|
Roger Trigg, Profesor Emeritus pada Oxford University |
BAB V
PENUTUP
Oleh: Yones Hambur
"Tulisan ini merupakan sebuah penutup dalam skripsi saya yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Filsafat di STF Driyarkara pada 2018 silam (di STF Driyarkara terdapat dua syarat utama untuk mendapat gelar sarjana, selain skripsi juga ada yang disebut ujian 'tesis komprehensif'), dengan judul "Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, seorang filsuf kontempoer dan profesor emeritus pada Oxford University. Skripsi ini merupakan sebuah hasil penelitan dan analisis saya atas pemikiran Trigg dalam karyanya berjudul 'Religion in Public Life, Must Faith be Privatized?' Dalam mengerjakan tulisan ini, metode yang dipakai ialah studi kepustakaan. Saya sendiri juga beberapa kali melakukan wawancara dengan Roger Trigg via email dalam rangka memastikan kebenaran dari pembacaan saya atas pemikiranya. Gagasan Trigg tentu saja sangat relevan dan sangat membantu untuk melihat dan mencermati fenomena kebangkitan agama di dalam horizon yang oleh Jurgen Habermas disebut sebagai era post-sekularisme ini."
5.1
Kesimpulan
5.1.1
Kegagalan Sekularisme
Fakta
kebangkitan agama sebagaimana telah diperlihatkan Trigg di atas panggung
kehidupan publik menandakan bahwa klaim sekularisme di mana segala hal berbau
sakral-religius seperti agama hilang dari peradaban umat manusia menjadi tidak
benar. Sekularisme memandang bahwa dengan penemuan rasionalitas manusia yang
melahirkan ilmu pengetahuan, agama dengan sendirinya tidak memiliki daya
pengaruh bagi kehidupan umat manusia. Klaim sekularisme ini dengan lugas
disampaikan oleh F. Budi Hardiman, “lewat proses rasionalisasi dan
teknologisasi masyarakat di mana ilmu pengetahuan menjadi dominan dalam
masyarakat, maka dengan sendirinya terjadi desakralisasi ruang publik. Karena
itu agama dianggap tidak relevan bahkan ‘punah’ dari kehidupan umat manusia.”
Trigg
sendiri mengatakan, klaim sekularisme tersebut tentu sangat bertentangan dengan
kondisi aktual di mana agama terus mendesak dan menuntut diri untuk terlibat
dalam kehidupan publik. Agama justru semakin menunjukkan diri dan berpengaruh
secara signifikan bagi kehidupan masyarakat. Fakta kebangkitan agama tersebut,
demikian Trigg telah menjelaskan, terjadi seiring dengan kesadaran setiap orang
terhadap demokrasi.
Seperti dijelaskan
Trigg bahwa sejak lama berbagai negara di Eropa dikuasai oleh rezim komunisme.
Dalam genggaman rezim ini, agama diperintahkan untuk tidak menampilkan diri
dalam ruang publik dan memarginalkannya pada ranah privat. Rezim komunis
memerintahkan agar dunia kehidupan diateisasikan, bahkan, demikian Trigg
menjelaskan, setiap sekolah diperintahkan untuk mengajarkan ateisme agar
masyarakat terlepas dari berbagai prasangka religius.
Trigg menjelaskan,
sejak rezim komunisme runtuh serta sistem pemerintahan demokratis mulai
ditegakkan, perjuangan untuk mengakui kebebasan beragama terus menerus
dituntut. Perjuangan ini sendiri dilakukan karena salah satu dari roh demokrasi itu ialah kebebasan.
Dengan demikian, sebuah negara demokrasi mesti mampu mewujudkan serta
memperjuangkan kebebasan setiap warga negara termasuk dalam hal ini ialah kebebasan
untuk hidup sebagai warga negara beriman dan melaksanakan berbagai persoalan
keagamaan dalam panggung kehidupan publik.
5.1.2
Pengakuan Agama dalam Kehidupan Publik
Fakta
kebangkitan agama dalam kehidupan publik menunjukkan bahwa agama merupakan elemen
penting yang harus diperhatikan dalam kehidupan bernegara. Berbagai macam
krisis dalam dunia kehidupan bersama akibat kekuatan modernisme turut
melahirkan pluralitas agama dalam panggung publik.
Menurut Trigg, ada
beberapa pertimbangan penting bahwa agama harus diberi ruang dalam kehidupan
bersama. Pertama, agama dapat
membendung segala kecenderungan manusia untuk melakukan tindakan
sewenang-wenang terhadap manusia lain. Pandangan ini tentu saja berangkat dari
keprihatinan Trigg tentang situasi faktual di berbagai negara di Eropa ketika
rezim komunisme mengendalikan segala lini kehidupan. Dalam genggaman komunisme,
telah banyak peristiwa destruktif terjadi secara khusus kepada warga negara
beriman di mana mereka sering diperlakukan secara diskriminatif serta tidak
jarang mendapatkan tindakan persekusi dari negara. Rezim tolaliter dan otoriter
komunisme dengan kejam mencengkeram dan menghantam kebebasan hakiki manusia
seperti dorongan untuk mengekspresikan hal-hal spiritual religius dalam
kehidupannya.
