This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 08 Oktober 2018

Menghadapi Bencana dengan Terlibat di Sisi Korban

Mother Theresa - ist
Beberapa hari ini, menyusul terjadinya gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggola yang memakan banyak korban jiwa, dinding facebook saya dibanjiri dengan komentar para netizen soal pernyataan FPI yang menyebut bencana di dua kota itu ialah sebuah hukuman Allah atas rezim Jokowi-JK.

Banyak sekali komentar yang disampaikan para netizen atas sikap FPI tersebut. Ada yang menyebut bahwa ungkapan FPI itu merupakan suatu ucapan yang paling biadap dan sama sekali tidak berprikemanusiaan.

Mereka kecewa dengan ucapan FPI itu. Alih-alih menaruh duka mendalam bagi korban, FPI justru sibuk memanfaatkan korban untuk kepentingan ideologis dan politis mereka.

Mereka bukannya mendoakan korban atau menyalurkan bantuan bagi korban, justru sibuk memperalat bencana dan korban untuk menghantam lawan ideologis sekaligus politis mereka, yakni rezim Jokowi-JK dengan rancangan dalil-dalil sakral dari ruang privat agama mereka.

Secara pribadi, saya memang sepakat dengan sikap para netizen di atas terhadap pernyataan yang dikeluarkan oleh FPI tersebut. Sebab, akal sehat kita tentu akan dengan mudah membantah bahwa bencana yang mengguncang kedua daerah tersebut sama sekali tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan rezim Jokowi-JK.

Bencana pada dirinya sendiri ialah sebuah kebathilan. Sebagai sebuah kebathilan, bencana datang begitu saja. Tanpa diundang, apalagi direncanakan. 

Karena bencana itu bathil, ia akan membunuh siapa saja yang kebetulan ada dalam jangkauan kuasanya. Tidak melihat apa suku, agama, ras atau golongan dari siapa saja yang ada di hadapannya.

Gempa dan tsunami di Palu dan Donggal itu terjadi tanpa ada intervensi dari siapapun, apalagi dari rezim Jokowi-JK. Bencana itu juga tidak dikehendaki oleh Tuhan, sebab di tangan Tuhan yang Mahakasih, segala tindakan keji, kejam, destruktif pasti tidak akan mungkin terjadi.

Kalau benar seperti diklaim oleh FPI bahwa bencana itu ialah kutukan Tuhan atas rezim Jokowi-JK, lalu Tuhan seperti apakah itu yang dengan tegah menjadikan warga Palu dan Donggala sebagai korbannya? 

Apabila rezim Jokowi-JK yang bersalah, kenapa Tuhan tidak langsung saja menghukumnya? Kenapa Dia harus menjatuhkan hukuman itu kepada orang-orang tak berdaya bahkan tak berdosa di Palu dan Donggala itu? 

Jika memang bencana ini ialah hukuman Tuhan, saya dengan berani mengatakan bahwa Tuhan itu sungguh sadis dan kejam. Sebab, Ia telah menyangkal dirinya sebagai Sang Mahakasih.

Bencana sebagai Hal Alamiah

Tetapi, cara berpikir seperti ini harus dijernihkan. Kita mesti melihat masalah ini dengan akal sehat dan kaca mata yang benar tanpa harus sibuk mencari teori-teori absrak yang justru sama sekali tidak relevan.

Berhadapan dengan bencana alam, sangat tidak masuk akal jika kita yang memiliki akal ini mencari jawabannya pada berbagai macam klaim metafisiko-religius terhadap persoalan yang sebenarnya dapat dipahami secara nalar ini.

Dalam hal ini, saya tidak berarti sedang meragukan soal kekuasaan Tuhan untuk melakukan segala sesuatu, termasuk untuk mendatangkan bencana bagi manusia. Tuhan juga memang memiliki kuasa untuk melakukan demikian. 

Tetapi untuk bertindak kejih seperti itu, saya pribadi tidak yakin bahwa Tuhan akan melakukannya. Sebagai orang beriman, bukankah Tuhan juga telah berjanji untuk tidak lagi akan mengutuk manusia setelah kisah Air Bah yang melenyapkan kehidupan di atas muka bumi ini?

Perjanjian itu tentu sangat masuk akal mengingat Tuhan itu ialah Kasih yang tidak mungkin memproduksikan niat-niat buruk untuk meluluhlantahkan ciptaan-Nya, apalagi manusia yang memiliki kodrat istimewa di hadapan-Nya.

Bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala sebenarnya dapat dijelaskan secara ilmiah. Bagaimana penjelasannya? 

Berdasarkan laporan Live Science, daerah Indonesia sebenarnya merupakan salah satu daerah yang paling rawan dengan adanya gempa. Hal itu terjadi karena, Indonesia merupakan wilayah yang berada di daerah Cincin Api Pasifik atau Circum-Pasific belt.

