Rabu, 11 Oktober 2017

Warta Kematian Nalar

Putra Manggarai


Ada satu ungkapan menarik dan menghentakan kesadaran kita di penghujung dunia modern, begini bunyinya, "tuhan sudah mati, kitalah para pembunuhnya." Ungkapan tersebut dikumandangkan oleh seorang filsuf soliter German, Frederick Nietzsche.

Dalam sejarah pemikiran manusia, kata-kata ini hendak menggambarkan situasi peradaban Barat waktu itu yang sedang berada di ambang krisis akibat berkembangnya cerita besar seperti menjalarnya berbagai pemikiran ideologis semisal komunisme. Cerita besar ideologis seperti itu memiliki dampak lanjut sampai pada lahirnya fasisme di Itali dan rezim otoriter rasistis Nazi di German di bawah tangan Adolf Hitler.

Lewat kata-kata tersebut, Nietzsche mengritik keras peradaban Barat yang dinilainya sebagai pemuja ide-ide besar yang baku sekaligus kaku, yang biasa dinamakan sebagai 'tuhan'. Bagi Nietzsche, yang disebutkan 'tuhan' ini merupakan asal-usul krisis dalam peradaban manusia. Itu membuat manusia menjadi tidak berkembang karena selalu tunduk dan taat pada kehendak ide besar yang disebut tuhan itu. 

Dalam sikap tunduk pada 'tuhan' itu manusia menjadi budak, dan kebebasannya digerogot habis-habisan. Hal ini kemudian mendorong Nietzsche mewartakan kematian 'tuhan' yang membelenggu jiwa manusia dalam kerangkeng kaku dan bakunya. Ia mewartakan kematian 'tuhan' dengan intensi agar manusia teremansipasi dari perbudakannya sendiri, sehingga dapat menjadi manusia-manusia kreatif yang secara terus menerus menciptakan kehidupan yang lebih berkualitas.

Kritik Nietzsche ini kemudian disambut baik oleh para pemikir setelahnya yang kemudian melahirkan suatu peradaban baru terlebih khusus bagi yang disebut dunia post-modern. Kata ini sendiri pun tidak jelas maksudnya.

Hal itu juga sangat mendukung perkembangan sebuah aliran besar dalam sejarah filsafat yaitu eksistensialisme, secara khusus dari Jean-Paul Sarte. Pengaruh Nietzsche pada Sarte dapat dilihat dari penolakannya terhadap apa yang disebut esensi. Bagi Sarte, "eksistensi itu mendahului esensi", dan karena itu terjadi penolakan terhadap 'tuhan'. Ada beberapa hal yang dapat diambil dari peradaban baru ini.

Pertama, soal penekanan pada kebebasan individu oleh kaum eksistensialis. Secara garis besar, kelompok ini menolak sebuah sistem. Mereka berpandangan bahwa kebebasan individu itu merupakan unsur penting demi pengaktualisasian dirinya. 

Bagi mereka sistem itu justru dapat membatasi bahkan membelenggu diri manusia dan tidak memungkinkan manusia dapat bertumbuh dan berkembang mewujudkan segala potensi yang dimilikinya. Sistem itu dapat berupa aturan-aturan yang mengikat dan mengatur diri manusia. Bagi kaum eksistensialis, manusia individual sendirilah yang mesti mengatur dirinya sesuai dengan gairah-gairah potensial yang ada di dalam dirinya.

Kedua, dalam dunia post modern sikap rispek terhadap pluralitas nilai dan pandangan hidup sangat ditekankan. Dalam konteks ini, segala cerita besar yang hendak menyeragamkan manusia dikritisi bahkan secara ekstrim dihancurkan. Yang tersisa adalah cerita-cerita fragmen. 

Mereka memang tidak menolak total terhadap cerita besar itu, tetapi cerita besar yang kebenarannya dinyatakan secara paksa itu sangat ditolak. Bagi mereka, kebenaran itu mesti diperoleh secara intersubjektif. Dalam situasi seperti ini, orang juga dituntut untuk menjunjung tinggi nilai toleransi. 
Segerombolan Manusia Pucat
Keadaan seperti itu tentu di satu sisi baik karena manusia sudah sadar bahwa apa yang terjadi seperti dalam dunia modern sebutkan sebagai 'cerita besar' tidak diterima begitu saja, apalagi secara paksaan. Cerita besar yang dipaksakan seperti itu dinilai telah mengangkangi kemanusiaan manusia, karena dengan penemuan patokan tunggal terhadap kebenaran, peradaban manusia justru jatuh pada totalitarianistis.

Tetapi, penolakan total terhadap patokan kebenaran juga justru membawa peradaban manusia itu ke ambang krisis, karena bagaimanapun juga, hidup manusia mesti ditopangi oleh 'sesuatu' yang dapat mengarahkan dan menentukan arah peradaban manusia itu secara benar. Meskipun dalam situasi seperti ini, kebenaran tetap diterima melalui proses intersubjektif, tetapi bukankah itu membutuhkan waktu yang cukup lama, dan orang akan dengan susah payah menantinya. 

Ketiadaan dari 'sesuatu' yang seharusnya menjadi rujukan norma prilaku 'universal' justru lebih berbahaya, sebab kalau apabila demikian, orang dapat melakukan apa saja sesuai dengan kepentingannya, bahkan mereka akan memakai dalih kebebasan untuk menghalalkan apapun yang dilakukannya.