Kekuatan
rezim komunisme ini bagi Trigg berakar pada pemujaan berlebihan terhadap
keunggulan diri manusia. Trigg melihat praktik bengis seperti dilakukan rezim
komunis merupakan bukti bahwa manusia memiliki kehendak untuk menguasasi dan
menghancurkan orang lain. Persis dalam situasi seperti ini, nilai kemanusiaan
dibabat habis. Dalam situasi seperti
ini, Trigg menegaskan bahwa peran penting agama justru semakin mendesak. Agama
sebagai sebuah kekuatan yang mengakui sebuah entitas yang melebihi kekuasaan manusia,
yakni Allah, dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk melawan
kecenderungan manusia untuk menguasai sesamanya. Trigg percaya bahwa hanya
dengan mengakui otoritas Allah, kesewenangan manusia dapat dikontrol dan
diatasi.
Kedua,
agama memiliki kekuatan motivasional dan tranformasional bagi kehidupan bersama
dalam masyarakat demokratis dan plural. Agama, demikian Trigg menjelaskan,
dapat berperan dalam menuntun kehidupan suatu negara, karena agama memelihara
akar sejarah untuk menuntun suatu negara dan menegaskan cinta akan kebebasan.
Peran penting agama dalam sejarah peradaban umat manusia tidak dapat diragukan
lagi. Salah satu kontribusi besar agama bagi peradaban umat manusia ialah
munculnya kesadaran akan Hak Asasi Manusia. Selain itu, berbagai gerakan sosial seperti
penghapusan perbudakan di Inggris pada awal abad ke-19 dan gerakan hak-hak
sipil di Amerika pada abad ke-20 juga merupakan bukti bahwa agama memiliki daya
transformasional bagi kehidupan manusia.
Ketiga,
agama sebagai sumber legitimasi kesetaraan manusia. Trigg melihat bahwa negara
demokratis yang mengakui kesetaraan manusia tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan agama, sebab konsep kesetaraan itu sendiri memiliki akar kuat dalam
tradisi religius. Pemikir liberalisme John Locke sendiri juga telah menegaskan
bahwa asal dari kesetaraan itu ialah Tuhan. Penghapusan agama dari panggung
kehidupan publik dalam negara modern
bagi Trigg justru merongrong legitimasi dari negara tersebut. Negara
modern dengan prinsip liberalisme politik yang mendomestifikasikan agama ke
dalam ruang privat justru sedang ‘menipu’ bahkan memperlemah dirinya sendiri,
karena mencerabut dirinya sendiri dari akar legitimasinya, yakni pada
nilai-nilai yang bersumber dari tradisi religius.
5.1.3
Ilusi Netralitas Negara
Fenomena
kebangkitan berbagai macam agama dalam ruang kehidupan bersama tentu memiliki
tantangan tersendiri bagi peran dan tugas negara. Seperti diketahui, dalam
negara modern dengan penekanan pada liberalisme politik, negara seringkali
mengambil sikap netral terhadap berbagai agama bahkan menempatkan agama dalam
ranah privat. Pertimbangan negara liberal dengan memarginalkan agama dalam
ruang privat ialah agar dunia kehidupan publik tidak melahirkan konflik atas
nama agama. Karena mereka menilai agama justru akan mengancam kebebasan manusia
sebagai individu otonom. Dengan kata lain, liberalisme politik berpendirian
bahwa demi penegakan kesetaraan setiap warga negara, agama harus
didomestifikasi pada ranah privat.
Netralitas
negara ini, demikian Trigg mengatakan, didasarkan pada dilema negara untuk
mengurus dirinya sendiri. Pada satu sisi, ketika negara memberikan prioritas
pada agama tertentu, hal tersebut justru akan mengganggu fakta pluralitas agama
dalam hal ini ialah agama minoritas. Akan tetapi, di lain sisi, apabila negara
tidak mendukung satu kepercayaan manapun, itu berarti bahwa negara tidak
memiliki suatu prinsip di mana negara dapat diorganisasikan.
Trigg
sendiri menegaskan bahwa berhadapan dengan masyarakat pluralis, sebuah negara
demokrasi tidak harus bersikap netral terhadap agama. Aspirasi berbagai agama
mesti dipertimbangkan dalam kehidupan publik, sebab mereka adalah bagian dari
kekuatan demokratisasi itu sendiri. Untuk itu, negara bagi Trigg harus mampu
membuat suatu nilai kolektif dengan tetap mempertahankan fakta keberagaman
agama. Negara dalam hal ini memiliki kewajiban untuk mendengarkan berbagai
suara dari berbagai agama serta menentukan nilai bersama yang inklusif, dalam
arti mengakomodasi kepentingan berbagai agama yang ada dan tidak
mendiskriminasi agama tertentu.