Daerah ini diklaim sebagai sabuk gempa bumi terbesar di dunia oleh Badan Geologi Amerika Serikat, U.S Geological Survey (USGS). Cincin Api Pasifik ini sendiri memiliki banyak sesar atau zona yang memanjang sekitar 40 ribu kilometer mulai dari Chile, Jepang, dan kemudian berhenti di Asia Tenggara.

Dengan kondisi seperti ini, setidaknya sekitar 90 persen gempa bumi yang terjadi di dunia ini dan 80 persen gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang daerah dengan Cincin Api Pasifik tersebut.

Wilayah Palu dan Donggala sendiri merupakan daerah yang termasuk di dalam daera Cincin Api Pasifik ini. Dari keterangan pihak Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) gempa yang mengakibatkan tsunami di daerah itu terjadi karena aktivitas salah satu sesar atau zona rekahan di daerah ini.

"Berdasarkan posisi dan kedalaman pusat gempa bumi, maka kejadian gempa bumi tersebut disebabkan oleh aktivitas sesar aktif pada zona sesar Palu-Koro yang berarah Barat Laut-Tenggara," jelas Kepala PVMBG.

Keberadaan Cincin Api Pasifik itu memang bukan satu-satunya menjadi faktor penyebab adanya gempa di Indonesia. Kita tentu ingat bahwa Indonesia juga juga dilalui oleh Sabuk Alpide, yaitu jalur gempa paling aktif nomor dua di dunia.

Selain itu, Indonesia juga masuk dalam wilayah adanya tumbukan tiga lempeng benua, yakni lempeng Indo-Australia dari selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Semua itu berpengaruh pada kuatnya potensi gempa di negeri ini.

Terlibat di Sisi Korban

Dengan sedikit penjelasan ilmiah dan masuk akal di atas, tentu kita sepakat bahwa klaim FPI yang menyebut bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggola merupakan kutukan Tuhan atas rezim Jokowi-JK sangat tidak masuk akal.

Sama sekali tidak ada hubungan antaran aktivitas rezim Jokowi-JK dengan bencana tersebut. Apalagi kalau bencana itu mesti melibatkan tangan Tuhan yang Mahasuci.

Kita mungkin bisa curiga bahwa klaim FPI itu merupakan bukti kedunguan mereka dalam melihat suatu persoalan. Maklum, mereka-mereka ini ialah kelompok yang sedang mabuk "Tuhan" sehingga apa saja yang terjadi pasti akan dicari solusinya lewat sandaran ayat-ayat suci teologis.

Celakanya, mereka justru menjadikan ayat-ayat suci itu bukan untuk melayani kepentingan Tuhan yang menyelematkan, tetapi justru untuk mencapai segala kepentingan selangkangan mereka yang sangat pragmatis dan eksklusif.

Kita tentu tidak bisa hanya berhenti sampai pada menghakimi pernyataan FPI tersebut. Sebagai orang yang berprikemanusiaan - sebagaimana klaim kita dalam menghakimi sikap FPI, yang mesti kita lakukan di dalam menghadapi para korban bencana tersebut ialah mengambil bagian di dalamnya.

Mereka ialah orang-orang yang membutuhkan bantuan dan pertolongan kita. Tangan lembut dan kasih kita merupakan hal yang paling utama bagi para korban kebathilan bencana tersebut.

Kenapa kita harus berbuat demikian? Alasannya sederhana, mereka ialah diri kita yang lain. Kita akan menemukan jati diri kita lewat cara kita menyapa dan melayani orang lain.

Karena itu, berhadapan dengan situasi yang diderita para korban di Palu dan Donggala, sebagai sesama manusia, kita dituntut untuk bertanggungjawab atas penderitaan mereka seperti dengan memberikan bantuan dan mengucapkan doa atas mereka tanpa harus saling menyalahkan dan mencari teori-teori yang abstrak atasnya.*

Catatan Lepas Yones Hambur
Share:

Kamis, 14 Juni 2018

Christiano Ronaldo dan Otentisitas Diri

Christiano Ronaldo dan Otentisitas Diri
Christiano Ronaldo
Oleh: Yones Hambur
...
Cerita tentang Cristiano Ronaldo memang tidak ada habisnya. Kemana-mana bahkan dimana-mana, nama mega bintang Real Madrid ini selalu menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan.
Ia bukan hanya pandai memainkan si kulit bundar di atas lapangan, tetapi dalam cara hidupnya setiap hari, peraih lima kali Ballon d'Or ini juga cukup inspiratif.
Saya masih ingat ketika mengikuti ujian tesis komprehensif di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta hampir sebulan lalu.
Nama Cristiano Ronaldo tiba-tiba menjadi bahan jawaban saya atas salah satu dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan oleh dosen penguji kepada saya.
Ngomong-ngomong, ujian ini merupakan salah satu persyaratan, selain ujian skripsi, untuk mendapatkan gelar sarjana filsafat dari perguruan tinggi yang didirikan Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara tersebut.
Model ujiannya dilakukan secara lisan dan berlangsung selama 1 jam dengan dosen penguji terdiri dari tiga orang.
Saat itu, ada satu dosen penguji yang mengajukan tesis kepada saya soal hubungan antara kematian dengan otentisitas diri menurut Martin Heidegger.
Heidegger ini sendiri ialah seorang filsuf German yang dikenal lewat karyanya berjudul, dalam bahasa German "Sein und Zeit", Inggris "Being and Time" atau dalam bahasa kita "Ada dan Waktu".
Terinspirasi dari fenomenolog Edmund Husserl, dengan karyanya ini, Heidegger berusaha merumuskan kembali cara relasi manusia dengan kenyataan.
Sebelum melahirkan Opus Magnum ini, seperti para filsuf lainnya, ia tentu mempelajari kembali segala pemikiran yang dilahirkan oleh para pendahulunya, mulai dari filsuf Prasokratik, Sokratik, Abad Pertengahan sampai Zaman Modern.
Setelah membaca semua karya besar filsuf tersebut yang dapat dirumuskan demikian, "dari Platon sampai Nietszche" ia akhirnya menyadari bahwa ada hal yang salah dari filsafat yang dibangun oleh para pendahulunya tersebut.
Atas kesadaran itu, Ia kemudian melayangkan kritikan tajam kepada semua pemikiran para pendahulunya itu lewat sebutan yang bunyinya kira-kira begini,
"Seluruh perjalanan filsafat mulai dari Platon sampai Nietzsche ialah sejarah pelupaan akan Ada."
Dalam dunia filsafat, kritikan Heidegger ini sangat tajam dan anarkis. Ia meruntuhkan segala kecenderungan dari para filsuf yang ingin membuat narasi-narasi besar atas dunia.
Bagi Heidegger, kecenderungan seperti itu sebenarnya merupakan akar dari segala krisis di dunia modern saat ini.
Peristiwa-peristiwa destruktif atas nama keunggulan ras sebagaimana ditampilkan oleh rezim Nazi, perang dunia I dan II, fasisme di Italia merupakan beberapa contohnya akibat dari hal tersebut.
Eh, panjang lebar ya cerita ini tadi. Kembali ke tema tentang Cristiano Ronaldo di atas.
Selain membahas soal kritikan itu, dalam buku "Being and Time" atau "Ada dan Waktu" itu, Heidegger juga membahas tentang diri manusia, yakni soal keberadaan manusia di dunia.
Sebutan khas Heidegger untuk manusia ialah Dasein. Kata ini sendiri dapat diterjemahkan menjadi "Ada di sana", yakni ada di dalam dunia, terlempar di tengah dunia.
Sebutan ini sebenarnya mau menunjukkan bahwa pada dasarnya, manusia itu unik, khas. Ia tidak bisa diidentikkan dengan apapun atau siapapun. Berada di dalam dunia ini bagi Heidegger juga berarti sedang menuju kematian.
Ketika manusia hadir di dalam dunia, di saat yang sama, ia juga sedang menuju kematian. Heidegger menyebutnya sebagai "Sein Zum Tode" atau "Ada menuju Kematian".
Kematian bagi Heidegger ialah bagian dari struktur ontologis manusia. Kematian sudah melekat di dalam dirinya dan manusia tidak dapat menghindari kematian itu. Kematian sudah menjadi semacam "ditakdirkan" bagi manusia.
Kematian dan Otentisitas Diri
Namun, apakah Heidegger melihat kematian itu sebagai hal yang menakutkan? Heidegger sendiri ialah orang yang "taat" pada kematian. Ia tidak membangkang terhadap realitas kematian itu.
Kematian bagi Heidegger justru merupakan faktor yang memungkinkan manusia itu menjalankan hidupnya secara otentik. Lalu, apa itu hidup otentik?
Hidup otentik itu ketika kita menyadari diri bahwa di dunia ini, kita hanya sementara. Kita selalu sadar diri bahwa kita sedang berada dalam horizon menuju kematian.
Dengan kesadaran ini, kita dimungkinkan untuk berbuat baik, mencintai sesama, merawat lingkungan dan alam, dan lebih penting lagi ialah kita bisa mengaktualisasikan segala potensi diri kita secara maksimal.
Hidup otentik juga dapat diartikan ketika kita tidak terjebak dan tenggelam dalam kerumunan massa. Kita tidak mudah terseret dalam arus dunia yang tunggang langgang.
Misalnya, saat ini, lagi musim hitsnya aplikasi tik-tok. Orang yang otentik, ia tidak akan mudah terjebak dalam situasi seperti ini.
Ia tidak akan memakai aplikasi tik-tok hanya untuk mendapat kesan "biar gak ketinggalan zaman", takut dibully "gak hits banget lo," biar tidak diejek "ih dasar ndeso, kamsupay, dsb".
Begitu juga ketika saya memilih untuk menjadi salah satu dari sekian juta ribu fansnya mega bintang asal Portugal di atas.
Orang kadang-kadang fans dengan seseorang karena hal-hal lahirianya, seperti soal karena dia ganteng, bodinya mantap, pandai mengotak-atik bola di atas lapangan.
Tetapi, mereka tidak sampai masuk pada hal yang terdalam, "kenapa saya mau dan bangga menjadi fansnya Ronaldo".
Apa untungnya bagi kehidupan saya ketika saya menjadi bagian dari penggemar pemain terbaik dunia ini? Bagi saya sendiri, ada hal yang paling dalam dan dasar sehingga saya memilih CR7 sebagai idola saya.
Ia adalah sosok yang memiliki daya juang yang tinggi, penuh ambisi, dan pekerja keras. Hal-hal ini merupakan alasan yang sangat tepat untuk mencintai Ronaldo.
Lewat teladan ini, saya diundang dan dijarkannya untuk memanfaatkan waktu dengan kerja keras, berani bermimpi dan berambisi kuat. Semua itu kemudian membuat hidup saya akan menjadi lebih otentik dan bermanfaat justru karena saya tahu bahwa hidup ini sementara.
...
Share:

