This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 21 Maret 2018

Ketika Immanuel Kant Bicara Soal Pilkada Serentak 2018

Immanuel Kant
Immanuel Kant
Sebuah catatan singkat pengantar tidur
Immanuel Kant seorang filsuf besar zaman modern pernah menulis begini, "orang mengenyangkan nafsunya tidak lewat cinta tetapi lewat perkawinan". Ungkapan ini memang pada dirinya menyingkapkan hal privat, tetapi juga dapat mengguncang hal-hal publik. Seruan ini dapat dibilang sebagai salah satu bentuk kejujuran melawan segala bentuk kebohongan terhadap perkawinan.

Kalau kita merenungkan kalimat ini, ada banyak ketersingkapan kebenaran yang dapat kita ambil darinya. Itu semua tergantung dari cara kita menafsir dan mengontekstualisasikannya.

Kalimat itu sendiri dapat dirumuskan kembali seperti ini, "perkawinan merupakan cara paling masuk akal untuk melampiaskan gairah seks manusia." Lewat perkawinan, nafsu seks yang pada dirinya sendiri liar dan buas dirasionalisasikan sehingga tidak bentrok dengan tatanan moral dan dapat diterima sebagai hal yang wajar.

Ungkapan ini tentu tidak bermaksud untuk menilai suatu perkawinan secara kasar, apalagi kalau sampai terjadi klaim kebenaran bahwa semua bentuk perkawinan memiliki arti demikian. Sebab, cara berpikir seperti ini justru hanya mereduksikan makna perkawinan itu sendiri, dan dengan sendirinya memahami 'peristiwa' perkawinan itu secara dangkal.

Saya memakai kalimat Kant ini tentu tidak bermaksud untuk menilai soal perkawinan itu. Pernyataan itu dipakai hanya sebagai sebuah analogi. Dalam ilmu logika, analogi artinya satu suara tetapi di satu pihak mempunyai arti yang sama dan di pihak lain memiliki arti yang berbeda.

Dalam konteks dewasa ini, pembacaan Kant atas perkawinan itu memiliki banyak relevansinya. Salah satunya dapat digunakan untuk menyingkapkan selubung fenomena kehidupan politis menjelang pilkada serentak 2018 nanti.

Pilkada Serentak dan 'Perkawinan Kant'

Saat ini, kita sudah masuk 2018. Tahun ini oleh banyak pihak dinilai sebagai tahun politik untuk Indonesia. Pasalnya, di tahun ini, akan ada banyak perhelatan politik di berbagai daerah di negara kita ini.

Presiden Jokowi juga telah menyebutkan tahun ini sebagai tahun politik. Menurut Jokowi, dalam tahun politik ini, masyarakat Indonesia akan menghadapi situasi yang luar biasa hebat, bahkan akan menghadapi sebuah turbulensi politik yang sangat dasyat.

Prediksi itu tentu memiliki dasar yang kuat. Kita tahu, banyak daerah di Indonesia akan melangsungkan Pilkada Serentak di tahun ini. Berdasarkan banyak survei, Piilkada Serentak yang akan segera berlangsung di banyak daerah di Indonesia akan sangat rentan terhadap desakan-desakan emosional yang dapat memecah belah persatuan bangsa.

Tahun ini, panggung politik kita di Indonesia akan mempertunjukkan berbagai macam hal. Silang sengkarut perbedaan pendapat akan dirasakan dimana-mana. Pertarungan identitas primordial akan menguat seperti meletusnya serangan antar kelompok dengan memakai kode semiotis 'kami' dan 'mereka".

Apabila tidak diwaspadai, semua itu akan mengantarkan bangsa Indonesia kepada kebiadaban, dan bukan tidak mungkin integrasi bangsa Indonesia sebagai suatu kumpulan entitas yang beragam akan hancur berantakan.

Lalu, apa sebenarnya yang mengharuskan adegan seperti itu akan terjadi di atas panggung kehidupan bersama kita? Kenapa setiap kali ada kontestasi politik seperti pilkada, selalu ada situasi seperti itu?

Pertanyaan ini sebenarnya telah terjawab dalam kalimat Kant di atas. Kalau Kant kita ajukan pertanyaan itu, ia akan menjawab begini, "sebenarnya di balik adegan seperti itu, ada manusia-manusia egois yang mencari kepentingan diri." Itulah gambaran manusia yang direfleksikan Kant.