Selain
itu, negara juga memiliki kewajiban untuk menjamin situasi kondusif bagi warga
negara serta menekankan sikap toleransi di antara sesama warga negara. Sebuah
negara demokratis, demikian Trigg menjelaskan, harus mampu mengakui fakta
keberagaman dan memelihara hal tersebut.
5.1.4
Negara Tidak Boleh Cukup Diri
Penghilangan
pengakuan publik agama di Amerika Serikat dan yang lainnya, memproklamasikan
kecukupan diri negara. Teori demokrasi modern enggan melihat ruang persetujuan
kolektif dan tindakan bersama memiliki fondasi di luar dirinya.
Negara liberal, demikian Trigg mengatakan, memilki asumsi besar bahwa mereka
dapat berdiri di atas fondasi rasio dan otonomi manusia.
Pandangan ini mendapatkan
respon negatif dari Trigg. Ia menegaskan bahwa sebuah negara, tidak akan
bertahan ketika hal tersebut berdiri dalam sebuah ruang kosong tanpa ada dasar
nilai yang membentuknya. Negara yang hanya berdasarkan pada kekuatan manusia
tanpa melibatkan tradisi tertentu seperti agama akan dengan cepat berubah
menjadi sebuah negara diktator dan karena itu sangat rawan terhadap
kesewenangan.
Untuk itu, Trigg
menegaskan bahwa sebuah negara demokratis mesti tetap berdiri di atas fondasi
nilai tertentu seperti nilai-nilai yang ditawarkan dari agama. Agama bagi Trigg
memberikan sebuah fondasi kuat untuk menegakkan sebuah negara demokratis karena
di dalam agama terkandung berbagai hal yang dapat menguatkan keberadaan negara
tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa sebuah negara demokratis harus memilih
satu agama tertentu sebagai pedoman hidup bersama. Negara demokratis bagi Trigg
harus mampu menggali segala bentuk nilai keutamaan dari berbagai tradisi
religius yang ada dengan tetap berada dalam kerangka inklusif serta menerima
dan menjunjung tinggi fakta keberagaman.
Sikap seperti ini juga
sangat penting untuk mengontrol pelaksanaan hukum dalam sebuah negara. Trigg
melihat bahwa dengan mengakui otoritas Tuhan sebagaimana ditawarkan oleh agama,
sebuah hukum dalam suatu negara tidak sekedar dipandang sebagai sebuah
kesepakatan politis, melainkan lebih sebagai sebuah tuntutan moral dalam
pelaksanaan kehidupan bernegara. Selain itu, pengakuan otoritas eksternal
seperti dari nilai agama juga dilihat Trigg dapat bermanfaat untuk menentukan
karakter warga negara. Penerimaan nilai eksternal, demikian Trigg menjelaskan,
dapat membendung kecenderungan subjektif manusia untuk jatuh pada relativisme
kebenaran. Dengan kata lain, nilai-nilai moral eksternal sebagaimana diperoleh
dari berbagai tradisi religius sangat membantu untuk menangkal berbagai ekses
dari keunggulan manusia sebagai subjek rasional serta individualistis demi
mempertahankan kohesi sosial.
5.1.5
Rasionalitas Bersama
Desakan
agama untuk diakui secara publik serta berpartisipasi dalam diskusi di ruang
publik bagi Trigg mesti harus dipertimbangkan. Agama sebagai sebuah kekuatan
kritis terhadap negara demokratis mesti harus dilibatkan dalam berbagai
diskursus publik. Trigg sendiri telah menegaskan bahwa agama merupakan salah
satu sumber inspirasi bagi warga negara serta kekuatan motivasional bagi mereka
untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan publik.
Penerimaan
agama untuk terlibat dalam diskusi publik juga menjadi sebuah kritik terhadap
demokrasi liberal di mana menempatkan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya
kekuatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Prinsip demokrasi
liberal menekankan bahwa hanya ilmu pengetahuan yang memiliki kebenaran yang
dapat diterima oleh akal publik dengan ciri kebenarannya yang dapat diuji serta
dibuktikan secara empiris.
Prinsip
seperti ini secara jelas ditentang oleh Trigg. Ia melihat bahwa banyak
persoalan publik yang justru tidak dapat diselesaikan apabila kerangka yang
dipakai dalam kehidupan publik ialah bersumber dari ilmu pengetahuan. Berbagai
persoalan publik secara khusus hal-hal yang terkait dengan masalah moral
seperti tentang aborsi dan eutanasia hanya dapat diatasi ketika agama diberi
ruang dalam kehidupan bersama. Dengan kata lain, agama dapat memberikan
kontribusi moril terhadap segala persoalan publik yang justru tidak dimiliki
oleh ilmu pengetahuan.