Rabu, 04 April 2018

Kepada Wanita Fiktif

Wanita Fiktif
Wanita Fiktif

Saat ujung hari tiba, aku selalu jatuh hati padamu. Tidak tau kalau pagi, apalagi siang, karena kau masih wanita fiktif untukku,

Saat ujung hari tiba, aku selalu bertanya kepada diriku, mungkinkah Tuhan mengizinkan aku untukmu?

Tuhan pernah bilang, 'segala sesuatu ada waktunya'. Aku juga yakin, akan ada waktu, engkau kulahirkan di dalam palungan hatiku,

Meskipun engkau masih wanita fiktif, aku yakin engkau akan lahir menjadi wanita nyata untukku. Bukankah bagi Tuhan tidak ada yang mustahil?

Kepada Tuhan kupersembahkan doaku yang sedikit tidak masuk akal ini. Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.
Share:

Rabu, 21 Maret 2018

Ketika Immanuel Kant Bicara Soal Pilkada Serentak 2018

Immanuel Kant
Immanuel Kant
Sebuah catatan singkat pengantar tidur
Immanuel Kant seorang filsuf besar zaman modern pernah menulis begini, "orang mengenyangkan nafsunya tidak lewat cinta tetapi lewat perkawinan". Ungkapan ini memang pada dirinya menyingkapkan hal privat, tetapi juga dapat mengguncang hal-hal publik. Seruan ini dapat dibilang sebagai salah satu bentuk kejujuran melawan segala bentuk kebohongan terhadap perkawinan.

Kalau kita merenungkan kalimat ini, ada banyak ketersingkapan kebenaran yang dapat kita ambil darinya. Itu semua tergantung dari cara kita menafsir dan mengontekstualisasikannya.

Kalimat itu sendiri dapat dirumuskan kembali seperti ini, "perkawinan merupakan cara paling masuk akal untuk melampiaskan gairah seks manusia." Lewat perkawinan, nafsu seks yang pada dirinya sendiri liar dan buas dirasionalisasikan sehingga tidak bentrok dengan tatanan moral dan dapat diterima sebagai hal yang wajar.

Ungkapan ini tentu tidak bermaksud untuk menilai suatu perkawinan secara kasar, apalagi kalau sampai terjadi klaim kebenaran bahwa semua bentuk perkawinan memiliki arti demikian. Sebab, cara berpikir seperti ini justru hanya mereduksikan makna perkawinan itu sendiri, dan dengan sendirinya memahami 'peristiwa' perkawinan itu secara dangkal.

Saya memakai kalimat Kant ini tentu tidak bermaksud untuk menilai soal perkawinan itu. Pernyataan itu dipakai hanya sebagai sebuah analogi. Dalam ilmu logika, analogi artinya satu suara tetapi di satu pihak mempunyai arti yang sama dan di pihak lain memiliki arti yang berbeda.

Dalam konteks dewasa ini, pembacaan Kant atas perkawinan itu memiliki banyak relevansinya. Salah satunya dapat digunakan untuk menyingkapkan selubung fenomena kehidupan politis menjelang pilkada serentak 2018 nanti.

Pilkada Serentak dan 'Perkawinan Kant'

Saat ini, kita sudah masuk 2018. Tahun ini oleh banyak pihak dinilai sebagai tahun politik untuk Indonesia. Pasalnya, di tahun ini, akan ada banyak perhelatan politik di berbagai daerah di negara kita ini.