Berbagai macam pertarungan menjelang diadakannya konstentasi pilkada seperti meletusnya isu politik identitas - Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA) - lahir dari tipe manusia Kantian ini. Ada sesuatu yang mereka cari di balik pertarungan ini, yakni kepentingan diri seperti kekuasaan, uang, harga diri.

Manusia-manusia seperti ini biasanya memakai berbagai cara untuk mencapai kepuasan dan nafsu egoistiknya itu, termasuk identitas seperti agama, suku, ras, antargolongan (SARA).

Identitas ini mereka pakai untuk merasionalisasikan kepentingan selangkangan mereka yang tidak jarang sangat anarkis. Agama sebagai sebuah kekuatan yang 'terlihat suci' dipakai sebagai bungkusan dan atau sarana untuk memuluskan nafsu mereka akan kekuasaan.

Lupakan Kant sebentar, kalau meminjam analisis Machiavelli, manusia seperti ini hanya memikirkan politik (pilkada) sebagai sebuah kesempatan dan ruang pertarungan strategi untuk merebut dan memertahankan kekuasaan. Bagi mereka, tujuan dari politik ialah kekuasaan dan bukan kepentingan umum.

Adegan politik seperti ini akan sangat jarang menghadirkan nilai-nilai moral. Sedikit lebih fair, mereka mungkin memiliki nilai moral tertentu. Tetapi moralitas yang mereka pakai itu hanya berlaku sejauh sebagai sebuah instrumen untuk mencapai kepentingan pribadinya. Setelah hal itu dicapainya, mereka akan segera meninggalkan nilai-nilai itu dan tunduk di bawah hasrat-hasrat privat.

Manusia seperti ini tentu sudah sangat banyak muncul dalam panggung publik kita saat ini yang akan mengadakan pesta demokrasi, yakni Pilkada Serentak. Dalam situasi seperti ini, panggung politik akan diwarnai hal-hal ideal, seperti seruan keadilan, kemakmuran, kemaslahatan umum, keberpihakan kepada rakyat kecil, janji penghapusan kemiskinan.

Akan tetapi, lagi-lagi, deretan hal seperti itu hanya merupakan instrumen belaka. Mereka menjadikan hal ideal tersebut hanya untuk melegitimasi kepentingan pribadi mereka. Jadi waspadalah!!!

Januari 2017
Yones Hambur
Share:

Jumat, 09 Maret 2018

Menggugat Klaim Universalitas Hak Asasi Manusia Bersama Charles Taylor

Ilustrasi Hak Asasi Manusia
Ilustrasi Hak Asasi Manusia

Oleh: Yones Hambur
Sebuah pembacaan atas pemikiran Charles Taylor dalam “Text-A World Consensus on Human Rights?

Klaim universalitas Hak Asasi Manusia telah menimbulkan berbagai respon kritis dari berbagai kalangan secara khusus dari berbagai pemikir Eropa post-modern. Mereka menolak bahwa di balik konsensus universal Hak Asasi Manusia sebagaimana dideklarasikan PBB pada 10 Desember 1948 terdapat sebuah nilai bersama dan berlaku dalam konteks ruang dan waktu apapun dan dimanapun.

Respon kritis para pemikir tersebut didasarkan pada sebuah refleksi bahwa sebuah klaim universal terhadap suatu nilai sama sekali bertentangan dengan fakta pluralitas kultural di berbagai belahan dunia ini. 

Mereka melihat, dalam dunia faktual yang semakin kompleks ini, setiap budaya di atas muka bumi ini masing-masing memiliki variasi cara pandangan terhadap dunia. Ada berbagai macam good life di antara setiap budaya tersebut. Karena itu, klaim universal terhadap sebuah nilai sama sekali tidak relevan.

Kesadaran tersebut kemudian berpengaruh terhadap variasi pandangan antropologis filosofis. Mereka beranggapan bahwa variasi kultural dan pandangan terhadap good life juga secara implisit bahkan secara eksplisit berpengaruh terhadap macam-macam pandangan tentang manusia.

Keyakinan ini kemudian membuka cakrawala baru bahwa sangat tidak mungkin membicarakan Hak Asasi Manusia hanya dari satu perspektif budaya semata. Manusia sebagai suatu mahluk yang kompleks yang lahir dalam konteks kultural yang variatif sama sekali tidak dapat dilihat dari salah satu nilai saja.