Selain
alasan tersebut, pengakuan agama dalam diskusi publik juga sangat membantu
untuk mengritisi berbagai macam praktik religius yang bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan universal. Sikap seperti ini sangat penting, karena
selain memiliki kekuatan konstruktif, agama juga mengandung berbagai kekuatan
destruktif, intoleran, bahkan tidak jarang sangat irasional. Trigg sendiri menegaskan,
prinsip demokrasi liberal yang mendomestifikasikan agama pada ranah privat
hanya akan memperparah berkembangnya berbagai praktik keagamaan yang
berkekuatan destruktif. “Mereka yang melihat beberapa agama sebagai berbahaya,”
demikian Trigg menjelaskan, “harus mengakui bahwa mendorong agama ke dalam
relung gelap kehidupan pribadi hanya melindungi semuanya dari sorotan publik
dan kritik.”
Pengakuan
agama dalam ruang publik tetap mesti berada dalam kerangka menjaga fakta
keberagaman serta menjamin prinsip toleransi sesama warga negara. Dalam hal
ini, segala bentuk praktik religius mesti mampu mendukung nilai-nilai
kemanusiaan universal. Pengakuan kebebasan beragama dan mengakui agama untuk
terlibat dalam kehidupan publik tidak berarti bahwa segala bentuk praktik atas
nama agama dibiarkan berkembang. Agama, demikian Trigg, dapat diterima secara
publik sejauh tidak memiliki pengaruh buruk bagi perkembangan kehidupan
bersama. Setiap agama harus mampu menjamin Hak Asasi Manusia serta berkomitmen
untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi seperti sikap toleransi, dialog,
ataupun solidaritas dengan warga lainnya.
Untuk
mewujudkan hal ini, Trigg sendiri menekankan tentang pentingnya rasionalitas
bersama. Rasionalitas bersama ini bertujuan untuk menimbang serta mengontrol
segala bentuk praktik keagamaan yang merusak integrasi publik. Peran
rasionalitas bersama juga sangat penting untuk menciptakan suatu undang-undang
yang dapat menjamin fakta keberagaman. Dalam hal ini, negara mesti mampu
menciptakan undang-undang yang mengakomodasikan kepentingan berbagai kelompok
seperti komunitas-komunitas religius serta mesti memastikan tegaknya cara hidup
yang toleran di antara sesama warga negara. Pada lain sisi, kepastian
undang-undang ini juga harus ditegakkan berhadapan dengan segala bentuk praktik
religius yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan universal. Untuk mencapai
undang-undang seperti ini, Trigg menekankan tentang pentingnya partisipasi
berbagai pihak untuk berdialog. Negara mesti mampu menyediakan mekanisme agar
setiap warga negara dapat melakukan komunikasi satu sama lain, dan menemukan
cara untuk dapat hidup bersama.
5.2
Tanggapan
Penulis
melihat, pandangan Trigg sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini memberikan
sebuah cakrawala baru dalam usaha memahami kebangkitan agama dalam ruang
publik. Trigg sendiri telah membuka
ruang gelap pikiran manusia bahwa agama ternyata memiliki signifikansi
positif dan konstruktif bagi kehidupan bersama. Dalam hal ini, Trigg melawan pandangan
bahwa agama hanya merupakan urusan pribadi dan karena itu mesti ditempatkan
dalam ruang privat para pemeluknya. Trigg sendiri telah memberikan suatu
argumentasi serta bukti bahwa agama memiliki pengaruh besar bagi kehidupan
publik umat manusia.
Peran
penting agama bagi kehidupan publik tidak hanya ditemukan oleh Trigg. Jürgen
Habermas juga menegaskan bahwa agama memiliki kekuatan inspiratif yang
menggerakkan warga negara beriman untuk terlibat dalam usaha transformasi
sosial. Habermas mengatakan, “di dalam demokrasi, suara hati umat beragama –
sesuatu yang bersumber dari iman religius – dapat menjadi kekuatan kritis
terhadap kekuasaan tiranis dan ketidakadilan sosial, sebagaimana dipraktikan
dalam civil rights movement yang
dipimpin oleh Pendeta Martin Luther King Jr. di Amerika Serikat.
Kontribusi agama bagi
peradaban manusia memang masih sangat banyak. Beberapa bukti lain ialah seperti
gerakan Solidarność di Polandia dan people power di Philipina.
Contoh lain juga dapat ditemukan dalam sejarah kemerdekaan dan pertumbuhan
Indonesia. Dalam kalimat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas
dituliskan, “Atas berkat Allah Yang Maha Kuasa…”. Kalimat ini sendiri hendak
mempertegas bahwa peran penting agama bagi sejarah kemerdekaan Indonesia dari
belenggu kolonialisme sangat signifikan. Agama memberikan kesadaran dan
kekuatan bagi bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari situasi kolonial.
Selain itu, peran kelompok-kelompok Islam moderat dalam gerakan reformasi di
Indonesia adalah contoh lain lagi.
Selain
menemukan kekuatan motivasional dan transformasional tersebut, Trigg juga telah
berhasil memberikan kritik terhadap demokrasi liberal yang mengandalkan ilmu
pengetahuan sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat dilibatkan dalam diskusi
publik. Demokrasi liberal meyakini ilmu pengetahuan sebagai sumber penalaran
publik karena dipandang bahwa hanya ilmu pengetahuan yang memiliki kebenaran
yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional di mana dapat diamati serta
diuji secara ilmiah. Penulis sepakat dengan Trigg bahwa pandangan ini sangat
bermasalah, karena seolah-seolah segala persoalan dalam kehidupan publik hanya
dapat diselesaikan dengan bantuan ilmu pengetahuan.