Presiden Jokowi juga telah menyebutkan tahun ini sebagai tahun politik. Menurut Jokowi, dalam tahun politik ini, masyarakat Indonesia akan menghadapi situasi yang luar biasa hebat, bahkan akan menghadapi sebuah turbulensi politik yang sangat dasyat.

Prediksi itu tentu memiliki dasar yang kuat. Kita tahu, banyak daerah di Indonesia akan melangsungkan Pilkada Serentak di tahun ini. Berdasarkan banyak survei, Piilkada Serentak yang akan segera berlangsung di banyak daerah di Indonesia akan sangat rentan terhadap desakan-desakan emosional yang dapat memecah belah persatuan bangsa.

Tahun ini, panggung politik kita di Indonesia akan mempertunjukkan berbagai macam hal. Silang sengkarut perbedaan pendapat akan dirasakan dimana-mana. Pertarungan identitas primordial akan menguat seperti meletusnya serangan antar kelompok dengan memakai kode semiotis 'kami' dan 'mereka".

Apabila tidak diwaspadai, semua itu akan mengantarkan bangsa Indonesia kepada kebiadaban, dan bukan tidak mungkin integrasi bangsa Indonesia sebagai suatu kumpulan entitas yang beragam akan hancur berantakan.

Lalu, apa sebenarnya yang mengharuskan adegan seperti itu akan terjadi di atas panggung kehidupan bersama kita? Kenapa setiap kali ada kontestasi politik seperti pilkada, selalu ada situasi seperti itu?

Pertanyaan ini sebenarnya telah terjawab dalam kalimat Kant di atas. Kalau Kant kita ajukan pertanyaan itu, ia akan menjawab begini, "sebenarnya di balik adegan seperti itu, ada manusia-manusia egois yang mencari kepentingan diri." Itulah gambaran manusia yang direfleksikan Kant.

Berbagai macam pertarungan menjelang diadakannya konstentasi pilkada seperti meletusnya isu politik identitas - Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA) - lahir dari tipe manusia Kantian ini. Ada sesuatu yang mereka cari di balik pertarungan ini, yakni kepentingan diri seperti kekuasaan, uang, harga diri.

Manusia-manusia seperti ini biasanya memakai berbagai cara untuk mencapai kepuasan dan nafsu egoistiknya itu, termasuk identitas seperti agama, suku, ras, antargolongan (SARA).

Identitas ini mereka pakai untuk merasionalisasikan kepentingan selangkangan mereka yang tidak jarang sangat anarkis. Agama sebagai sebuah kekuatan yang 'terlihat suci' dipakai sebagai bungkusan dan atau sarana untuk memuluskan nafsu mereka akan kekuasaan.

Lupakan Kant sebentar, kalau meminjam analisis Machiavelli, manusia seperti ini hanya memikirkan politik (pilkada) sebagai sebuah kesempatan dan ruang pertarungan strategi untuk merebut dan memertahankan kekuasaan. Bagi mereka, tujuan dari politik ialah kekuasaan dan bukan kepentingan umum.

Adegan politik seperti ini akan sangat jarang menghadirkan nilai-nilai moral. Sedikit lebih fair, mereka mungkin memiliki nilai moral tertentu. Tetapi moralitas yang mereka pakai itu hanya berlaku sejauh sebagai sebuah instrumen untuk mencapai kepentingan pribadinya. Setelah hal itu dicapainya, mereka akan segera meninggalkan nilai-nilai itu dan tunduk di bawah hasrat-hasrat privat.

Manusia seperti ini tentu sudah sangat banyak muncul dalam panggung publik kita saat ini yang akan mengadakan pesta demokrasi, yakni Pilkada Serentak. Dalam situasi seperti ini, panggung politik akan diwarnai hal-hal ideal, seperti seruan keadilan, kemakmuran, kemaslahatan umum, keberpihakan kepada rakyat kecil, janji penghapusan kemiskinan.

Akan tetapi, lagi-lagi, deretan hal seperti itu hanya merupakan instrumen belaka. Mereka menjadikan hal ideal tersebut hanya untuk melegitimasi kepentingan pribadi mereka. Jadi waspadalah!!!

Januari 2017
Yones Hambur
Share:

Jumat, 09 Maret 2018

Menggugat Klaim Universalitas Hak Asasi Manusia Bersama Charles Taylor

Ilustrasi Hak Asasi Manusia
Ilustrasi Hak Asasi Manusia

Oleh: Yones Hambur
Sebuah pembacaan atas pemikiran Charles Taylor dalam “Text-A World Consensus on Human Rights?

Klaim universalitas Hak Asasi Manusia telah menimbulkan berbagai respon kritis dari berbagai kalangan secara khusus dari berbagai pemikir Eropa post-modern. Mereka menolak bahwa di balik konsensus universal Hak Asasi Manusia sebagaimana dideklarasikan PBB pada 10 Desember 1948 terdapat sebuah nilai bersama dan berlaku dalam konteks ruang dan waktu apapun dan dimanapun.

