York: 2004


[1] Bdk. F. Budi Hardiman dalam seminar Dies Natalis STF Driyarkara dengan tema: Pandangan  Postsekularisme, Peluang dan Tantangan Agama, Jakarta 2017
[2] Roger Trigg, Religion in Public Life, Must Faith be Privatized?,  Oxford University Press: 2007, hal 12
[3] Roger Trigg, Religion in Public Life, Must Faith be Privatized?,  Oxford University Press: 2007, hal 12
[4] Roger Trigg, Religion in Public Life, Must Faith be Privatized?,  Oxford University Press: 2007, hal 16
[5] Hak Asasi Manusia memang memiliki akar historis  dalam tradisi religius, namun sebagai suatu konsep modern yang merespon pengalaman negatif manusia, hak-hak asasi manusia adalah konsep yang otonom dari dan bahkan kritis terhadap tradisi religius, sehingga tidak jarang para pejuang hak-hak asasi manusia harus menghadapi kesulitan-kesulitan dengan tafsir-tafsir dan praktik-praktik agama yang fundamentalis (Bdk. F. Budi Hardiman, Hak-Hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan, Penerbit Kanisius Yogyakarta: 2011, hal. 14)
[6] Roger Trigg, Religion in Public Life, Must Faith be Privatized?,  Oxford University Press: 2007, hal. 110
[7] Roger Trigg, Religion in Public Life, Must Faith be Privatized?,  Oxford University Press: 2007, hal. 232
[8] Roger Trigg, Religion in Public Life, Must Faith be Privatized?,  Oxford University Press: 2007, hal. 234
[9] David Ingram, Habermas. Introduction and Analysis, Cornell University Press, Ithaca: 2010, hal. 222
[10] Gusti A. B. Menoh, Agama dalam Ruang Publik, Hubungan antara Agama dan Negara dalam Masyarakat Postsekular Menurut Jurgen Habermas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 2015, hal. 19
[11] M. Cooke, Salvaging and Secularizing the Semantic Conten of Religion: The Limitations of Habermas’s Postmetaphysical Proposal, International Journal for Philosophy of Religion (60, 2006), hal. 189.
[12] M. Cooke, Salvaging and Secularizing the Semantic Conten of Religion: The Limitations of Habermas’s Postmetaphysical Proposal, International Journal for Philosophy of Religion (60, 2006), hal. 189.
[13] Komaruddin Hidayat, Kebangkitan Agama di Era Post-Modern, dalam Abd Hakim dan Yudi Latif (eds), Bayang-bayang Fanatisme: Esai-esai Mengenang Nurcholis Madjid, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan. Jakarta: 2007, hal. 238-239.
[14] Robert Spencer, Islam Unveiled: Disturbing Questions about the World’s Fastest-Growing Fait, Encounter Books, San Fransisco: 2000, hal 34-35
[15] Pilkada DKI Jakarta merupakan salah satu contoh di mana agama dipakai untuk kepentingan kekuasaan politik. Pada saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berlatar belakang Kristen diserang oleh lawan politiknya atas nama agama. Panggung-panggung ibadah digunakan sebagai tempat untuk berkampanye agar jangan memilih pemimpin kafir (Ahok).
[16] F. Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki: Skandal Demokrasi di Indonesia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 2013, hal 27-28
[17] Mohammad Iqbal Ahnaf (Penyunting), Praktik Pengelolahan Keragaman di Indonesia: Kontestasi dan Koeksistensi, Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: 2015, hal. iii-x
[18] Bdk. Gonjang-GanjingFatwa Ulama, Laporan Utama TEMPO (7-14 Agustus 2005), hal. 110-113
[19] F. Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki: Skandal Demokrasi di Indonesia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 2015, hal. 96
Share:

Video Widget

Diberdayakan oleh Blogger.

Bonjour & Welcome

Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, Sebuah Penutup

Roger Trigg, Profesor Emeritus pada Oxford University BAB V PENUTUP  Oleh: Yones Hambur "Tulisan ini merupakan sebu...

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Top Stories

Video Of Day

Top Stories

Recent Posts

Unordered List

Theme Support

Sponsor

Flickr Images

Popular Posts

Popular

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support