Salah satu dampak dari cara berpikir seperti ini adalah bertumbuh suburnya sesuatu yang disebut sebagai relativisme. Pandangan ini menolak keras nilai universal. Bagi kaum relativis, kebenaran itu adalah milik saya, dan saya dapat menentukan apapun terhadap kebenaran. Dengan kata lain, menurut mereka, tidak ada kebenaran objektif. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kehidupan, karena menyebabkan segala sesuatu berkembang secara bebas. Hidup aktual kita sudah semakin menunjukkan hal seperti itu, termasuk kita di Indonesia.

Saat ini kita sedang masuk dalam ruang di mana setiap orang dapat berselancar secara bebas untuk menafsirkan kebenaran. Segala otoritas yang memberikan panilaian ditolak habis-habisan, patokan nilai universal disepak keluar dari kehidupan. Singkatnya era kita saat ini telah disulap menjadi tempat bertumbuh suburnya relativisme yang sudah lama menjadi momok menakutkan dalam sejarah peradaban umat manusia. Efek itu kemudian menjalar ke kehidupan kita di Indonesia saat ini.

Kita ambil contoh tentang fenomena yang mendera sejarah Indonesia sekarang. Pasca kejatuhan Orde Baru di bawah tangan kediktatoran Soeharto, setiap orang dengan bebas berselancar dengan seenaknya dalam ruang publik. Kebebasan yang dikekang lama selama 32 tahun di tangan rezim Orde Baru, kini menari puas di atas panggung reformasi yang berkonsentrasi pada demokrasi. 

Cita-cita reformasi yang hendak mengangkat kederajatan manusia dari belenggu cerita besar Orde Baru ternyata telah melahirkan adegan-adegan yang justru mencabik gerak sejarah itu menuju kebahagiaan bersama. Atas nama kebebasan semua orang berhak melakukan apa saja, seperti berseliwerannya berita bohong atau palsu - HOAKS

Penarikan kebebasan dari tangan kediktatoran rezim Soeharto ternyata menceritakan pembebasan manusia-manusia yang minus nalar kritis yang ternyata belum mampu menyelami dan memahami makna kebebasan itu. Padahal, sikap rispek terhadap kebebasan juga mengandaikan mesti berkembangnya nalar kritis setiap manusia. 

Kebebasan selalu mengharapkan kemampuan nalar untuk menatap dan mencari kebenaran yang tidak terikat pada suatu kelompok tertentu semata melainkan mengakumulasi setiap intensi dan cita-cita dasar setiap manusia seperti nilai keadilan, kebaikan, kedamaian. 

Saat ini memang dalam panggung kehidupan bersama kita telah sedang menunjukkan adegan kebebasan yang tidak dikontrol di bawah terang nalar. Kita sedang menyaksikan bahwa dunia kita bersama sedang ditimpah duka atas kematian nalar sehat. 

Kematian nalar sehat itu kemudian menyulap panggung peradaban menjadi tempat kepicikan meraja, kebencian meluap, caci makian mengakar, nafsu berkuasa membengkak. Semua itu disokong di atas dalih kebebasan individu. 

Idea tentang pentingnya kebebasan yang diperhatikan dengan penuh kekuatan di era reformasi ini ternyata telah membawa malapetaka besar bagi peradaban kita di Indonesia saat ini. Kita tidak lagi dapat memastikan tentang apa itu kebenaran, siapa yang berhak mengklaim kebenaran, siapa yang mesti didengarkan karena kebenaran. 

Intinya saat ini kita sedang dirundung oleh sebuah gelombang besar di mana semua orang dapat mengatakan kebenaran yang hanya sesuai dengan selerah-selerah individual dan gairah-gairah selangkangannya. 

Dalam era seperti ini kebenaran tidak lagi diuji dan diperoleh secara intersubjektif. Lebih parahnya bahwa kebenaran diklaim sebagai milik mayoritas massa. Dikatakan massa karena mereka tunduk di bawah kekuatan emosional yang hanya mampu berteriak mengandalkan kekuatan jumlah dibandingkan dengan dasar argumentatif yang jelas dan rasional. 

Orang-orang seperti ini sudah pasti tidak akan memikirkan tentang kepentingan orang lain. Dalam tangan mereka kebenaran dianggap secara hitam-putih, sehingga tidak heran mereka menciptakan kategori 'kami' dan 'mereka' yang melahirkan kehancuran keutuhan hidup bersama. 

Ketika masuk dalam situasi seperti ini sangat mustahil segala cita-cita baik individual maupun kolektif terwujud, pembangunan sudah tentu tidak akan berjalan karena kita sibuk dengan urusan-urusan emosional. Kalau begitu masihkah kita berharap tentang keadilan dan kebaikan apalagi kebahagiaan untuk kehidupan kita?

Kalau Nietzsche mengumandangkan kematian tuhan, saat ini sepatutnya kita mewartakan kematian nalar. Siapakah yang membunuhnya? Tentu gairah-gairah selangkangan kita, tentang keberpihakan kita pada egoisme diri kita!
"Mari kita melayat kematian nalar itu, siapa tahu dia akan bangkit dengan kehadiran kita!"
...
Yones Hambur
Ibu Kota, 2017!
Coretan dalam Secangkir Kopi

Share:
Lokasi: Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Video Widget

Diberdayakan oleh Blogger.

Bonjour & Welcome

Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, Sebuah Penutup

Roger Trigg, Profesor Emeritus pada Oxford University BAB V PENUTUP  Oleh: Yones Hambur "Tulisan ini merupakan sebu...

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Top Stories

Video Of Day

Top Stories

Recent Posts

Unordered List

Theme Support

Sponsor

Flickr Images

Popular Posts

Popular

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support