Respon kritis para pemikir tersebut didasarkan pada sebuah refleksi bahwa sebuah klaim universal terhadap suatu nilai sama sekali bertentangan dengan fakta pluralitas kultural di berbagai belahan dunia ini. 

Mereka melihat, dalam dunia faktual yang semakin kompleks ini, setiap budaya di atas muka bumi ini masing-masing memiliki variasi cara pandangan terhadap dunia. Ada berbagai macam good life di antara setiap budaya tersebut. Karena itu, klaim universal terhadap sebuah nilai sama sekali tidak relevan.

Kesadaran tersebut kemudian berpengaruh terhadap variasi pandangan antropologis filosofis. Mereka beranggapan bahwa variasi kultural dan pandangan terhadap good life juga secara implisit bahkan secara eksplisit berpengaruh terhadap macam-macam pandangan tentang manusia.

Keyakinan ini kemudian membuka cakrawala baru bahwa sangat tidak mungkin membicarakan Hak Asasi Manusia hanya dari satu perspektif budaya semata. Manusia sebagai suatu mahluk yang kompleks yang lahir dalam konteks kultural yang variatif sama sekali tidak dapat dilihat dari salah satu nilai saja.

Dengan demikian, berbicara tentang Hak Asasi Manusia juga mesti melihat dan mempertimbangan variasi pandangan akan manusia tersebut. Karena diskusi filosofis terkait Hak Asasi Manusia akan selalu berhadapan dengan persoalan mendasar tentang Siapakah Manusia(?).

Tulisan sederhana di hadapan anda ini merupakan sebuah hasil eksplorasi gagasan seorang relativis bernama Charles Taylor dalam teks berjudul “Text-A World Consensus on Human Rights”. Dalam teks tersebut, Taylor menggarisbawahi, memproblematisir, mengritisi, serta menggugat klaim universal nilai Hak Asasi Manusia yang dideklarasikan PBB tersebut.

Taylor berpandangan, ada hal yang cacat dari klaim seperti itu, karena nilai yang termuat dalam konsensus tersebut dikonstruksikan dan merupakan produk dari pemikiran atau tradisi Barat, dalam hal ini ialah dari tradisi liberalisme. 

Legitimasi sebagai Sebuah Problem

Taylor mengawali gugatannya dengan mempersoalkan tentang legitimasi dari konsensus internasional Hak Asasi Manusia. Konsensus itu sendiri, menurut Taylor dapat dipahami dengan memakai pengertian Jhon Rawls yang termuat dalam karya terkenalnya, yakni “Liberalisme Politik”. 

Dalam karya itu, Rawls mengartikan konsensus sebagai “overlapping consensus”, yakni adanya berbagai kelompok yang berbeda, negara, komunitas religius, peradaban, dengan berbagai macam perbedaan pandangan fundamentalnya masing-masing mengenai teologi, metafisika, kodrat manusia, dan sebagainya, akan mencapai kesepakatan terkait norma-norma tertentu tentang prilaku manusia. 

Menurut Taylor, hal ini berarti, setiap kebudayaan yang berbeda dengan caranya masing-masing yang sesuai dengan latar belakang mereka masing-masing akan memberikan dasar legitimasi terkait dengan suatu nilai yang akan dijadikan pegangan bersama.

Konsensus seperti itu bagi Taylor patut dikritisi. Ia mengatakan, apakah konsensus seperti itu mungkin terjadi? Pertanyaan ini diajukan Taylor dengan pertimbangan fakta bahwa dalam kenyataannya ada bentrokan pandangan hidup dalam setiap kebudayaan di atas muka bumi ini. 

Taylor sendiri dengan sikap optimisnya memang meyakini bahwa konsensus itu dapat terjadi. Akan tetapi, menurut Taylor, ada suatu persoalan utama untuk mencapai konsensus itu, yakni ‘cara untuk mencapainya’. 

Selama ini, kata Taylor, ada hambatan besar untuk mencapai suatu konsensus universal seperti itu. Hal itu dapat ditelusuri dalam legitimasi dari konsensus itu yang berakar pada nilai-nilai Barat yang justru seringkali berseberangan dengan nilai-nilai non-Barat.

Menurut Taylor, konsensus Hak Asasi memiliki asumsi antropologis pada tradisi Barat. Asumsi ini dapat dilihat dalam pandangan Jack Donnelly yang berbicara tentang ‘martabat manusia’. Donnelly mengklaim bahwa konsep martabat manusia ini merupakan suatu nilai universal yang berlaku dalam setiap kebudayaan. 

Konsep ini kemudian mendapat kritikan dari Yasuaki Onuna. Ia mengatakan, pandangan ini telah menjadi istilah favorit dalam gagasan tentang hak asasi manusia. Dalam arti, hak asasi manusia yang dijadikan sebagai nilai universal memiliki dasar filosofis antropologis pada pandangan tentang ‘martabat manusia’ ini. 