Pandangan seperti ini
jelas-jelas mereduksikan segala bentuk persoalan dalam masyarakat. Padahal,
banyak persoalan dalam kehidupan manusia yang tidak dapat diselesaikan hanya
dengan mengandalkan kekuatan ilmu pengetahuan, bahkan perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri juga tidak jarang menimbulkan berbagai macam patologi
dalam sejarah peradaban umat manusia modern. Banyak bukti bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan justru telah melahirkan begitu banyak krisis dalam masyarakat
modern. Krisis dalam masyarakat modern ini juga didiagnosis oleh Habermas.
Seperti disampaikan
Cooke, ada dua persoalan dari modernitas sebagaimana didiagnosa Habermas. Pertama, perkembangan terakhir dalam
bioteknologi yang mengarah pada instrumentalisasi manusia yang secara mendasar
membahayakan pemahaman kita mengenai diri kita sendiri sebagai pribadi.
Instrumentalisasi manusia lewat teknologi melahirkan cara berpikir baru bahwa
manusia itu sama seperti objek-objek alam yang dapat dikendalikan secara
teknologis. Persis perubahan pandangan seperti ini membuat manusia tercerabut
dari keluhurannya sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai luhur yang melekat
secara intrinsik dan apriori di dalam dirinya. Kedua, serangan teroris yang dilakukan oleh militan fundamentalis
Islam pada 11 September 2001 yang dapat dilihat sebagai reaksi atas modernisasi Barat.
Serangan terorisme ini dilihat sebagai reaksi atas modernisasi, bahkan
aksi-aksi terorisme tersebut juga didukung dengan penemuan berbagai senjata dan
bom yang dihasilkan dari perkembangan ilmu pengetahuan modern dalam hal ini
ialah teknologi.
Trigg melihat bahwa
segala bentuk krisis seperti itu hanya dapat diatasi dengan bantuan kekuatan
agama. Secara khusus terkait dengan masalah instrumentalisasi atau
objektifikasi terhadap manusia oleh perkembangan ilmu pengetahuan, agama bagi
Trigg hadir sebagai kekuatan yang memberikan legitimasi bahwa manusia itu ialah
mahluk bermartabat yang diciptakan Tuhan.
Melalui agama, segala bentuk tindakan kesewenangan manusia terhadap
manusia lain dapat diatasi, sebab agama memandang bahwa manusia ialah mahluk
yang setara dan sederajat yang tidak dapat direduksikan sebagai objek belaka.
Kontribusi
lain dari pemikiran Trigg ialah bahwa ia memberikan suatu titik temu antara
otonomi individu sebagaimana diagungkan dalam liberalisme dengan peran budaya
(agama) yang melahirkan individu seperti dipikirkan dalam komunitarianisme.
Pada satu sisi, Trigg melihat bahwa individu merupakan hasil dari budaya.
Budaya bagi Trigg ialah sumber identitas seseorang, dan karena itu ia tidak
bisa melepaskan diri dari pengaruhnya. Akan tetapi, pada lain sisi, Trigg
melihat bahwa otonomi individu juga tetap mesti diperhatikan. Perhatian
terhadap otonomi individu ini sangat berguna agar seseorang tidak terbelenggu
oleh kekuatan budaya. Trigg sendiri menegaskan bahwa tidak semua budaya dapat
memberikan hal positif bagi perkembangan individu, karena itu individu berhak
untuk menilai dan mengkritisi segala bentuk budaya yang merusak dan membatasi
aktualisasi dirinya secara optimal menjadi manusia yang bermartabat. Pandangan
ini memang sangat penting secara khusus berhadap dengan berbagai macam fakta
bahwa seringkali agama justru dengan memakai dalil-dalil sakralnya membelenggu
individu. Banyak fakta membuktikan bahwa agama tidak jarang melahirkan
diskriminasi terhadap para pemeluknya.