Dengan demikian, berbicara tentang Hak Asasi Manusia juga mesti melihat dan mempertimbangan variasi pandangan akan manusia tersebut. Karena diskusi filosofis terkait Hak Asasi Manusia akan selalu berhadapan dengan persoalan mendasar tentang Siapakah Manusia(?).

Tulisan sederhana di hadapan anda ini merupakan sebuah hasil eksplorasi gagasan seorang relativis bernama Charles Taylor dalam teks berjudul “Text-A World Consensus on Human Rights”. Dalam teks tersebut, Taylor menggarisbawahi, memproblematisir, mengritisi, serta menggugat klaim universal nilai Hak Asasi Manusia yang dideklarasikan PBB tersebut.

Taylor berpandangan, ada hal yang cacat dari klaim seperti itu, karena nilai yang termuat dalam konsensus tersebut dikonstruksikan dan merupakan produk dari pemikiran atau tradisi Barat, dalam hal ini ialah dari tradisi liberalisme. 

Legitimasi sebagai Sebuah Problem

Taylor mengawali gugatannya dengan mempersoalkan tentang legitimasi dari konsensus internasional Hak Asasi Manusia. Konsensus itu sendiri, menurut Taylor dapat dipahami dengan memakai pengertian Jhon Rawls yang termuat dalam karya terkenalnya, yakni “Liberalisme Politik”. 

Dalam karya itu, Rawls mengartikan konsensus sebagai “overlapping consensus”, yakni adanya berbagai kelompok yang berbeda, negara, komunitas religius, peradaban, dengan berbagai macam perbedaan pandangan fundamentalnya masing-masing mengenai teologi, metafisika, kodrat manusia, dan sebagainya, akan mencapai kesepakatan terkait norma-norma tertentu tentang prilaku manusia. 

Menurut Taylor, hal ini berarti, setiap kebudayaan yang berbeda dengan caranya masing-masing yang sesuai dengan latar belakang mereka masing-masing akan memberikan dasar legitimasi terkait dengan suatu nilai yang akan dijadikan pegangan bersama.

Konsensus seperti itu bagi Taylor patut dikritisi. Ia mengatakan, apakah konsensus seperti itu mungkin terjadi? Pertanyaan ini diajukan Taylor dengan pertimbangan fakta bahwa dalam kenyataannya ada bentrokan pandangan hidup dalam setiap kebudayaan di atas muka bumi ini. 

Taylor sendiri dengan sikap optimisnya memang meyakini bahwa konsensus itu dapat terjadi. Akan tetapi, menurut Taylor, ada suatu persoalan utama untuk mencapai konsensus itu, yakni ‘cara untuk mencapainya’. 

Selama ini, kata Taylor, ada hambatan besar untuk mencapai suatu konsensus universal seperti itu. Hal itu dapat ditelusuri dalam legitimasi dari konsensus itu yang berakar pada nilai-nilai Barat yang justru seringkali berseberangan dengan nilai-nilai non-Barat.

Menurut Taylor, konsensus Hak Asasi memiliki asumsi antropologis pada tradisi Barat. Asumsi ini dapat dilihat dalam pandangan Jack Donnelly yang berbicara tentang ‘martabat manusia’. Donnelly mengklaim bahwa konsep martabat manusia ini merupakan suatu nilai universal yang berlaku dalam setiap kebudayaan. 

Konsep ini kemudian mendapat kritikan dari Yasuaki Onuna. Ia mengatakan, pandangan ini telah menjadi istilah favorit dalam gagasan tentang hak asasi manusia. Dalam arti, hak asasi manusia yang dijadikan sebagai nilai universal memiliki dasar filosofis antropologis pada pandangan tentang ‘martabat manusia’ ini. 

Onuna berpendapat bahwa martabat manusia itu bukan merupakan nilai yang universal. Baginya, nilai universal itu ialah pencarian spiritual dan kesejahteraan material. 

Untuk menegaskan hal ini, Taylor mengutip Lee Kuan Yew dan beberapa orang Asia yang kritis terhadap kebudayaan Barat ini. Bagi mereka, demikian kata Taylor, pandangan Barat lebih didominasi oleh tradisi liberalisme.

Dalam tradisi ini, otonomi individu sangat ditekankan serta mengabaikan peran komunitas. Mereka melihat pemikiran Barat diwarnai dengan sikap individualistik, fragmen, kontra terhadap masyarakat.