Onuna berpendapat bahwa martabat manusia itu bukan merupakan nilai yang universal. Baginya, nilai universal itu ialah pencarian spiritual dan kesejahteraan material. 

Untuk menegaskan hal ini, Taylor mengutip Lee Kuan Yew dan beberapa orang Asia yang kritis terhadap kebudayaan Barat ini. Bagi mereka, demikian kata Taylor, pandangan Barat lebih didominasi oleh tradisi liberalisme.

Dalam tradisi ini, otonomi individu sangat ditekankan serta mengabaikan peran komunitas. Mereka melihat pemikiran Barat diwarnai dengan sikap individualistik, fragmen, kontra terhadap masyarakat.

Tradisi Barat ini, menurut mereka, sangat memprioritaskan individu. Sementara dalam kebudayaan non-Barat seperti konfusianisme, peran individu direlatifkan dengan kekuatan komunitas.  Konfusianisme menekankan tentang peran masyarakat  dan jaringan manusia yang kompleks.

Belajar Dari Buddhisme

Klaim universalitas Hak Asasi Manusia telah disangsikan proses legitimasinya karena didominasi oleh pemikiran filosofis Barat. Gagasan tentang martabat manusia yang menjadi karakter utama Hak Asasi Manusia dinilai merupakan asumsi antropologi khas Barat dan bertentangan dengan kebudayaan non-Barat. 

Untuk mengatasi hal ini, Taylor mengangkat salah satu tradisi non-Barat yakni Buddhisme sebagai pembanding nilai Barat tersebut. Dalam hal ini, tradisi Buddhisme secara khusus dari aliran Theravada, bagi Taylor dapat dijadikan rujukan alternatif untuk menyempurnakan konsep Hak Asasi Manusia.

Menurut Taylor, ada banyak hal dalam tradisi Buddhisme yang dapat dijadikan rujukkan untuk mengembangakan konsep Hak Asasi Manusia. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai sumber spiritual untuk mendorong gerakan demokrasi. 

Kesadaran Taylor ini berangkat dari fakta reformasi di Thailand. Salah satu aliran utama dalam reformasi itu ialah gerakan untuk menyucikan agama Buddha seperti dari fokus pada ritual menuju pada perhatian akan kebaikan. Perhatian akan kebenaran ini dinilai telah diabaikan, karena penekanan yang berlebihan pada hal-hal ritualistis. 

Padahal, ini merupakan sebuah tindakan saleh yang merupakan tujuan awal pencerahan. Selain itu, dalam reformasi itu juga ada gerakan kembali kepada inti ajaran Buddhis yang asli, yakni ketidakberdayaan akan penderitaan, ilusi diri, tujuan nirvana.

Reformasi itu juga berusaha mengritik hal-hal yang mengandung takhayul, orang-orang yang mencari jimat, berkat para bikhu, dan sejenisnya. Mereka memisahkan antara ‘pencarian pencerahan’ dari ‘pencarian jasa melalui ritual’, bersikap kritis terhadap seluruh keyakinan metafisis (surga, neraka, dewa, setan). 

Aliran ini kemudian menghasilkan refleksi baru tentang Buddhisme yang kemudian menjadi  salah satu dasar dalam praktek kehidupan masyarakat demokratis.

Selain dari peristiwa reformasi itu, hal lain yang diangkat Taylor ialah tentang reformasi Phutthathat. Refomasi ini hendak menegasakan bahwa jalan menuju kesempurnaan tidak dapat dilepaskan dari keprihatinan terhadap semua mahluk. Prinsip ini didasarkan pada dua hal beriktut, yakni metta (cinta kasih) karuna (belas kasih).

Menurut pandangan ini, pembebasan diri selalu dalam partisipasi aktif dengan orang lain. Seseorang akan mendapatkan jati dirinya hanya dengan perjumpaan aktif dengan orang lain. Dalam hal ini, orang lain merupakan undangan bagi seseorang untuk dapat mencapai kepenuhan diri. 

Prinsip ini mengandung arti bahwa, seseorang tidak dapat bertumbuh tanpa kehadiran orang lain. Pandangan ini juga mendapat penegasan oleh Sabeh Chamarik. Dengan mengutip Sang Buddha, Chamarik mengatakan, “merawat diri berarti juga merawat orang lain. Merawat orang lain berarti juga mengurus diri sendiri.” 

Hal ini berarti, tanggung jawab kepada orang lain sama sekali tidak bertentangan dengan tanggung jawab kepada diri sendiri. Sikap tanggung jawab kepada orang lain secara bersamaan telah mengimplikasikan peduli terhadap diri sendiri. Taylor sendiri menegaskan bahwa gagasan tersebut mengarah pada ‘keadilan dan kesejahteraan sosial’. 