Terlepas dari berbagai
sisi positif tersebut, penulis sendiri melihat bahwa tuntutan agar agama mesti
dilibatkan dalam ruang publik sebagaimana didukung secara argumentatif oleh
Trigg tetap perlu dikritisi. Agama sebagai salah satu aspek kekuatan
konstruktif bagi kebermaknaan diri dan peradaban umat manusia memang patut diperhatikan
secara maksimal. Akan tetapi, kita melihat fakta bahwa kebangkitan agama dalam
ruang publik justru lebih banyak menampilkan hal-hal destruktif. Misalnya, Komaruddin
Hidayat (2017) menunjukkan ironi kebangkitan agama ini hampir terjadi di semua
negara. Ia menyebut hal itu seperti terlihat dalam aksi kelompok-kelompok militan
di Indonesia yang tidak ragu-ragu menutup dan merusak rumah-rumah ibadah agama
lain, Gush Emunim di Israel yang menghalalkan kekerasan demi mewujudkan konsep bible tentang Tanah Israel, Bharatiya Janata Party dan Vishwa Hindu Parishad yang
memperjuangkan India Hindu secara militant. Selain itu, contoh lain juga ialah
Front Sangha Bersatu (partai militan Budha) di Sri Lanka yang menolak berdamai
dengan Hindu tamil, serta kelompok-kelompok fundamentalis Kristen di Amerika
yang membenarkan dukungan Amerika terhadap Israel dalam penggunaan kekerasan
terhadap anak-anak Palestina.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa kebangkitan agama dalam ruang publik justru
lebih didominasi oleh agama berwajah destruktif. Trigg sendiri memang telah
memberikan resep normatif bahwa kebebasan agama dalam panggung publik tetap
memiliki batasan, yakni pada dimensi kemanusiaan. Ia mengatakan, segala bentuk
praktik atas nama agama yang bersifat intoleran serta merusak nilai kemanusian
harus ditolak untuk masuk dalam ruang publik. Akan tetapi, pandangan tersebut
lebih sebagai perintah normatif dari sisi pengamat. Kebangkitan agama justru sering
menampilkan sikap arogansi umat beragama terhadap kelompok lain. Gerakan
kebangkitan agama di seluruh dunia
tampaknya tidak dapat melepaskan diri dari kepentingan kelompok masing-masing
sambil menistakan yang lain.
Kondisi seperti ini
tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah hubungan antar-agama. Perang Salib
antara Kristen dan Islam misalnya, jelas masih membekas di antara kedua
komunitas agama dan mempengaruhi hubungan kedua agama tersebut sepanjang
sejarah hingga dewasa ini. Dengan menyebut contoh pengusiran orang-orang Muslim
dan Yahudi di Spanyol oleh mayoritas Kristen dan perlakuan mayoritas Muslim di
berbagai negara Islam terhadap minoritas non-Muslim, Rober Spencer (2000)
menyimpulkan bahwa dalam setiap periode sejarah ternyata baik Kristen maupun
Muslim gagal untuk hidup sesuai dengan cita-cita ideal agama mereka.
Selain itu, Trigg
sendiri juga tidak memikirkan tentang bahaya instrumentalisasi agama untuk
kepentingan politik. Secara faktual, pengakuan agama untuk terlibat dalam
diskusi publik justru telah memicu konflik politis di berbagai negara
demokratis di dunia saat ini. Contoh konkrit dari hal ini ialah seperti terjadi
dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu.
Saat itu, agama diperlakukan sebagai sarana untuk mencapai kepentingan politik.
Akibatnya, sebagai masyarakat heterogen, bangsa Indonesia umumnya dan Jakarta
khususnya mengalami turbulensi besar.
5.3
Relevansi Pemikiran
Pemikiran
Trigg tentu sangat relevan untuk dipakai dalam kehidupan bernegara saat ini.
Penulis sendiri memberikan beberapa relevansi pemikiran Trigg untuk konteks
Indonesia sebagai berikut. Pertama,
dorongan Trigg agar agama diakui dalam kehidupan publik sangat membantu kita
untuk melawan dominasi fundamentalisme pasar di Indonesia yang sangat anarkis.
Pasca tumbangnya rezim Orde Baru yang dinahkodai oleh Soeharto, liberalisme
pasar diambil sebagai preferensi pemerintah Indonesia. Krisis Ekonomi yang
menerpa Indonesia menjelang runtuhnya rezim Soeharto membuat pasar bebas
dipilih sebagai jalan keluar sejak awal reformasi. Pemerintah-pemerintah era
reformasi menerima banyak pengaruh dari organisasi internasional, seperti World
Bank dan USAID, yang mendesak program-program, seperti good governance, desentralisasi administratif dan juga penguatan
masyarakat warga. Semua ini dimaksudkan agar Indonesia segera pulih dari krisis
lewat kebijakan-kebijakan yang ramah terhadap pasar. Pasar lalu menjadi
preferensi pemerintah. Namun tanpa sadar, preferensi pasar ini praktis
menyingkirkan preferensi-preferensi lain dalam demokrasi Indonesia saat ini.
Kekuatan
pasar ini telah mencengkram mental warga Indonesia dan mengasuh mereka menjadi homo economicus semata. Persis dalam
kondisi seperti ini, setiap warga negara memiliki mental untuk saling
berkompetisi demi mencapai kepentingan pribadi yang sangat individualistis.
Kondisi seperti ini pada akhirnya mengikis dan menghancurkan nilai-nilai
demokrasi seperti solidaritas yang diperlukan setiap warga negara untuk
membangun kepentingan dan nilai bersama. Dalam situasi seperti ini, penulis
melihat bahwa pandangan Trigg untuk mengakui agama secara konstitusional dalam
kehidupan publik menjadi sangat penting. Peran agama sebagai sebuah komunitas
bersama yang memiliki ikatan emosional sangat kuat dapat dijadikan sebagai
kekuatan untuk melawan kekuatan pasar tersebut. Memang agama di Indonesia sudah
lama diakui dalam kehidupan publik, tetapi dalam kondisi faktual, agama juga
sering didikte oleh kepentingan pasar untuk tujuan pragmatis. Akan tetapi,
terlepas dari tantangan tersebut, penulis yakin, sejauh agama tetap diberi
ruang untuk bertumbuh dalam kehidupan
publik, negara Indonesia tetap dapat diselamatkan dari bahaya tirani pasar.