Tradisi Barat ini, menurut mereka, sangat memprioritaskan individu. Sementara dalam kebudayaan non-Barat seperti konfusianisme, peran individu direlatifkan dengan kekuatan komunitas.  Konfusianisme menekankan tentang peran masyarakat  dan jaringan manusia yang kompleks.

Belajar Dari Buddhisme

Klaim universalitas Hak Asasi Manusia telah disangsikan proses legitimasinya karena didominasi oleh pemikiran filosofis Barat. Gagasan tentang martabat manusia yang menjadi karakter utama Hak Asasi Manusia dinilai merupakan asumsi antropologi khas Barat dan bertentangan dengan kebudayaan non-Barat. 

Untuk mengatasi hal ini, Taylor mengangkat salah satu tradisi non-Barat yakni Buddhisme sebagai pembanding nilai Barat tersebut. Dalam hal ini, tradisi Buddhisme secara khusus dari aliran Theravada, bagi Taylor dapat dijadikan rujukan alternatif untuk menyempurnakan konsep Hak Asasi Manusia.

Menurut Taylor, ada banyak hal dalam tradisi Buddhisme yang dapat dijadikan rujukkan untuk mengembangakan konsep Hak Asasi Manusia. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai sumber spiritual untuk mendorong gerakan demokrasi. 

Kesadaran Taylor ini berangkat dari fakta reformasi di Thailand. Salah satu aliran utama dalam reformasi itu ialah gerakan untuk menyucikan agama Buddha seperti dari fokus pada ritual menuju pada perhatian akan kebaikan. Perhatian akan kebenaran ini dinilai telah diabaikan, karena penekanan yang berlebihan pada hal-hal ritualistis. 

Padahal, ini merupakan sebuah tindakan saleh yang merupakan tujuan awal pencerahan. Selain itu, dalam reformasi itu juga ada gerakan kembali kepada inti ajaran Buddhis yang asli, yakni ketidakberdayaan akan penderitaan, ilusi diri, tujuan nirvana.

Reformasi itu juga berusaha mengritik hal-hal yang mengandung takhayul, orang-orang yang mencari jimat, berkat para bikhu, dan sejenisnya. Mereka memisahkan antara ‘pencarian pencerahan’ dari ‘pencarian jasa melalui ritual’, bersikap kritis terhadap seluruh keyakinan metafisis (surga, neraka, dewa, setan). 

Aliran ini kemudian menghasilkan refleksi baru tentang Buddhisme yang kemudian menjadi  salah satu dasar dalam praktek kehidupan masyarakat demokratis.

Selain dari peristiwa reformasi itu, hal lain yang diangkat Taylor ialah tentang reformasi Phutthathat. Refomasi ini hendak menegasakan bahwa jalan menuju kesempurnaan tidak dapat dilepaskan dari keprihatinan terhadap semua mahluk. Prinsip ini didasarkan pada dua hal beriktut, yakni metta (cinta kasih) karuna (belas kasih).

Menurut pandangan ini, pembebasan diri selalu dalam partisipasi aktif dengan orang lain. Seseorang akan mendapatkan jati dirinya hanya dengan perjumpaan aktif dengan orang lain. Dalam hal ini, orang lain merupakan undangan bagi seseorang untuk dapat mencapai kepenuhan diri. 

Prinsip ini mengandung arti bahwa, seseorang tidak dapat bertumbuh tanpa kehadiran orang lain. Pandangan ini juga mendapat penegasan oleh Sabeh Chamarik. Dengan mengutip Sang Buddha, Chamarik mengatakan, “merawat diri berarti juga merawat orang lain. Merawat orang lain berarti juga mengurus diri sendiri.” 

Hal ini berarti, tanggung jawab kepada orang lain sama sekali tidak bertentangan dengan tanggung jawab kepada diri sendiri. Sikap tanggung jawab kepada orang lain secara bersamaan telah mengimplikasikan peduli terhadap diri sendiri. Taylor sendiri menegaskan bahwa gagasan tersebut mengarah pada ‘keadilan dan kesejahteraan sosial’. 

Pandangan di atas secara jelas berbeda dengan pandangan liberalisme Barat yang mengunggulkan otonomi individu. Mereka melihat kepentingan diri merupakan hal utama dari pada sosial. Konsekuensinya, terjadi pengabaian terhadap orang lain, bahkan secara ekstrim, kepentingan sosial diabaikan.