Pandangan di atas secara jelas berbeda dengan pandangan liberalisme Barat yang mengunggulkan otonomi individu. Mereka melihat kepentingan diri merupakan hal utama dari pada sosial. Konsekuensinya, terjadi pengabaian terhadap orang lain, bahkan secara ekstrim, kepentingan sosial diabaikan.

Phutthathat juga berbicara tentang ‘dhammamic socialism’, yakni sikap spriritual yang menekankan komitmen dan tanggung jawab yang tinggi pada kebenaran, pengorbanan diri dan pengabdian terhadap orang miskin dan tertindas. 

Dalam hal ini, tradisi Buddhis mendorong prinsip altruistik yang melihat orang lain sebagai yang utama. Orang lain dianggap mengatasi ego pribadi, dan seseorang didorong untuk selalu memberikan diri untuk melayani orang lain.

Pengikut reformisme Phutthathat adalah Sulak Sivaraksa dan Saneh Charmarik. Mereka adalah orang-orang yang sangat komitmen dengan demokrasi. Beberapa nilai yang mereka dorong ialah, perhatian pada persoalan lingkungan atau ekologis. 

Hal ini dilakukan dengan mendorong sikap anti konsumerisme. Mereka juga adalah orang-orang yang mengritik keras cara berpikir rasionalistik yang telah mendistorsikan hubungan antara manusia dengan alam. Cara berpikir ini dinilai sebagai akar krisis, karena cenderung melihat alam sebagai objek yang dapat dikuasai dan diekploitasi keberadaannya.

Selain itu, Taylor juga menjelaskan, dalam Buddhisme, individu mesti bertanggung jawab terhadap pencerahannya sendiri. Tanggung jawab ini diartikulasikan dengan sikap rispek terhadap kehidupan. Dalam hal ini, salah satu yang menjadi dokrin utama dari Buddhisme ialah pandangan tentang anti kekerasan. 

Taylor mengatakan, dewasa ini, pandangan ini telah menjadi suatu referensi yang menyeruhkan sikap hormat pada otonomi setiap orang dan menuntut untuk meminimalisir segala bentuk pemaksaan dalam setiap urusan manusia.

Berbagai sikap tersebut, bagi Taylor merupakan dasar utama demokrasi, karena Taylor melihat bahwa dalam Buddhisme terdapat agenda ‘kesejahteraan universal’. Lewat sikap tanggung jawab terhadap kehidupan dan prinsip anti kekerasan, fondasi demokrasi tersebut juga dapat memberikan dukungan yang kuat  terhadap Hak Asasi Manusia. 

Sikap ini juga mengimplikasikan tuntutan untuk meminimalisir segala bentuk paksaan dalam urusan manusia. Hal ini, bagi Taylor, membawa kehidupan jauh dari tatanan politik yang bersifat totaliter.

Penutup

Pada bagian di atas telah dipaparkan pandangan yang berisi gugatannya Taylor akan konsensus Hak Asasi Manusia. Ia mengatakan, klaim universal konsensus itu mesti dikritisi karena dasar legitimasinya didominasi oleh pandangan Barat, dalam hal ini ialah tentang martabat manusia. 

Taylor berpendapat bahwa sangat penting untuk memberikan penilaian terhadap konsensus HAM saat ini yang masih bermasalah karena pembenarannya memihak pada pandangan Barat dengan membandingkan dengan kebudayaan lain seperti Buddhisme .

Hal ini menurut Taylor sangat membantu untuk menciptakan suatu konsensus universal tentang Hak Asasi Manusia di masa depan yang pembenarannya betul-betul berangkat dari berbagai latar belakang kebudayaan dan karena itu dapat meminimalisir persoalan, dalam hal ini ialah pertentangan dengan kebudayaan lain. 

Taylor menegaskan bahwa dengan alternatif Buddhisme pada konsepsi HAM dapat mengatasi persoalan tentang gagasan Barat yang sangat menekankan individu (martabat manusia), penekanan pada kebebasannya.

Meskipun demikian, Taylor juga mengapresiasi terobosan yang dilakukan oleh Barat,  karena kesadaran Barat akan HAM merupakan suatu pencapaian sejarah yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya. 

Mereka secara prinsipil menawarkan kebebasan yang lebih besar untuk keamanan manusia dari bahaya kekerasan, perlakuan sewenang-wenang, maupun diskriminasi.

Yones Hambur 




Share:

Video Widget

Diberdayakan oleh Blogger.

Bonjour & Welcome

Agama dalam Ruang Publik Menurut Roger Trigg, Sebuah Penutup

Roger Trigg, Profesor Emeritus pada Oxford University BAB V PENUTUP  Oleh: Yones Hambur "Tulisan ini merupakan sebu...

Total Pageviews

Cari Blog Ini

Top Stories

Video Of Day

Top Stories

Recent Posts

Unordered List

Theme Support

Sponsor

Flickr Images

Popular Posts

Popular

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support