Ketiga,
tuntutan agar setiap agama hidup toleran di tengah fakta keberagaman. Persoalan
ini menjadi sangat penting untuk konteks masyarakat Indonesia yang sangat
majemuk. Penulis melihat bahwa fakta keberagaman agama di Indonesia sejauh ini
masih sangat problematis di mana arogansi mayoritas masih sangat kental dan
terus bertindak agresif dan intoleran terhadap kelompok minoritas. Hal tersebut
juga semakin diperparah dengan sikap negara yang kurang tegas untuk menjaga
keharmonisan bangsa ini, bahkan berbagai macam kebijakan negara cenderung
diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Hasil penelitian lapangan peserta
Sekolah Pengelolahan Keragaman (SPK), Pascasarjana Universitas Gadjah Mada pada
Mei 2015 menunjukkan bahwa dalam 15 tahun terakhir ini masalah toleransi
beragama di Indonesia masih sangat jauh dari harapan. Hal tersebut terbukti
dalam masalah sulitnya Gereja Bethel Indonesia (GBI) untuk membangun rumah
ibadah di Kota Banda Aceh dan Pasir Mas Banjarmasin. Hal itu terjadi karena
terdapat gerakan organisasi Islam yang berupaya menegakkan Syariat Islam,
termasuk mencegah Kristenisasi yang mereka percayai sebagai bagian dari tujuan
pembangunan Gereja. Beberapa persoalan lain juga dapat dilihat dalam kasus
Syiah Sampang yang hingga kini belum diselesaikan, penyerangan komunitas
Ahmmadiyah, penggusuran Gereja secara paksa, kutukan sepihak kelompok Lia
Aminuddin, penusukan dan pemukulan kelompok HKBP Pondok Indah Timur, dsb.
Kita juga masih ingat dengan fatwa kontoversial Majelis Ulama Indonesia (MUI):
“mengharamkan doa bersama yang dipimpin non-muslim, perkawinan beda agama,
paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama.”
Deretan persoalan
tersebut tentu saja dikutuk oleh Trigg. Kebebasan beragama bagi Trigg tetap
harus berada dalam jalur kebenaran, yakni menghargai Hak Asasi Manusia seperti
kebebasan beragama. Dalam hal ini, pada satu sisi, setiap orang diberikan
kebebasan untuk menjalankan kehidupan beragamanya, tetapi di sisi lain mereka
juga memiliki kewajiban untuk menghargai hak orang lain untuk menjalankan
praktik keagamaannya sesuai dengan keyakinannya. Dalam konteks masyarakat
pluralis, Trigg menegaskan setiap orang mesti mampu menjamin sikap toleransi.
Prinsip toleransi ini bagi Trigg mesti dibangun di atas kesadaran setiap warga
negara bahwa Tuhan adalah realitas yang tidak dapat terselami sepenuhnya oleh
pikiran manusia. Karena itu segala bentuk praktik agama yang mengklaim diri
paling benar sehingga berhak untuk menilai kebenaran agama lain juga harus
ditolak. Persoalan seperti ini juga bagi Trigg harus mendapatkan perhatian
serius dari negara. Negara, demikian Trigg menjelaskan, harus mampu menciptakan
hukum yang kondusif di mana fakta keberagaman dapat bertumbuh dan berkembang
dengan baik di dalamnya. Negara bagi Trigg memiliki tanggung jawab penuh untuk
menciptakan suatu tatanan di mana semua agama dapat hidup secara adil serta
hak-hak setiap warga negara dapat dilindungi secara legal konstitusional.
Tuntutan Trigg agar
negara dapat menjamin situasi kondusif bagi warga negara secara khusus terkait
dengan toleransi antar umat beragama tentu mengandaikan bahwa negara tersebut
harus kuat, dalam arti tidak mudah didikte dan tunduk pada kepentingan dan
kekuatan mayoritas. Kondisi faktual di Indonesia memang masih memerlihatkan
bahwa pemerintah masih lemah mengatasi berbagai aksi destruktif dan intoleran
dari mayoritas religius. Padahal, demikian kata Hardiman, semua negara maju
tahu bahwa demokrasi tidak dapat dijalankan oleh sebuah pemerintahan yang
lembek terhadap para musuh toleransi.