Phutthathat juga berbicara tentang ‘dhammamic socialism’, yakni sikap spriritual yang menekankan komitmen dan tanggung jawab yang tinggi pada kebenaran, pengorbanan diri dan pengabdian terhadap orang miskin dan tertindas. 

Dalam hal ini, tradisi Buddhis mendorong prinsip altruistik yang melihat orang lain sebagai yang utama. Orang lain dianggap mengatasi ego pribadi, dan seseorang didorong untuk selalu memberikan diri untuk melayani orang lain.

Pengikut reformisme Phutthathat adalah Sulak Sivaraksa dan Saneh Charmarik. Mereka adalah orang-orang yang sangat komitmen dengan demokrasi. Beberapa nilai yang mereka dorong ialah, perhatian pada persoalan lingkungan atau ekologis. 

Hal ini dilakukan dengan mendorong sikap anti konsumerisme. Mereka juga adalah orang-orang yang mengritik keras cara berpikir rasionalistik yang telah mendistorsikan hubungan antara manusia dengan alam. Cara berpikir ini dinilai sebagai akar krisis, karena cenderung melihat alam sebagai objek yang dapat dikuasai dan diekploitasi keberadaannya.

Selain itu, Taylor juga menjelaskan, dalam Buddhisme, individu mesti bertanggung jawab terhadap pencerahannya sendiri. Tanggung jawab ini diartikulasikan dengan sikap rispek terhadap kehidupan. Dalam hal ini, salah satu yang menjadi dokrin utama dari Buddhisme ialah pandangan tentang anti kekerasan. 

Taylor mengatakan, dewasa ini, pandangan ini telah menjadi suatu referensi yang menyeruhkan sikap hormat pada otonomi setiap orang dan menuntut untuk meminimalisir segala bentuk pemaksaan dalam setiap urusan manusia.

Berbagai sikap tersebut, bagi Taylor merupakan dasar utama demokrasi, karena Taylor melihat bahwa dalam Buddhisme terdapat agenda ‘kesejahteraan universal’. Lewat sikap tanggung jawab terhadap kehidupan dan prinsip anti kekerasan, fondasi demokrasi tersebut juga dapat memberikan dukungan yang kuat  terhadap Hak Asasi Manusia. 

Sikap ini juga mengimplikasikan tuntutan untuk meminimalisir segala bentuk paksaan dalam urusan manusia. Hal ini, bagi Taylor, membawa kehidupan jauh dari tatanan politik yang bersifat totaliter.

Penutup

Pada bagian di atas telah dipaparkan pandangan yang berisi gugatannya Taylor akan konsensus Hak Asasi Manusia. Ia mengatakan, klaim universal konsensus itu mesti dikritisi karena dasar legitimasinya didominasi oleh pandangan Barat, dalam hal ini ialah tentang martabat manusia. 

Taylor berpendapat bahwa sangat penting untuk memberikan penilaian terhadap konsensus HAM saat ini yang masih bermasalah karena pembenarannya memihak pada pandangan Barat dengan membandingkan dengan kebudayaan lain seperti Buddhisme .

Hal ini menurut Taylor sangat membantu untuk menciptakan suatu konsensus universal tentang Hak Asasi Manusia di masa depan yang pembenarannya betul-betul berangkat dari berbagai latar belakang kebudayaan dan karena itu dapat meminimalisir persoalan, dalam hal ini ialah pertentangan dengan kebudayaan lain. 

Taylor menegaskan bahwa dengan alternatif Buddhisme pada konsepsi HAM dapat mengatasi persoalan tentang gagasan Barat yang sangat menekankan individu (martabat manusia), penekanan pada kebebasannya.

Meskipun demikian, Taylor juga mengapresiasi terobosan yang dilakukan oleh Barat,  karena kesadaran Barat akan HAM merupakan suatu pencapaian sejarah yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya. 

Mereka secara prinsipil menawarkan kebebasan yang lebih besar untuk keamanan manusia dari bahaya kekerasan, perlakuan sewenang-wenang, maupun diskriminasi.

Yones Hambur 




Share:

Video Widget

Diberdayakan oleh Blogger.

Bonjour & Welcome

Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, Sebuah Penutup

Roger Trigg, Profesor Emeritus pada Oxford University BAB V PENUTUP  Oleh: Yones Hambur "Tulisan ini merupakan sebu...

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Top Stories

Video Of Day

Top Stories

Recent Posts

Unordered List

Theme Support

Sponsor

Flickr Images

Popular Posts

Popular

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support