Dalam hal ini, kalau berkomitmen untuk menegakkan demokrasi yang sesungguhnya,
pemerintah Indonesia harus melepaskan diri dari sikap lembeknya menghadapi
kelompok-kelompok intoleran. Setiap warga negara yang tidak toleran terhadap
warga negara lain tidak boleh ditoleransi oleh negara. Negara harus bertindak
tegas terhadap kelompok-kelompok yang selalu bersikap militan terhadap kelompok
lain, sebab hal tersebut merupakan skandal terhadap demokrasi.*
Daftar
Pustaka
Sumber
Primer:
Trigg, Roger. Religion in Public Life, Must
Faith be Privatized?. Oxford
University Press: 2007
Sumber
Sekunder:
Ahnaf, Mohammad Iqbal, (Penyunting). Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia: Kontestasi dan Koeksistensi.
Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta: 2015
Andang, Al. Agama Yang Bepijak dan Berpihak.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 1998
Audi, R. Religious Commitment and Secular Reason. University Press.
Cambridge: 2000
Berger, Peter L. The many Altars of Modernity: Toward a Paradigm for Religion in an
Pluralist Age. Walter de Gruyter. Boston/ Berlin: 2014
Bosetti, Giancarlo (ed). Iman melawan Nalar: Perdebatan Joseph
Ratzinger melawan Habermas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 2009
Budi Hardiman, F. Dalam Moncong Oligarki: Skandal Demokrasi di Indonesia. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta: 2013
Budi Hardiman, F. Dalam Moncong Oligarki: Skandal Demokrasi di Indonesia. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta: 2013
Budi Hardiman, F. Demokrasi Deliberatif. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 2009
Budi Hardiman, F. Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia.
Jakarta: 2004
Budi Hardiman, F. Hak-Hak Asasi Manusia, Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta: 2011
Cooke, M. Salvaging
and Secularizing the Semantic Conten of Religion: The Limitations of Habermas’s
Postmetaphysical Proposal. International Journal for Philosophy of Religion (60, 2006)
Ferrari, S., and Durham, W.C., Jr. (ed).
Law and Religion in Post-Communist
Europe. Peeters. Leuven: 2003
Ferrari. Church and State in Slovakia, Peeters. Leuven: 2003
Habermas, Jürgen et.al. (ed.). Hermeneutik und Ideologiekritik. Suhrkamp
Verlag. Frankfurt a.M: 1971
Habermas, Jürgen, Religious
Toleration: The Pacemaker for Cultural Rights, Philosophy: 2004
Hidayat, Komaruddin. “Kebangkitan Agama
di Era Post-Modern”, dalam Abd Hakim
dan Yudi Latif (eds), Bayang-bayang
Fanatisme: Esai-esai Mengenang Nurcholis Madjid. Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan. Jakarta: 2007
Ingram, David, Habermas. Introduction and Analysis, Cornell University Press,
Ithaca: 2010
Ingram, David. Habermas. Introduction and Analysis. Cornell University Press.
Ithaca: 2010
Kleden dan Sunarko (ed.,). Dialektika Sekularisasi: Diskusi
Habermas-Ratzinger dan Tanggapan. Penerbit Ledalero dan Lamalera. Maumere:
2010
Kymlika, Will. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. Oxford
Political Theory. Ofxord & New York: Clarendon Press & Oxford
University Press: 1995
Leahy, Louis. Sains dan Agama dalam Konteks Zaman Ini. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta: 1997
Locke, J. Political Essays. Ed. Mark Goldi. Cambridge University Press.
Cambridge: 1997
Locke, J. The Reasonableness of Christianity. Thoemmes Press. Bristol: 1997
Locke, J. Two Treatises of Government, ed. P. Laslett. Cambridge University
Press. Cambridge: 1988
Lubis, Akhyar Yusuf. Posmodernisme – Teori dan Metode. Rajawali
Pers. Jakarta: 2014.
Lyotard, J. F. The Post Modern Condition: A Report on Knowledge. Manchester
University. Manchester: 1989
Magnis-Suseno, Franz. Agama, Keterbukaan dan Demokrasi: Harapan
dan Tantangan. Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina.
Jakarta: 2015
Magnis-Suseno, Franz. Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: Bunga
Rampai Etika Politik Aktual. KOMPAS. Jakarta: 2015
Menoh, Gusti A. B. Agama dalam Ruang Publik, Hubungan antara Agama dan Negara dalam
Masyarakat Postsekular Menurut Jürgen Habermas. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta: 2015
Parekh, Bhikhu. Rethinking Multiculturalisme: Cultural Diversity and Political Theory. Palgrave
London: 2000
Rorty, R and Vattimo, G. The Future of Religion. Columbia
University Press. New York: 2005
Rorty, R. Philosophy and Social Hope. Penguin. Harmondsworh: 1999
Spencer, Robert. Islam Unveiled: Disturbing Questions about the World’s Fastest-Growing
Fait. Encounter Books. San Fransisco: 2000
Sugiharto, Bambang. Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta:
1996
Taliaferro and Teply (eds). Cambridge Platonist Spirituality. Paulist
Press. New York: 2004
TEMPO. Gonjang-Ganjing Fatwa Ulama, dalam Laporan Utama TEMPO, Edisi 7-14
Agustus 2005
Vattimo, G. Nihilism and Emancipation. Columbia University Press. New York:
2004